Kesetiakawanan di antara Sesama Manusia[1]
Sikap adil terhadap umat yang beragama yang ada dengan sah di Indonesia ini tentu saja mesti saya tunjukkan. Maka untuk pertama kali Presiden RI hadir pada perayaan Natal bersama pegawai negeri RI di akhir Desember 1986 yang dilangsungkan di Balai Sidang, Jakarta.
Di depan umat Kristen Protestan dan Katolik peserta perayaan itu, saya menyampaikan pesan dengan menekankan pada kesetiakawanan di antara sesama manusia. Sebenarnyalah saya serukan itu kepada umat kristiani khususnya dan kepada umat beragama Indonesia umumnya.
Saya katakan, betapa pentingnya usaha untuk menebalkan rasa kesetiakawanan di antara sesama manusia. Kesetiakawanan dalam hal ini berarti kemampuan kita untuk bersama-sama menghayati kesulitan kita sebagai bangsa yang sedang membangun. Dan penghayatan yang demikian itu akan melahirkan rasa seia-sekata dalam suka dan duka, melahirkan sikap berat sama-sama dipikul, dan ringan sama-sama dijinjing.
Benar, saya merasakan kebahagiaan tersendiri berada bersama sama mereka yang hadir di Balai Sidang dalam kesempatan merayakan Natal itu. Bagi bangsa Indonesia, memupuk rasa kesetiakawanan bukan hal yang bersifat sementara. Juga bukan hanya karena pembangunan bangsa dan negara sedang berada dalam masa-masa yang sulit. Rasa kesetiakawanan itu justru merupakan ungkapan yang sangat dalam dari pandangan hidup bangsa, yaitu Pancasila.
Saya ingatkan, dalam UUD ’45 diamanatkan bahwa negara yang kita bangun ini adalah negara kekeluargaan. Karena itu, suasana dan semangat kehidupan yang harus dibina bersama-sama jauh lebih bermakna daripada suasana kesetiakawanan. Karena, suasana kehidupan yang harus kita bina dan kita rasakan adalah suasana kekeluargaan yang mesra di antara kita semua, keluarga besar bangsa Indonesia.
Usaha mengembangkan suasana kekeluargaan di antara semua lapisan dan golongan masyarakat kita itu sekarang menemukan momentumnya yang tepat, karena kita telah menegaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam rangka memantapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas, bangsa Indonesia telah dapat mengembangkan hubungan yang positif dan kreatif antara kehidupan beragama yang berpedoman pada iman dari masing-masing agama yang diyakini dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berasaskan Pancasila. Hal ini erat hubungannya dengan tugas bersama semua golongan beragama dalam masyarakat untuk bersama-sama pula meletakkan landasan moral, etik, dan spiritual yang kukuh bagi pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.
Dengan jalan itulah golongan umat beragama memberi sumbangan yang sebesar-besarnya dan sebaik-baiknya bagi negara Pancasila, yang bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler.
Dengan sumbangan itu, semua golongan umat beragama di negara Pancasila ini dapat bertemu dan bekerja bahu-membahu, dengan tetap memberi penghormatan yang tulus dan ikhlas kepada keimanan masing-masing. Dengan jalan itu pula, kita kembangkan kerukunan hidup antara umat beragama, yang merupakan bagian dari kemajemukan bangsa yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Saya yakin, seperti pernah berulang kali saya kemukakan, kita dapat menjadi manusia Pancasila yang penuh kesadaran dan sekaligus menjadi umat beragama yang penuh keimanan. Kedua-duanya dapat kita pertemukan, tanpa kita mengalami keretakan batin dan kegoyahan iman. Sekali lagi, Pancasila tidak akan kita agamakan dan agama tidak akan kita Pancasilakan.
Dengan agama sebagai landasan moral, etik dan spiritual dalam pelaksanaan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila, maka bangsa Indonesia dapat menjaga agar pembangunan yang memang mengejar kemajuan itu tetap memiliki moral, tetapi menjunjung tinggi etik dan tetap memiliki nilai-nilai spiritual, yang semuanya membuat bangsa Indonesia merasa bahagia.
Dalam kesempatan itu, saya menyerukan kepada umat kristiani Indonesia umumnya, agar perayaan Natal selalu terasa sebagai kekuatan pendorong yang baru untuk menjadi umat kristiani yang baik.
***
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 471-473.