Kemiskinan dan Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Distribusi Pendapatan Lebih Merata Jaman Orba
Amanat Konstitusi
SALAH satu masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia sejak sebelum kemerdekaan hingga kini adalah masalah kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan. Pada masa penjajahan dulu, kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan sudah menjadi masalah bangsa ini. Bahkan, penguasa penjajahan waktu itu menyatakan kaum pribumi cukup hidup dengan “segobang” sehari sementara para penjajah dan mereka yang menjadi alat penjajah berpenghasilan sangat besar jika dibandingkan dengan pendapatan pribumi.
Kenyataan tersebut menjadi salah satu alasan utama pemimpin pada masa itu berjuang memerdekakan bangsa Indonesia. Mereka ingin menciptakan kemakmuran dan keadilan. Sedemikian pentingnya upaya menciptakan kemakmuran dan keadilan, sehingga mereka merasa perlu untuk menuangkan hal tersebut dalam Pembukaan Undang Undang Dasar dari negara yang mereka dirikan.
Maka, simaklah Pembukaan Undang Undang Dasar Alinea kedua yang dengan jelas mengamanatkan, “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia,yang merdeka bersatu berdaulat, adil, dan makmur.”
Alinea di atas selain menunjukkan rasa kebahagiaan para pendiri Negara, yang telah berhasil mengantarkan bangsa ke depan pintu gerbang kemerdekaan, juga mengharapkan agar di alam kemerdekaan itu, generasi penerus bangsa dapat meneruskan perjuangan untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi bangsa yang yang merdeka, bersatu, dan berdaulat ini.
Namun, sejarah menunjukkan bangsa kita tidak dapat segera mewujudkan amanat para pendiri negara untuk mewujudkan cita-cita mereka. Sebab, bangsa ini harus mempertahankan kemerdekaan dari agresi penjajah. Perang dan revolusi pun meletus. Perang Kemerdekaan memakan waktu cukup panjang. Sekitar lima tahun bangsa ini harus melakukan perjuangan bersenjata melawan penjajahan.
Setelah memperoleh pengakuan kemerdekaan dari masyarakat internasional, bangsa ini pun masih harus menghadapi berbagai gejolak susulan akibat perang dan revolusi. Setelah berhasil meredam gejolak tadi, bangsa masih harus menghadapi dampak akibat Perang Dingin antara Blok liberal-kapitalis melawan Blok sosialis-komunis.
Era Orde Baru
Baru pada 1969, setelah lebih dari 25 tahun menjadi bangsa merdeka, Indonesia dapat mulai membangun untuk mewujudkan cita-cita pendiri negara. Dalam mewujukkan cita-cita tersebut, satu hal paling penting adalah mewujudkan keadilan dan kemakmuran. Sebab, apalah arti menjadi bangsa merdeka, bersatu, dan berdaulat jika belum dapat mewujudkan kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat.
Suatu masyarakat dapat dikatakan makmur apabila terbebas dari kemiskinan. Keadilan (dalam konotasi ekonomi) pun dapat dikumandangkan lantang apabila tidak terjadi ketimpangan distribusi pendapatan. Bangsa yang adil dan makmur adalah masyarakat yang terbebas dari kemiskinan sementara distribusi pendapatan di antara rakyat realtif merata. Upaya tadi tentu tidak mungkin diwujudkan dalam jangka waktu pendek. Upaya tadi hanya dapat diwujudkan melalui upaya terus-menerus dalam jangka waktu panjang.
Kita merasa bersyukur bahwa sejak 1969, bangsa ini mulai dapat memfokuskan diri pada pembangunan untuk mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan. Tentu upaya suatu bangsa—apalagi upaya mewujudkan kemakmuran dan keadilan—tidak terlepas dari berbagai tantangan. Namun kenyataan menunjukkan tantangan terbesar adalah tantangan dari dalam diri, yaitu para pelaksana pembangunan itu sendiri.
Kemiskinan merupakan masalah sangat kompleks dan multidimensional. Kemiskinan tidak saja masalah ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan politik, budaya, dan sosial. Namun secara ekomomi, kemiskinan dapat ditentukan dengan membandingkan kemampuan seseorang dengan batas garis kemiskinan yang sudah disetujui. Namun untuk menentukan garis kemiskinan itu sendiri tidaklah sederhana. Ada berbagai metode dengan banyak aksioma yang dipergunakan.
Secara umum dapat dikatakan indikator kemiskinan terdiri dari dua macam, kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Ukuran kemiskinan absolut dikaitkan dengan kemampuan seseorang memenuhi kebutuhan pokoknya yang diukur dengan garis kemiskinan absolut. Sedangkan ukuran kemiskinan relatif ditentukan oleh distrbusi pendapatan di antara berbagai golongan penduduk. Kedua ukuran tersebut selalu dihitung Badan Pusat Statistik, yang akan kita jadikan patokan dalam tulisan ini.
Sebagai hasil pembangunan yang dilakukan antara 1969-1998, jumlah penduduk miskin terus berkurang. Apabila pada 1976, penduduk miskin berjumlah sekitar 54 juta, maka pada 1999 menjadi 37,5 juta jiwa atau berkurang dari 40,08 persen pada 1976 menjadi 18,17 persen pada 1999. Berkurangnya jumlah dan persentase penduduk miskin tersebut menjadi kian berarti karena batas garis kemiskinan yang digunakan juga terus meningkat selama periode 1976-1999. Sesungguhnya jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 1999 bisa lebih kecil karena pada 1996 jumlah penduduk miskin di Indonesia pernah mencapai 22,5 juta jiwa atau sekitar 11,34 persen. Tapi terjadi krisis moneter datang mendera pada pertengahan kedua 1997. Tak ayal, jumlah penduduk miskin pada 1999 pun melonjak. Naiknya harga berbagai barang kebutuhan pokok dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor menjadi penyebabnya.
Pemerataan Pendapatan: Orba Lebih Baik
Ketimpangan pembagian pendapatan dan kemiskinan merupakan dua masalah yang selalu muncul bersama-sama dalam perkembangan suatu masyarakat. Jika kemiskinan menujukkan ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup minimum, maka ketimpangan pembagian pendapatan menunjukkan perbedaann pendapatan antara penduduk kaya dengan penduduk miskin. Semakin besar jurang pendapatan antara kelompok kaya dengan miskin, maka semakin besar pula variasi distribusi pendapatan. Dengan kata lain perbedaan kualitas hidup antara si kaya dengan si miskin juga semakin besar.
Apabila ini terjadi, bukan saja akan melemahkan ketahanan nasional bangsa tetapi juga akan mempersulit keinginan bangsa ini untuk membangun demokrasi. Lebih dari itu, ini jelas sangat jauh dari amanat para pendiri Negara, yang menginginkan masyarakat Indonesia hidup dalam keadilan dan kemakmuran.
Ketimpangan pembagian pendapatan akan terus berlangsung apabila tidak ada usaha khusus untuk memberdayakan mereka yang berada pada posisi kurang beruntung. Karena itu, upaya ini tidak bisa begitu saja diserahkan kepada mekanisme pasar. Upaya ini harus dilakukan Negara.
Untuk mengetahui tingkat ketimpangan pembagian pendapatanpara, ahli telah mengembangkan berbagai ukuran dan metode. Sungguh pun demikian ukuran yang paling sering digunakan adalah Gini Ratio dan Kriteria Bank Dunia. Karena itu, tulisan ini akan menggunakan kedua ukuran tersebut.
Perhitungan Gini Ratio telah lama digunakan di Indonesia. Nilai Gini Ratio berkisar antara 0 hingga 1. Makin besar angka Gini Ratio, maka makin timpang distrbusi pendapatan. Gini Ratio 0 berarti pemerataan telah terjadi secara sempurna. Itu bermakna setiap penduduk mempunyai tingkat pengeluaran sama. Sedangkan jika Gini Ratio 1, itu berarti ketimpangan terjadi secara sempurna (tentu saja hal ini tidak akan pernah terjadi).
Cara lain yang banyak digunakan di Indonesia untuk menunjukkan tingkat pembagian pendapatan di antara golongan penduduk adalah menggunakan Kriteria Bank Dunia. Menurut Kriteria Bank Dunia, ketimpangan pendapatan dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: [1] ketimpangan pendapatan disebut serius jika 40 persen penduduk termiskin menerima kurang dari 12 persen pendapatan; [2] ketimpangan pembagian pendapatan disebut menengah jika 40 persen penduduk termiskin menerima 12 hingga 17 persen pendapatan; [3] ketimpangan pendapatan disebut rendah jika 40 persen penduduk termiskin menerima lebih dari 17 persen pendapatan.
Ukuran ini bukan ukuran distribusi pendapatan yang bersifat menyeluruh karena hanya memperhatikan pendapatan yang diterima oleh 40 persen penduduk termiskin. Menurut Bank Dunia, selama melaksanakan pembangunan antara periode 1978-1999, Indonesia termasuk kategori rendah dan kondisinya terus membaik. Kalau pada 1978, 40 persen penduduk termiskin hanya menerima 18,13 persen dari total pendapatan, maka pada Agustus 1999 jumlah pendapatan yang diterima oleh 40 persen penduduk termiskin meningkat menjadi 20,32 persen.
Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa pembagian pendapatan di Indonesia pada masa itu juga terus bertambah merata seiring meningkatnya pendapatan yang diterima 40 persen penduduk termiskin, persentase pendapatan yang diterima 20 persen penduduk terkaya juga semakin berkurang. Kalau pada 1978, 20 persen penduduk terkaya menguasai 45,34 persen total pendapatan, maka pada 1999, jumlah pendapatan yang diterima oleh 20 persen penduduk terkaya tinggal 42,19 persen. Sedangkan jumlah pendapatan yang diterima oleh 40 persen penduduk berpendapatan menengah tidak banyak berubah selama periode 1978-1999, yaitu berkisar antara 35 sampai 37 persen.
Data tadi menunjukkan bahwa dengan melaksanakan pembangunan sesuai dengan amanat Garis-Garis Besar Haluan Negara yang ditetapkan oleh rakyat melalui MPR, perekonomian bangsa terus meningkat (selama melaksanakan pembangunan dari 1969 hingga pertengahan 1998, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat rata-rata lebih dari 5 persen per tahun). Pembagian pendapatan juga makin merata.
Kita merasa prihatin bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi saat ini lumayan besar, atau lebih dari 6 persen, distribusi pendapatan tidak bertambah baik. Hal ini tampak pada bertambah besarnya angka Gini Ratio yang mencapai 0,38.[]
Sumber: Jejak Langkah, Harian Pelita, 29 November 2012/Soenarto S