Mendalami Permasalahan Ekonomi Indonesia
Nasrudin Sumintapura (Menteri Muda keuangan dalam Kabinet Pembangunan V)
Setiap orang Indonesia mengenal Bapak Soeharto sebagai salah seorang tokoh yang melahirkan Orde Baru pada tahun 1966. Namun demikian tidak setiap warga berkesempatan untuk bertatap muka maupun berjabat tangan. Demikian pula dengan diri saya.
Saya mulai mengenal dari jauh Bapak Saeharto ketika saya masih menjadi asisten pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 1966, 23 tahun yang lalu.
Ketika itu sebagai salah satu unsur Universitas Indonesia, saya berkesempatan untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan yang akhirnya melahirkan Orde Baru yang merupakan salah satu tonggak sejarah bangsa Indonesia.
Saya sadari sepenuhnya bahwa peranserta saya tersebut sangatlah kecil dibandingkan dengan rekan-rekan yang lain. Pada waktu itulah saya mulai mengenal Bapak Soeharto sebagai salah seorang Jenderal TNI-AD yang nampak menonjol kepemimpinannya, khususnya di saat bangsa Indonesia menghadapi krisis kepemimpinan, sehingga akhirnya beliau diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia yang kedua.
Setelah lahirnya Orde Baru, saya diberikan kesempatan untuk tugas belajar sehingga perkenalan dengan beliau hanya melalui berita media massa, baik cetak maupun visual serta dari surat rekan-rekan di Jakarta.
Satu hal yang sangat menonjol yang saya jumpai adalah commitment beliau terhadap pembangunan nasional, khususnya dalam pembangunan ekonomi, dimana keadaan ekonomi Indonesia pada waktu itu sangat memprihatinkan. Ternyata commitment beliau terhadap pembangunan nasional itu demikian kukuhnya sampai dewasa ini, sebagaimana tercermin dalam setiap Pelita.
Ketika saya kembali bertugas mengajar, mengingat bidang yang saya tekuni menyangkut ekonomi, management dan keuangan, maka tentunya berbagai kebijakan ekonomi yang beliau sampaikan selalu menjadi bahan kajian dan pemaparan dalam perkuliahan.
Satu hal yang sangat terkesan adalah kebijakan beliau terhadap pembinaan koperasi dan golongan ekonomi lemah. Khususnya mengenai pembinaan kedua kelompok pelaku ekonomi tersebut saya berkesempatan untuk terjun dan menanganinya melalui Lembaga Management Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Pada tahun 1984, saya mendapat kepercayaan untuk menjabat Asisten Menko Ekuin dan Wasbang. Dalam kedudukan tersebut saya dapat lebih mengenal Bapak Soeharto melalui berbagai kebijakan dan petunjuk yang menyangkut bidang pembangunan nasional, khususnya bidang ekonomi, keuangan dan industri.
Dari berbagai pengalaman dalam menangani bidang Ekuin tersebut, saya sebagai orang yang mempunyai latar belakang pendidikan ekonomi dan keuangan sangat mengliargai bahkan, mungkin lebih tepat, mengagumi pandangan-pandangan beliau mengenai tatanan ekonomi Indonesia.
Tidaklah berkelebihan bila saya katakan bahwa beliau mendalami permasalahan ekonomi Indonesia secara rinci sebagaimana layaknya seseorang yang mempunyai pendidikan formal di bidang ekonomi. Masih teringat jelas nasehat Bapak Menko Ekuin dan Wasbang pada Kabinet Pembangunan IV yang ditujukan kepada saya pada waktu itu tentang bagaimana Bapak Soeharto akan selalu ingat terhadap angka-angka statistik atau data yang telah disajikan oleh para menteri, sehingga jangan sampai saya menyajikan angka-angka yang tidak konsisten antara satu laporan dengan laporan lainnya.
Salah satu kebijakan ekonomi yang dengan berat hati terpaksa harus beliau putuskan adalah penjadwalan kembali proyek-proyek pembangunan dalam kurun waktu Kabinet Pembangunan IV mengingat merosotnya harga minyak bumi internasional yang sangat berpengaruh terhadap pendapatan negara.
Ini saya rasakan sebagai suatu keputusan yang sangat rasional di satu sisi, dan di pihak lain suatu keputusan yang sangat berani, mengingat bahwa aspirasi pembangunan pada waktu itu sudah sedemikian tingginya. Namun beliau secara sadar telah mengambil langkah yang tepat sehingga bangsa dan negara Indonesia tercinta ini dapat mampu melampaui resesi dunia yang berkepanjangan secara relatif lebih baik dari negaranegara berkembang lainnya.
Demikian pula kebijakan di bidang ekonomi yang beliau putuskan dalam rangka menciptakan iklim usaha yang menunjang peran serta swasta dalam pembangunan nasional, yaitu kebijakan deregulasi dan debirokratisasi.
Kebijaksanaan ini saya anggap sangat tepat dan menunjukkan bagaimana pekanya Bapak Soeharto terhadap berbagai gejala atau indikator di bidang ekonomi. Itulah perkenalan saya dengan Pak Harto dari jauh.
Pada tanggal 15 Maret 1988 ketika saya menghadiri seminar di Bandung, saya mendapat telepon dari Bapak Moerdiono (ketika itu beliau masih menjabat sebagai Menteri Muda/Sekretaris Kabinet). Pak Moerdiono memberitahukan bahwa Presiden berkenan meng undang saya untuk meninjau peternakan di Tapos.
Tentunya saya gembira sekali mendapat kesempatan meninjau peternakan tersebut, yang selama ini hanya dapat saya baca dari majalah atau surat kabar saja. Untuk keperluan tersebut saya diminta untuk berkumpul pada hari Rabu tanggal 16 Maret, pagi sekitar jam 6.30 di Wisma Baja.
Ketika saya tiba di Wisma Baja pada hari itu ternyata sudah ada rekan-rekan BS Mulyana, Saadillah Mursjid, Soedradjad Djiwandono, Sjarifudin Baharsjah, dan Tungky Ariwibowo. Tidak lama kemudian tiba Bapak Moerdiono. Kemudian kami berangkat bersama-sama menuju peternakan Tapos. Setelah melakukan perjalanan lebih kurang satu jam, kami tiba di sana.
Bapak Presiden menyambut kami dan mempersilahkan seluruh rombongan menuju ruang tamu yang merupakan bangunan sederhana tetapi ditata dengan rapi. Adalah merupakan hal yang tidak diduga sama sekali bagi saya pribadi maupun seluruh keluarga, bahwa pada hari itu saya mendapat kepercayaan dari Bapak Soeharto untuk duduk dalam Kabinet Pembangunan V sebagai Menteri Muda Keuangan. Saya sangat bersyukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan karunia-Nya mendapat kepercayaan tersebut.
Masih teringat pesan-pesan beliau pada kami selumh rombongan ketika itu. Beliau berpesan agar hendaknya didalam menjalankan tugas perlu adanya koordinasi, pekerjaan adalah hasil kerjasama tim, jangan mudah tersinggung, jangan menunggu diminta untuk membantu tetapi tawarkan apa yang bisa dibantu. Pesan beliau ini mempakan pegangan saya dalam menjalankan tugas dalam Kabinet Pembangunan V.
Pada waktu kami di Tapos, kami berkesempatan berkeliling melihat-lihat tempat peternakan baik peternakan sapi maupun domba bersama Bapak Soeharto. Beliau menjelaskan secara ter perinci mengenai masalah peternakan serta pertanian yang mencerminkan pengetahuan beliau yang sangat mendalam di bidang peternakan dan pertanian, di samping beliau sebagai negarawan yang bijaksana.
Pada waktu ini saya telah lebih dari tiga tahun menjadi pembantu Bapak Presiden, yaitu selaku Menteri Muda Keuangan. Kalau dulu saya mengenal Bapak Soeharto dari jauh, maka sesudah jumpa dan tatap muka pada tanggal16 Maret 1988 itu dan setelah saya dilantik menjadi anggota Kabinet Pembangunan V, saya merasa lehih mengenal beliau dari dekat.
Berbagai petunjuk beliau di bidang ekonomi tetap konsisten sebagaimana yang saya alami sewaktu menjabat Asisten Menko Ekuin dan Wasbang pada Kabinet Pembangunan IV yang lalu. Bahkan lebih dari pada itu, beliau merestui kelanjutan dari kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi dalam menciptakan iklim usaha yang menunjang peran serta masyarakat dalam pembangunan.
Disamping tentunya diharapkan bahwa dengan adanya iklim usaha yang menunjang, maka akan timbul usaha-usaha bam yang pada gilirannya akan menciptakan pula peluang kerja. Hal ini sangat penting mengingat pertambahan angkatan kerja selama Pelita V diperkirakan akan mencapai 11,5 sampai 12 juta orang.
Pertambahan ini tentunya memerlukan lapangan kerja baru dan bilamana tidak terpenuhi akan dapat menimbulkan berbagai kerawanan sosial. Pandangan beliau mengenai hal ini sangat tajam, sehingga salah satu upaya menciptakan iklim usaha yang sehat adalah dengan meninjau semua ketentuan dan pemndangan yang menghambat berkembangnya dunia usaha. Dalam kesempatan ini saya telah mendapatkan kepercayaan untuk membantu mempersiapkan kebijakan bidang deregulasi dan debirokratisasi.
Mengenai hal ini ada satu pengalaman yang tidak dapat saya lupakan, yaitu pada waktu menghadap Bapak Presiden bersama rekan-rekan menteri di bidang Ekuin untuk melaporkan persiapan materi Paket November tahun 1988. Saat itu Menteri Perindustrian, yang sedang melaporkan deregulasi di bidang industri, tiba-tiba menjadi agak ragu-ragu untuk meneruskan membaca laporan (ternyata ada kesalahan ketik didalam laporan tersebut).
Bapak Presiden melihat suasana yang demikian, lalu mengalihkan pembicaraan pada topik lain. Hal ini beliau lakukan untuk tidak membuat kami semua yang menghadap menjadi panik. Ini semua mencerminkan sifat kearif bijaksanaan dari Bapak Soeharto baik sebagai orang yang dituakan maupun sebagai negarawan.
Berbicara mengenai kepemimpinan nasional, demikian banyak konsep ataupun pakar yang dapat mempaparkannya. Namun apa bila kita simak kembali perjuangan bangsa Indonesia, maka kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Jenderal Soeharto pada peristiwa G-30-S/PKI, dimana beliau secara sadar menerima tanggung jawab yang besar untuk menyelesaikan permasalahan nasional, sudah menunjukkan bahwa beliau memang mempunyai kualifikasi pimpinan nasional.
Namun lebih dari itu, beliau selaku negarawan maupun pimpinan nasional mempunyai satu falsafah yang saya anggap sangat tepat, bukan saja didalam tata budaya di negara kita namun dapat pula berlaku secara universal. Adapun salah satu falsafah yang beliau kemukakan adalah nglurug tanpa bala, dan menang tanpa ngasorake.
Sebagai seorang yang pernah mengecap pendidikan di Jawa Tengah selama masa revolusi fisik, saya bukan saja dapat mememahami melainkan juga menghayati arti dua kalimat tersebut. Kedua kalimat yang sangat sederhana itu mempunyai pengertian; yang demikian dalam, khususnya dalam kaitan dengan hubungan orang, perorangan dalam masyarakat apalagi dalam kaitan dengan tatanan birokrasi pemerintahan.
Sebagai orang yang meniti karir sebagai pegawai negeri sipil, mulai dari asisten pengajar sampai jabatan yang sekarang ini, saya dapat merasakan hal itu dalam gaya kepemimpinan nasional Bapak Soeharto.
***
_______________________
Sumber: Nasrudin Sumintapura, “Mendalami Permasalahan Ekonomi Indonesia”, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 439-443.