PAK HARTO GEMAR PELAJARAN BERHITUNG

PAK HARTO GEMAR PELAJARAN BERHITUNG[1]

 

Jakarta, Republika

Bagaimana pengalaman Pak Harto mengawali masa bersekolah? Seperti jamaknya anak tempo dulu, ia pun diminta melengkungkan lengan di atas kepala, lalu menyentuh telinga. Beruntung, lelaki kelahiran Kemukus, 8 Juni 1921, ini bisa menyentuh telinga. Ia pun diterima di sekolah Desa Puluhan, Godean.

Pengalaman ini menjadi kenangan manis yang dituturkannya dalam biografi “Soeharto: Pikiran, Ucapan, Tindakan Saya”, yang diterbitkan PT Lamtoro Gung Persada. Memang, kala itu, untuk menentukan seseorang telah memasuki usia bersekolah, ukurannya cukup bersahaja: melengkungkan lengan di atas kepala, lalu menyentuh telinga. Kenangan manis semacam ini agaknya kembali menggeliat hati ini (19/6), saat Presiden Soeharto menerima penghargaan Avicenna: Medals UNESCO. Disematkan Dirjen UNESCO, Prof. Federico Mayor, medali yang pertama dari UNESCO ini merupakan pengakuan terhadap Pak Harto sebagai tokoh pendidikan internasional.

Pak Harto sendiri, seperti penuturannya dalam buku tersebut, kurang beruntung dalam mengenyam pendidikan. Hal ini lantaran ia berasal dari keluarga petani bersahaja. Bahkan, saking bersahaja, ia baru mengenakan pakaian yang cukup baik ketika bersekolah. Yaitu mengenakan bebet, sabuk wolo.

Namun, bara api pendidikan tak padam dari bilik hatinya. Kendati mesti berpindah-pindah  sekolah di antaranya  menggiliri sekolah di Pedes, lalu ke Wuryantoro ia tekun mengenyam pendidikan. Ini dibuktikannya dengan merampungkan sekolah rendah lima tahun. Demi melanjutkan pendidikan ke schakel scholl (sekolah lanjutan rendah), ia pun mengikuti sanak-keluarganya di Wonogiri.

Bukti lain ketekunannya, Pak Harto menjadi murid yang selalu menerima pujian guru, terutama untuk pelajaran berhitung. Memang, ia menggemari pelajaran ini. Demi melengkapi pengetahuan, ia pun mengunyah pendidikan agama. Bahkan, aktif di kepanduan Hizbul Wathan yang bernafaskan Islam.

Malang, gairah mengenyam pendidikan terhenti saat ia merampungkan sekolah lanjutan rendah Muhammadiyah, 1939. Orangtuanya tak mampu menyokong keinginannya untuk melanjutkan pendidikan. “Tak lebih dari ini yang dapat kulakukan untuk melanjutkan sekolahmu ,”kenang Pak Harto, mengutip ucapan ayahnya, seperti dipaparkan di buku itu. Betapa rawan hatinya, pintu sekolah tinggi tertutup ketika impian masa muda membayang di depannya.

Agaknya, kegetiran semacam ini membikinnya berikhtiar agar deretan generasi muda yang terpelanting dari bilik sekolah kian berkurang. Tak heran, di masa kepemimpipannya Pak Harto bersungguh -sungguh memperhatikan masa pendidikan. Misalnya, menginstruksikan pemekaran SD Inpres hingga ke pelosok demi mengurangi deretan anak tak bersekolah.

Bahkan, bertepatan dengan Hardiknas 2 Mei 1984, Pak Harto mencanangkan gerakan Wajib Belajar. Bila gerakan ini semula untuk memberantas anak yang tidak tamat SD (mencapai 97%), maka tahun depan Pak Harto akan mencanangkan gerakan Wajib Belajar sembilan tahun. Kali ini yang dibidik ialah menghapus jumlah anak putus sekolah sebelum SLTP. Pak Harto pun mencanangkan program pemberantasan 3-Buta: buta aksara Latin dan angka, buta bahasa Indonesia, buta pendidikan dasar. Di sisi lain, pada Kabinet Pembangunan VI ini, Pak Harto pun memusatkan perhatian terhadap peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) yang di antaranya diharapkan melalui peningkatan mutu pendidikan.

Tampaknya, kiprahnya di bidang pendidikan ini diperhatikan UNESCO. Bahkan, mengutip laporan Antara, mantan Dubes RI untuk UNESCO Prof . Dr. Marsetio Donoseputro menyingkapkan, sejak 1989 Dirjen UNESCO telah tertarik dengan langkah Pak Harto mengembangkan sistem pendidikan universal. Tak mengherankan jika Mayor memuji wawasan Pak Harto yang memahami berbagai kondisi pendidikan secara luas. “Apapun Jatar belakang pendidikan Presiden Soeharto, dia pastilah seorang berjiwa pendidik yang penuh perhatian,” ini bentuk pujian Mayor.

Hal inilah yang melatari pengan ugerahan Avicenna Medals yang direncanakan diberikan hari ini. Organisasi pendidikan, kemasyarakatan, dan kebudayaan dunia ini, menilai Pak Harto mampu mengembangkan sistem pendidikan dasar yang tepat bagi bangsa Indonesia dan dapat dicontoh oleh negara lain. Sebagai penghargaan tertinggi di UNESCO,  medali ini diberikan kepada pribadi  yang mampu mengembangkan seluruh misi UNESCO. Yaitu, mengembangkan kemajuan pendidikan dan kebudayaan masyarakat dalam pengertian luas. Pak Harto merupakan pribadi pertama yang menerimanya.

Nama medali ini dipetik dari nama cendekiawan muslim Avicenna yang bemama asli Abu Ali Al-Husain Ibn Abdallah Ibn Sina. Dokter yang menjadi pendidik ini, semasa hayatnya (980-1037 M) menyumbangkan pemikirannya sebagai peneliti ilmu kedokteran maupun keagamaan.

Mayor tentu tak berlebihan ketika memuji jiwa kependidikan Pak Harto. Siapa pun agaknya akan menyetujuinya, bila menyaksikan Pak Harto berdialog dengan petani di berbagai temu wicara.

Meloncati dinding protokoler, ia pun menghapuskan jarak ketika menampung keluh kesah petani sesuatu yang semestinya senantiasa ditampilkan pendidik, demi memuluskan transformasi pengetahuan. Lalu, dengan welas dan diwarnai canda khasnya, ia pun mencoba membimbing. Di sini, Pak Harto bukan melakonkan guru galak yang menyebabkan pelajar berjarak.

Tak heran, anak-anak pun menyukainya. Ratusan surat mengalir kepadanya. Bahasa murni anak-anak itu tak sekadar menyapanya sebagai presiden, juga mengisahkan kenaikan ranking, atau mengeluhkan mengapa sulit mengunyah pelajaran. Bahkan, ada yang menuturkan kelaraannya dalam memetik pendidikan, seperti yang dikeluhkan seorang pelajar dari Kediri. Ia menuliskan, “Kadang saya menangisi sendiri, karena saya ingin sekolah terus dan ingin menjadi orang pandai ….”Semua ini terkemas di kumpulan surat yang dibukukan oleh G Dwipayana dan Sinansari Ecip.

Bila suara hati (di surat) anak-anak adalah bisikan kebenaran Tuhan, maka pilihan UNESCO terhadap Pak Harto sebagai tokoh pendidik internasional, tepat dan memiliki makna mendalam. Dan kepada deretan anak-anak yang sedang menggapai pendidikan itulah, kelak makna kehadiran medali tersebut terasakan. (rudy harahap)

Sumber :REPUBLIKA ( 19/06/1993)

_____________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 722-724.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.