PEREDARAN UANG, JUDI BUNTUT NALO DAN PELABUHAN IMPOR
(Peningkatan Peredaran Uang, Pelabuhan Impor dan Kebijakan Judi Buntut Nalo)[1]
SELASA, 24 PEBRUARI Dalam siding terbatas cabinet hari ini Presiden telah mendengarkan laporan Menteri Keuangan dan Menteri Pertambangan. Menteri Keuangan Ali Wardana melaporkan tentang kenaikan peredaran uang sampai 21%, sementara kredit perbankan naik sebesar 4%. Deposito meningkat Rp. 600 juta, yakni dari hanya Rp. 33,6 milyar pada bulan Desember 1966 menjadi Rp. 34,2 milyar di bulan Januari yang lalu. Juga dilaporkan bahwa harga bahan pokok mengalami kenaikan pada awal bulan Januari, tetapi mulai menurun pada minggu keempat.
Menteri Pertambangan melaporkan bahwa pelabuhan Kijang di Pulau Bintan, Riau, dijadikan sebagai pelabuhan khusus untuk mengimpor barang-barang kebutuhan tambang bauksit. Pelabuhan ini sebelumnya telah ditetapkan sebagai pelabuhan khusus untuk ekspor bauksit. Sedangkan di Pulau Waigeo, Irian Barat, perusahaan Pacific Nickel Company, telah mulai menambang nikel disana, dengan biya sebesar 1,5 juta dolar AS.
Dalam sidang cabinet ini Presiden Soeharto telah mengungkapkan keprihatinan dan kesedihannya tentang “judi buntut nalo” dan “kode” nya. Presiden menilai perjudian ini sebagai hal yang dapat enyesatkan dan merusak alam pikiran bangsa Indonesia, terutama karena justru melanda kalangan rakyat yang berpenghasilan kecil.
Namun Presiden mengatakan bahwa “Nalo” tetap dapat dibenarkan, karena tidak bertentangan dengan norma apapun, baik adat ataupun agama. Oleh karena itu, Presiden meminta kepada Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat, Jaksa Agung, Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Kapolri untuk meninjau masalah perjudian ini dan merumuskan suatu kebijaksanaan sebagai bahan bagi Presiden.
Pusat Penerangan Hankam hari ini membantah pemberitaah surat kabar Indonesia Raya, bahwa seolah-olah Jenderal Soeharto selaku Menhankam, dalam amanatnya di depan peserta Comannder’s Call ABRI, tidak membenarkan dilaksanakannya Operasi Bhakti. Hal ini adalah tidak benar, sebab dalam amanat Jenderal Soeharto tidak tertera satu kalimat-pun yang tidak membenarkan Operasi Bhakti, seperti yang disiarkan surat kabar tersebut. Demikian Pusat Penerangan Hankam.
___________________________
[1] Dikutip Langsung dari Buku Jejak Langkah Pak Harto 28 Maret 1968-23 Maret 1973