72 Tahun Pak Harto: PRIBADI YANG TAAT DAN TAK INGIN RAKYAT MENDERITA

72 Tahun Pak Harto: PRIBADI YANG TAAT DAN TAK INGIN RAKYAT MENDERITA[1]

Jakarta, Pelita

TIDAK terasa hari ini Selasa 8 Juni 1993, usia Pak Harto genap 72 tahun. Tidak terasa memang, karena sepanjang usianya tersebut dicurahkan untuk kepentingan bangsa dan negara. Terlebih lagi Pak Harto yang bulan Maret lalu terpilih lagi menjadi Presiden RI untuk keenam kalinya itu, kini juga menjadi ketua negara-negara berkembang yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok.

Tampak dari aktivitasnya sehari-hari yang super sibuk, dengan semakin bertambahnya usia tersebut, tidak membuat aktivitas Bapak Bangsa ini berkurang. Rata-rata setiap hari menerima tamu tiga sampai sembilan kali, baik itu menteri, pejabat tinggi maupun tokoh masyarakat dan tamu dari luar negeri. Belum lagi kunjungan ke daerah dan luar negeri. Presiden Soeharto lahir dari perkawinan Sukirah dengan Kertosudiro di rumah orang tuanya yang sederhana di Desa Kemusuk, dusun terpencil di daerah Argomulyo Godean, sebelah barat Yogyakarta. Waktu itu ayahnya sebagai ‘ulu-ulu’ atau petugas desa yang mengatur air. Ayahnyalah yang memberi nama Soeharto kepadanya.

Sewaktu Kertosudiro menikahi Sukirah, ia berstatus duda dengan dua anak. namun setelah Soeharto lahir, kedua orang tuanya bercerai. Ayahnya kawin lagi dan mempunyai anak empat, sedangkan ibunya juga kawin lagi dengan Atmopawiro berputra tujuh, di antaranya H. Probosutedjo.

Banyak orang menebak-nebak, apa saja yang sering dilakukan Pak Harto selaku pribadi. Yang pasti ia tidakjauh beda dengan orang lain. Pak Harto bangun pagi antara pukul 04.30- 05.00. Sebagai umat Islam yang taat dan ini sudah tertanam kuat sedari kecilnya, Pak Harto melakukan sholat Subuh. Setelah itu ia meneguk kopi yang sudah terhidang di atas meja sambil membaca koran. Dari koran, Pak Harto sepagi itu sudah mengetahui apa-apa yang terjadi di seluruh Tanah Air, bahkan sampai ke desa-desa. “Pembangunan memang harus menyentuh mereka yang tinggal jauh dipedesaan, bahkan yang sangat terpencil pun. Kabar-kabar mengenai keadaan di kampung­ kampung yang jauh menjadi ukuran buat saya, seberapa jauh sudah kita laksanakan pembangunan,” ujar Pak Harto seperti tercantum dalam buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.”

Setiap pagi, sebelum melaksanakan aktivitas sehari-harinya, Pak Harto memang selalu menyempatkan membaca koran terlebih dahulu. Baru setelah koran, Pak Harto menyelesaikan surat-surat dan menandatanganinya. Semua surat-surat harus selesai, tidak ada yang tersisa atau ditunda, meski kadang-kadang banyak sekali. Untuk itu waktu yang disediakan pukul 06.00 sampai 08.00.

Biasanya Pak Harto berada di kantor, di lstana atau di Bina Graha, rata-rata pukul 08.30. Adakalanya Pak Harto menerima tamu di kediaman Jalan Cendana No. 8, jika tamunya hanya satu-dua orang.

Setelah menerima tamu-tamunya, baik menteri, pejabat, kelompok masyarakat atau lainnya di Bina Graha atau Istana, Pak Harto kembali ke rumah pukul 14.30. lstirahat sebentar lalu sembahyang lohor dan makan siang. Kalau badan dan terlalu Ielah, Pak Harto memerlukan tidur siang, sejenak. Kalau tidak, ia cukup dengan beristirahat saja di kursi, duduk-duduk dan melamun sembari mengisap cerutu, rokok kretek atau kelobot. Untuk menjaga stamina tubuhnya, Pak Harto berolahraga, rata-rata dua kali seminggu ia main golf. Untuk mengisi kesegaran pikirannya, Pak Harto memerlukan untuk bertemu dengan para cucunya menjelang magrib. “Saya memerlukan kehangatan suasana keluarga setelah ditimbun oleh pekerjaan-pekerjaan berat,” ungkap beliau.

Pak Harto biasanya mulai bekerja lagi pukul 19.00 sampai larut malam. Dalam waktu-waktu itu ada saja orang yang diterimanya di kediamannya, mulai dari yang membawa persoalan dinas sampai mereka yang membawa persoalan yang sifatnya keluarga. Terkadang ada juga keramaian di kediamannya itu, tapi sederhana saja. Misalnya, kalau merayakan hari ulang tahun seseorang diantara anggota keluarga, upacara ‘pitonan ‘ atau turun tanah sang cucu, atau hari ulang tahun perkawinan Pak Harto-Ibu Tien.

Pada hari libur terkadang Pak Harto pergi ke laut, kalau tidak ke Tapos. Tapi kadang-kadang juga pergi ke dapur dan mencoba kepandaian memasak. Rupanya Pak Harto menggemari masakan Jepang, dan perlu belajar untuk membuatnya. Tapi bagaimanapun juga ia paling suka akan sayur lodeh yang dibuat sendiri oleh lbu Tien, atau ikan bakar, atau goreng belut yang katanya membawa kenangan sewaktu anak­ anak.

PAK Harto dalam banyak kesempatan sering mengandalkan dirinya dengan sebutan TOP, yaitu tua, ompong, dan pikun. Kalau dibilang tua memang Pak Harto sudah tua, tapi daya ingatannya tetap brilian.

Ketajaman ingatan tampak sekali jika mengadakan obrolan bebas dengan para tamunya, misalnya, di Tapos atau, obrolan dalam suatu temu wicara di daerah. Dalam berbagai kesempatan itu. Pak Harto yang memang sangat menguasai masalah pertanian dan peternakan akan selalu menjelaskan hobinya beternak dan bertani tersebut.

Semua yang dikemukakan baik mengenai angka-angka maupun teknis coba dibeberkan secara gamblang dan tepat. Untuk yang satu ini banyak orang heran dan kagum: begitu kuat daya ingatan Pak Harto.

Dalam perjalanan kurun waktu selama hampir tiga perempat abad ini begitu banyak peristiwa yang dialaminya. Di dalam buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya”, antara lain disebutkan terpaan-terpaan hidup yang selalu menghadang Soeharto kecil membuat dirinya menjadi pemuda mandiri yang tumbuh berkembang untuk dapat menembus cita-cita hidupnya.

Namun pendidikan agama Islam yang kuat telah mengukuhkan iman dan ketaqwaannya dalam menempuh segala cobaan hidup. Falsafah Jawa yang berakar dalam lingkungan keluarga juga menumbuhkan pengertian yang dalam mengenai kehidupan dalam masyarakat. Oleh sebab itulah, semua kesengsaraan hidup dijadikan sebagai sesuatu yang harus dihadapi dengan ketegaran dan kemandirian, agar sesuatu yang dicita-citakan dapat diraih.

Itulah pula yang ditanamkan Pak  arto kepada keluarganya, sebagaimana yang telah diajarkan orang tuanya.. Suatu pegangan hidup yang selalu diingatnya, adalah ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumeh. “Saya membekali keluarga saya dengan budi pekerti. Lantas dengan kepandaian. Saya lebih mementingkan hal itu daripada membekali mereka dengan harta benda,” tutur Pak Harto.

Menurut Pak Harto kalau kita mempunyai kedudukan, kekayaan mempunyai sesuatu itu yang lebih, janganlah lupa, bahwa sewaktu-waktu hal itu bisa berubah, kalau Tuhan menghendakinya. Sebab itu jangan mentang-mentang berkedudukan tinggi, seseorang terus berlaku sewenang-wenang, dan jika kaya lalu lupa daratan. Begitu banyaknya penderitaannya sewaktu kecil, sehingga Pak Harto selalu mementingkan ‘tepa selira’. “Sepantasnyalah rasa ‘tepa selira ‘ saya besar, disebabkan oleh penderitaan saya yang begitu besar.”

Dengan perasaan seperti itu dalam diri Pak Harto timbul perasaan dan keinginan yang begitu besar supaya orang lain jangan menderita. “Begitulah saya bersikap sewaktu menjadi panglima, begitu pula sewaktu menjadi komandan terhadap anak buah. Begitu juga sampai menjadi Presiden. Selalu saya usahakan sejauh mungkin agar rakyat tidak menderita, setahap demi setahap. Orang menderita itu tidak enak. Saya sendiri telah merasakannya.” (agus hitopa)

Sumber:PELITA(OS/06/1993)

__________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 889-892.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.