Presiden Soeharto: Indonesia Hanya Bersedia Pinjaman Lunak[1]
KAMIS, 11 Mei 1972, Presiden Soeharto mengadakan serangkaian pertemuan dengan beberapa menteri ekonomi Jepang siang ini. Tampak menemui Presiden Soeharto di Hotel Imperial antara lain adalah Menteri Perdagangan Internasional dan Industri Kakuei Tanaka, dan Menteri Keuangan Mizuta. Kesemua pembicaraan berkisar pada hubungan ekonomi antara kedua negara. Dikabarkan bahwa dalam pertemuan dengan Menteri Keuangan Mizuta, Kepada Presiden Soeharto dijanjikan bahwa Jepang akan memberikan tambahan pinjaman sebesar 200 juta dolar AS dalam rangka IGGI. Bantuan ini antara lain dimaksudkan untuk pembiayaan pembangkit tenaga listrikĀ dan aluminium di Sumatera Utara. Dalam pertemuan tersebut Presiden Soeharto menegaskan bahwa Indonesia hanya mau menerima loan dengan syarat-syarat yang ringan.
Seusai pertemuan dengan menteri-menteri ekonomi Jepang, Presiden Soeharto menerima lebih kurang 40 anggota Keidanren (pengusaha Jepang). Pada kesempatan ini Presiden telah menjelaskan tentang kestabilan ekonomi Indonesia dan kemungkinan-kemungkinan bagi kerjasama dengan negara lain. Dalam hubungan ini Presiden mengharapkan agar hubungan antara pengusaha-pengusaha Indonesia dan pengusaha-pengusaha Jepang dapat lebih dipererat pada masa yang akan datang.
Pimpinan Keindaren dalam pidatonya menyatakan terkesan akan kemajuan-kemajuan yang dicapai Indonesia dan usaha untuk menekan laju inflasi sampai tingkat yang paling rendah. Katanya, kemajuan-kemajuan yang berhasil dicapai itu adalah lebih besar bila dibandingkan dengan apa yang dicapai oleh beberapa negara lain. (AFR).
Catatan:
Berdasarkan penuturan Koos Arumdanie, seorang mantan wartawati Istana Negara pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, kunjungan Presiden Soeharto ke Jepang pada masa-masa awal pemerintahannya, bukan sebagaimana dispekulasikan kebanyakan orang, yang ditudingnya sebagai pembukaan kran investasi asing (Jepang ke Indonesia). Intensitas Presiden Soeharto ke Jepang sebenarnya dalam rangka menagih pampasan perang dari Jepang. Namun untuk menjaga harga diri Kedua Negara (terutama Jepang), upaya itu dilakukan secara halus (termasuk dalam hal ekspos/pembahasaan ke media). Kenyataannya Indonesia memang sangat memerlukan dana pembangunan setelah mengalami kemerosotan ekokomi luar biasa parah, dimana tahun 1965 mengalami inflasi hingga 650%.