Presiden Soeharto Mengadakan Pembicaraan Empat Mata dan Jamuan Kenegaraan dengan PM RRC [1]
SELASA, 7 AGUSTUS 1990 Pagi ini, pada jam 10.30, Soeharto dan PM Li Peng mengadakan pembicaraan empat mata di Istana Merdeka. Dalam pertemuan yang berlangsung selama hampir tiga jam itu telah dibicarakan berbagai aspek hubungan antara kedua negara, masalah-masalah regional dan internasional. Menyangkut hubungan bilateral, PM Li Peng antara lain menegaskan bahwa pemerintahnya tidak akan mencampuri masalah dalam negeri Indonesia. Dikatakannya pula bahwa negaranya tidak akan menggunakan orang-orang Cina perantauan untuk kepentingan RRC. Dia menghendaki orang Cina yang telah menjadi warganegara Indonesia agar menjadi warganegara yang baik.
Diantara masalah regional yang dibicarakan oleh kedua pemimpin itu adalah soal penyelesaian konflik di Kamboja. Dalam hal ini, pemerintah RRC menyambut baik peranan Indonesia serta mendukung upaya-upaya yang telah dilakukan ASEAN untuk menyelesaikan masalah itu. Menyangkut masalah internasional, keduanya sependapat mengenai adanya berbagai masalah yang memprihatinkan, disamping terdapat harapan harapan baru.
Kedua kepala pemerintahan merasa puas akan hasil pembicaraan yang mereka lakukan. Keduanya menilai normalisasi hubungan antara Indonesia dan RRC itu penting, bukan saja bagi kedua negara, melainkan juga bagi perkembangan dunia pada umumnya. Dalam pertemuan itu PM Li Peng menyampaikan undangan kepada Presiden Soeharto untuk mengunjungi RRC. Undangan itu diterima dengan baik oleh Presiden dan akan dilaksanakan pada waktu yang dianggap tepat oleh kedua negara.
Pada pukul 20.00 malam ini, bertempat di Istana Negara, Presiden dan Ibu Soeharto mengadakan jamuan makan malam untuk menghormat kunjungan PM Li Peng dan Nyonya Zhu Lin. Acara santap malam yang dilengkapi dengan pertunjukan kesenian Indonesia itu baru berakhir pada jam 23.30 menjelang tengah malam. Sebelum santap malam, dilakukan tukar menukar cinderamata. Presiden Soeharto menghadiahkan PM Li Peng sebuah keris Bali dan sebaliknya PM Li Peng memberikan lukisan besar burung dan kembang serta replika ginseng kuning keemasan. Ibu Tien menyerahkan seperangkat alat makan ukiran Yogyakarta kepada Nyonya Zhu Lin serta seperangkat alat makan ukiran dari Kota Gede Yogyakarta. Dari isteri pemimpin RRC, Ibu Soeharto menerima kain sutera Cina dan buku-buku.
Menyambut tamunya, Kepala Negara antara lain mengatakan bahwa sejarah hubungan antara kedua negara memang mengalami pasang surut. Selama seperempat abad terakhir banyak perubahan penting terjadi antara kedua negara. Juga di dunia. Tidak adil dan tidak realistis jika kita yang hidup di masa sekarang dan generasi-generasi berikutnya memikul terus beban yang diwariskan oleh sejarah masa lampau.
Selanjutnya dikatakan oleh Presiden bahwa kita sepakat untuk mengambil pengalaman-pengalaman yang paling berharga dari sejarah hubungan antara kedua negara itu. Kita sepakat menggunakan pengalaman yang berharga itu untuk mengisi lembaran baru hubungan antara kedua bangsa dan negara kita di masa datang.
Presiden menegaskan bahwa kita sama-sama bertekad untuk menegakkan kembali hubungan antara kedua bangsa dan negara dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip Dasa Sila Bandung. Kita masih menambahkannya dengan prinsip-prinsip Hidup Berdamping Secara Damai, yang antara lain menegaskan bahwa hubungan antar negara harus berlandaskan pada prinsip saling menghormati kedaulatan dan tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing. Lebih jauh Kepala Negara mengatakan bahwa dengan itu kita sepakat untuk bersama-sama memasuki tahap baru dalam hubungan antara kedua bangsa dan Negara kita dengan semangat baru, dengan langkah-langkah baru dan dengan tujuan-tujuan baru. (DTS)
[1] Dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 21 Maret 1988 – 11 Maret 1993”, hal 328-329. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI, Editor: Nazaruddin Sjamsuddin dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta Tahun 2003