Ambisi-Ambisi Pribadi

Bogor, 28 September 1998

Kepada

Yth. Bapak H. M. Soeharto

di Jakarta

AMBISI-AMBISI PRIBADI [1]

Dengan hormat,

Bersama ini perkenankanlah saya (Adhi Pramudji), untuk turut prihatin dengan keadaan Bapak Soeharto dan keluarga, serta keadaan negara “Indonesia tercinta” yang sedang menghadapi krisis moralitas masyarakat, yang sangat memalukan dan memilukan.

Saya tidak akan pernah terima dan rela dengan apa yang terjadi dengan apa yang terjadi di negara tercinta ini, khususnya dengan banyaknya manusia-manusia ­ biadab yang tidak bertanggung jawab, untuk mempengaruhi masyarakat agar menghujat/menghina salah satu pahlawan atau anak bangsa terbaik yang pernah ada di bumi persada Indonesia, yaitu H. M. Soeharto.

Saya tidak pernah lupa, bagaimana dahulu/beberapa bulan hingga tahun yang lalu hampir semua/mayoritas masyarakat bangsa, termasuk para “Pengkhianat dan penjilat-penjilat” itu mengagungkan Bapak Soeharto, bahkan telah memproklamirkan Bapak Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan Indonesia” akan tetapi apa yang mereka buat kini? Para pengkhianat itu kini menyatakan, bahwa mereka adalah “Pahlawan Reformasi”, akan tetapi mereka tidak pernah berjuang untuk bangsa ini? Apakah mereka akan berkorban untak bangsa ini? Saya dapat pastikan jawabannya, adalah “Tidak”. Mereka hanya berjuang dan berkorban hanya untuk ambisi pribadi masing-masing.

Saya adalah salah satu pengagum dan mengagumi Bapak Soeharto, baik atas jasa-­jasanya selama memimpin bangsa Indonesia khususnya strategi-strategi di segala bidang (ekonomi, politik, dan pembangunan), disertai “Keberanian” .

Contoh-contoh/bukti daripada keberanian Bapak Soeharto tersebut an tara lain :

  1. Mengambil alih pimpinan bangsa ini dari kekuasaan Bapak Soekarno, yang mana bangsa Indonesia dalam keadaan sangat memprihatinkan pada saat itu (+1965), dan di tengah-tengah kekuasaan yang sangat kuat Bapak Soeharto dengan “berani” mengambil alih kekuasaan.
  2. Bapak Soeharto, dengan strateginya berhasil mengentaskan keprihatinan bangsa, baik dalam hal kemiskinan/ekonomi maupun politik.
  3. Jasa terbesar Bapak Soeharto adalah, secara konsisten dan perlahan­-lahan dapat membangun bangsa ini menjadi bangsa yang besar, khususnya dalam hal pembangunan di segala bidang, baik ekonomi ataupun politik, maka hingga akhir hayat saya nanti, saya tetap berterimakasih kepada Bapak Soeharto dan mencanangkannya sebagai “Bapak Pembangunan Bangsa”.
  4. Keberanian yang sangat saya puji dan panuti adalah, “dengan arif dan bijaksana Bapak Soeharto berani mengundurkan diri dari jabatan presiden Rl, ditengah-tengah kekuasaan dan kekuatan yang ada di tang an Bapak Soeharto, akan tetapi Bapak Soeharto dengan arif dan bijaksana mengundurkan diri tanpa mengeluarkan perintah/memberlakukan Undang-undang Darurat, untuk menghindari pertumpahan darah antara anak-anak bangsa tercinta “Indonesia”.
  5. Kesabaran, dengan kesabaran tersebut Bapak Soeharto hingga saat ini tetap konsisten dengan apa yang pernah Bapak Soeharto ungkapkan, serta tidak pemah mengeluarkan kata-kata melempar kesalahan kepada orang lain atau para mantan pembantu-pembantu/bawahannya, walaupun kini mereka menjadi pengkhianat­pengkhianat biadab (Bunglon).

Beberapa contoh terse but di atas hanya sebuah contoh saja. Akan tetapi masih banyak lagi jasa-jasa Bapak Soeharto yang hingga kini masih berguna bagi nusa, bangsa, dan negara tercinta “Indonesia”. Saya sangat prihatin dengan keadaan bapak Soeharto beserta keluarga, yang kini mendapat hujatan/hinaan dari masyarakat, terutama dari “Manusia-manusia Bunglon” (pengkhianat) yang pernah Bapak percaya, bantu hingga dapat kenaikan derajatnya.

Saya atas nama rakyat Indonesia, “mohon maaf yang sebesar-­besarnya” atas perlakuan-perlakuan masyarakat yang kini banyak menghujat/menghina Bapak serta keluarga, maafkanlah mereka (masyarakat), karena mereka hanyalah korban daripada kebohongan-­kebohongan dan hasutan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Saya yakin dan dapat membuktikan, bahwa penghasut-penghasut tersebut mayoritas adalah orang-orang yang pernah dipercaya/dekat dengan Bapak Soeharto dan keluarga, bahkan orang-orang yang hingga kini masih dekat dengan keluarga Bapak Soeharto.

Saya pun menyadari, bahwasannya surat saya ini, sangat berbahaya bagi kehidupan saya, karena apabila surat ini tidak sampai kepada Bapak Soeharto, maka habislah kehidupan saya ini. Akan tetapi saya tidak takut dan siap menghadapi resiko apapun, karena bagi saya “yang benar adalah benar”.

Yang terhormat Bapak Soeharto, saya menulis surat ini tidak ada maksud dan tujuan apapun, apalagi “menjilat” seperti pengkhianat-­pengkhianat itu, akan tetapi saya menghormati jasa-jasa dari Bapak Soeharto terhadap bangsa Indonesia. Demikian tulisan saya, apabila ada tulisan yang menyinggung/kurang baik, maka saya haturkan maaf yang sebesar-besarnya.

Dan atas perhatian serta waktu yang Bapak Soeharto berikan, saya haturkan banyak terima kasih. (DTS)

Hormat saya,

Adhie Pramudji

Bogor – Jawa Barat

[1]     Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 722-724. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat  yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto menyatakan berhenti dari kursi Kepresidenan. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.