Presiden pada perayaan Isra Mi’raj:
MASIH BANYAK PENYELEWENGAN UTK KEPENTINGAN DIRI SENDIRI [1]
Jakarta, Suara Karya
Perayaan peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad S.A.W. 1397 H, Rabu malam, dilangsungkan di Istana Negara, dihadiri oleh Presiden Wakil Presiden, Ny. Tien Soeharto, para Menteri Kabinet, para Dubes negara2 sahabat dan undangan lainnya. Tampak hadirin mendengarkan pembacaan ayat2 Al-Qur’an, dibawakan oleh seorang Qori terbaik.
Dasar-dasar kehidupan rohaniah perlu diperkokoh, bukan hanya untuk menghadapi ancaman Atheisme – Komunisme tetapi terutama dalam rangka menghadapi ancaman kecenderungan-kecenderungan mementingkan diri sendiri, demikian dikemukakan Presiden Soeharto dalam pidatonya pada perayaan Hari Isra Mi’raj di Istana Negara Rabu malam.
Bersama dengan usaha2 Pemerintah melaksanakan pembangunan, menurut Presiden, masih banyak terlihat penyelewengan2 untuk kepentingan diri sendiri yang merugikan masyarakat.
“Yang lebih membuat kita prihatin adalah bahwa hal itu dilakukan bukan hanya oleh mereka yang kekurangan melainkan juga oleh mereka yang sudah berkecukupan,” kata Presiden.
Penyelewengan dengan mementingkan diri sendiri itu, menurut Presiden, dilakukan bukan karena kemiskinan materi tetapi terutama kemiskinan rokhani. Untuk penanggulangannya, Presiden meminta, kecuali mengefektipkan tindakan-tindakan para penegak hukum, juga perlu dilakukan usaha2 untuk menyadarkan masyarakat. Menegakkan disiplin nasional jauh lebih mendasar dibandingkan dengan usaha2 lainnya. Agama mempunyai peranan yang penting dan besar dalam rangka menghidupkan disiplin nasional itu.
Diingatkan Presiden, agar anggota masyarakat dalam mengejar keuntungan jangan sampai melakukan cara2 yang melanggar hukum dan merugikan orang lain, masyarakat dan negara.
Sehubungan dengan pemberantasan tindakan yang merugikan itu, agama menjadi senjata yang ampuh. Kesadaran agama yang tertanam di hati para pemeluknya akan memperkuat daya tahan rokhani dalam menghadapi segala godaan rokhani dan jasmani. Dalam rangka itulah Presiden meminta untuk tidak ragu2 lagi dalam menggali nilai2 luhur perbendaharaan agama guna memperkokoh dan memperkaya kehidupan masyarakat.
Kegemerlapan Materi
Sehubungan dengan pelaksanaan pembangunan, Presiden mengajak masyarakat untuk ikut serta memacu jalannya pembangunan guna mengejar ketinggalan dan keterbelakangan untuk mencapai kemajuan2. Usaha pembangunan tersebut bukanlah sekedar usaha mengejar kemajuan lahiriah atau kegemerlapan materi.
“Kita tidak ingin hanya mengejar dan membina kemakmuran jasmaniah,” kata Presiden.
Juga disinggung bahwa kebutuhan manusiawi mempunyai banyak dimensi yaitu lahiriah, mental, moral dan kejiwaan.
Kemakmuran di bidang kebendaan, menurut Presiden, telah menimbulkan berbagai ekses seperti merosotnya nilai2 kemanusiaan, keterasingan dan kesepian ditengah2 kesibukan gemuruhnya mesin2 dan alat2 tehnologi baru lainnya. Pengalaman tersebut terjadi di banyak negara yang maju dan makmur secara materiil.
Bangsa Indonesia yang mempunyai Pancasila sebagai falsafah hidup dan dasar negara itu, tidak ingin membangun masyarakat hanya atas dasar nilai2 kebendaaan, atau melulu mementingkan tujuan2 ekonomi belaka. Pembangunan Indonesia mencakup segala segi kebutuhan manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani.
“Kita ingin membangun masyarakat yang dinafasi oleh nilai2 kerokhanian, akhlak dan agama. Masyarakat yang makmur lahiriah dan rohaniah,” katanya.
Kerukunan Beragama
Dalam bagian lain pidatonya, Presiden Soeharto juga menyebutkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber ke-Tuhanan yang Maha Esa. Sesuai dengan UUD, negara telah menjamin kebebasan tiap2 penduduk untuk memeluk agamanya masing2 dan untuk beribadat menurut agama kepercayaan itu. Dalam negara yang berdasarkan Pancasila, agama mendapat tempat yang subur untuk berkembang. Sebaliknya, perkembangan agama yang subur akan dapat memperkokoh tegaknya Pancasila.
Lebih lanjut Presiden meminta agar Pancasila sebagai falsafah bangsa itu diamalkan dalam kehidupan nyata baik secara perseorangan maupun dalam ikatan kesatuan bangsa. Pengamalan Sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, antara lain berwujud ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, saling menghormati antara umat beragama yang berbeda-beda agama dan tekun menjalankan ibadah agama masing2 dan tidak mengganggu pelaksanaan ibadah orang lain yang berbeda agama/kepercayaannya dsb. Pengamalan Sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa harus didasari kerukunan agama.
Revolusi Mental dan Sosial
Sehubungan dengan perayaan Hari Isra Mi’raj, Presiden Soeharto juga mengingatkan, bahwa dalam waktukurang dari 25 tahun, Nabi Muhammad SAW telah berhasil, bukan saja mengadakan revolusi mental dengan lahirnya manusia baru yang mempunyai idealisme dan semangat pengabdian yang tinggi, tetapi juga mengadakan pembaharuan sosial sehingga terjelma masyarakat yang baru.
Dalam rangka peringatan Hari Isra Mi’raj, Presiden Soeharto menilai bahwa bangsa Indonesia yang berfalsafah dan moral Pancasila perlu memahami dan mengetrapkan peringatan itu. Dikatakan Indonesia akan membangun masyarakat yang dilandasi semangat kekeluargaan, kerjasama dan tenggang rasa. Masyarakat yg dibina atas dasar saling mempercayai dan harga menghargai, dan masyarakat yang berkeadilan sosial serta berperikemanusiaan.
Peringatan Hari Isra Mi’raj dihadiri pula oleh Wk. Presiden Hamengkubowono, bekas Wk. Presiden Moh. Hatta, para Menteri, Pimpinan Lembaga Negara Tertinggi, pejabat sipil dan militer, Korps Diplomatik negara sahabat, alim-ulama Jakarta dan sekitarnya serta beberapa undangan. Sebelum pidato sambutan Presiden Soeharto juga disampaikan Hikmah Isra Mi’raj oleh Ketua LIPI Dr.Ir.H. Tubagus Bachtiar Rifai dan sambutan Menteri Agama Dr. H. Mukti Ali. (DTS)
Sumber: SUARA KARYA (15/07/1977)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IV (1976-1978), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 530-533.