1967-02-25 Jenderal Soeharto Memberikan Laporan Kepada Pimpinan MPRS Terkait Pengumuman Presiden Soekarno

Jenderal Soeharto Memberikan Laporan Kepada Pimpinan MPRS Terkait Pengumuman Presiden Soekarno [1]

SABTU, 25 FEBRUARI 1967 Jenderal Soeharto hari ini memberikan laporan kepada pimpinan MPRS tentang pengumuman Presiden Soekarno tanggal 20 Februari 1967. Kepada pimpinan MPRS, Jenderal Soeharto juga menjelaskan proses terjadinya pengumuman tersebut secara krono­logis. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran X.  (DTS)

[1] Dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 01 Oktober 1965 – 27 Maret 1968”, hal 162 . Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI, Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta Tahun 2003

Lampiran X 

KETERANGAN PEMERINTAH

SEHUBUNGAN DENGAN PENGUMUMAN

PRESIDEN 20 FEBRUARI 1967

  1. Terhitung mulai tanggal 20 Februari 1967, Presiden/Mandataris MPRS/Pangti ABRI Soekarno telah menyerahkan kekuasaan Pemerintahan Negara kepada Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/1966 sesuai dengan jiwa Ketetapan MPRS No. XV/1966 dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa UUD 1945.
  2. Pelaksanaan penyerahan kekuasaan tersebut telah berlangsung pada hari Rabu malam tanggal 22 Februari 1967 bertempat di Istana Merdeka di hadapan Presidium dan Menteri-menteri Kabinet Ampera Lengkap. Dan pada malam itu juga, setelah sidang kabinet, Menteri Penerangan telah menyiarkan penyerahan kekuasaan tersebut kepada segenap rakyat Indonesia bertempat di gedung Presidium Kabinet di Jalan Merdeka Barat.
  3. Berhubung dengan penyerahan kekuasaan tersebut, pemerintah mengetahui, bahwa beberapa waktu sebelumnya, ditengah masyarakat dan dalam surat-surat kabar telah tersiar luas beraneka ragam berita dan pendapat mengenai soal penyerahan kekuasaan yang telah terjadi itu, yang pada umumnya satu sama lain menimbulkan berbagai macam perkiraan dan penafsiran. Antara lain dihubungkan dengan berita-berita personal approach, clearing approach dan sebagainya.
  4. Berkenaan dengan berita-berita tersebut, pemerintah menganggap perlu menyampaikan penjelasan kepada segenap bangsa Indonesia tentang persoalan yang sebenarnya dari peristiwa bersejarah yang penting ini.
  5. Terutama perlu dijelaskan, bahwa adanya penyerahan kekuasaan tersebut oleh Presiden/Mandataris MPRS/Pangti ABRI, bukanlah karena sesuatu approach dari Presidium Kabinet, bukan pula karena sesuatu approach dari ABRI dan bukan pula karena sesuatu approach dari golongan-golongan atau oknum-oknum.
  6. Penyerahan kekuasaan tersebut oleh Presiden/Mandataris MPRSI Pangti ABRI telah terjadi dengan prakarsa Presiden Soekarno yang ber­sumber pada surat beliau tanggal 7 Februari 1967 tentang “kemungkinan penyerahan suatu tugas khusus oleh Presiden kepada Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/1966. Dan dari pengumuman penyerahan kekuasaan Presiden Soekarno tanggal 20 Februari 1967, jelas pula prakarsa Presiden itu, yakni adanya konflik politik yang perlu segera diakhiri demi keselamatan rakyat, bangsa dan negara, yang menyebabkan Presiden Soekarno menyadari perlu adanya penyerahan kekuasaan tersebut. Dan dalam hubungan ini, Presiden Soekarno menyerukan pula kepada seluruh rakyat Indonesia, para Pemimpin Masyarakat, segenap aparatur pemerintah dan seluruh ABRI untuk terus meningkatkan persatuan, men­jaga dan menegakkan revolusi dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas Pengemban Ketetapan No. IX/MPRS/1966.
  7. Seruan tersebut adalah juga harapan pemerintah dan rakyat Indonesia. Khusus mengenai bagi pelaksanaan tugas Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/1966, sejak semula dari tanggal 11 Maret 1966, telah ber­ulang-ulang diserukan dan diharapkan oleh pemerintah, demi keselamatan rakyat, Bangsa dan Negara. Dan pada waktu ini juga, Pemerintah meng­ulangi lagi seruan dan harapan-harapan tersebut.
  8. Lebih lanjut mengenai prakarsa Presiden Soekarno tentang penyerahan kekuasaan tersebut, pemerintah menganggap perlu menyampaikan pen­jelasan tentang rangkaian peristiwa dari surat Presiden Soekarno tanggal 7 Februari 1967 tersebut di atas, sebagai berikut.
  • Setelah menerima surat Presiden Soekarno tanggal 7 Februari 1967, maka pada tanggal 8 Februari 1967 diselenggarakan rapat Panglima ke-4 Angkatan. Rapat memutuskan tidak dapat menerima isi dari surat Presiden Soekarno itu, yang maksudnya mempersoalkan pembagian kekuasaan antara Presiden dan Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/1966, yang berarti tetap adanya dualisme dalam pemerintahan, yang selama ini merupakan hambatan bagi usaha menyukseskan program-program Kabinet Ampera. Penolakan ABRI terhadap surat Presiden tersebut dilaporkan Jenderal Soeharto kepada Presiden Soekarno pada tanggal 10 Februari 1967. Karena penolakan tersebut, Presiden Soekarno melanjutkan approach beliau tentang kemungkinan jalan yang dapat ditempuh beliau dalam hal penyerahan kekuasaan.
  • Kemudian pada tanggal 11 Februari 1967, ke-4 Panglima Angkatan bertemu lagi dengan Presiden Soekarno di Bogor, di mana ABRI menegaskan lagi pendiriannya, yang menghendaki dihormatinya jalan konstitusional dan Ketetapan-ketetapan Sidang Umum ke­-IV MPRS. Pada akhir pertemuan, Presiden Soekarno meminta lagi untuk bertemu pada esok harinya. Sesuai dengan permintaan Presiden Soekarno itu, pada tanggal 12 Februari 1967 ke-4 Panglima Angkatan bertemu lagi dengan Presiden Soekarno di Bogor. Dan pada pertemuan inipun, Presiden Soekarno meminta lagi untuk ber­temu pada esok harinya.

Maka pada tanggal 13 Februari 1967, para Panglima ABRI berapat lagi mempersoalkan approach Presiden Soekarno tersebut, dan dapat kata sepakat untuk mengutus Menpangak, Jenderal Polisi Sutjipto Judodihardjo, dan Wapangad,Letjen.Panggabean, kepada Presiden Soekarno guna mempersoalkan kehendak yang sebenarnya dari Presiden Soekarno. Pertemuan kedua utusan ABRI ini dengan Presiden Soekarno berakhir dengan suatu tanggapan pada pihak ABRI, bahwa tidak akan ada lagi pertemuan lanjutan.

Tetapi kemudian Presiden Soekarno mengutus pula Sekretaris Militer Presiden, Mayjen. Soerjo Soempeno, kepada ABRI, dengan membawa pesan bahwa Presiden Soekarno telah mengerti akan pendapat dan pandangan ABRI. Tetapi dalam pesan Presiden Soekarno tersebut, disertai pula permintaan jaminan-jaminan. Jaminan-jaminan yang dapat diberikan oleh ABRI adalah iktikad baiknya berdasarkan rasa pengabdian kepada Nusa, Bangsa dan Tanah Air. Lebih dari itu tidak dapat diberikan oleh ABRI, karena akan menghadapi kesukaran-kesukaran dalam pelaksanaannya.

Juga dalam pesan yang dibawa oleh Mayjen. Soerjo Soempeno, Presiden Soekarno meminta untuk dapat bertemu lagi dengan para Panglima ABRI pada tanggal 19 Februari 1967 guna pertemuan tanggal 19 itu, ke-4 Panglima Angkatan bermusyawarah lagi untuk lebih membulatkan sikap dan pandangan.

  • Pertemuan tanggal 19 Februari 1967 di Bogor antara Presiden,Jenderal Soeharto dengan panglima-panglima angkatan, tidak sampai kepada suatu kesimpulan. Tetapi diputuskan untuk ke­esokan harinya mengadakan pertemuan lanjutan yang serupa di Jakarta.
  • Tiba-tiba keesokan harinya tanggal 20 Februari 1967, Presiden Soekarno memanggil Menpangal, Laksamana Laut Muljadi. Untuk memenuhi panggilan tersebut, Menpangal lebih dulu menerima petunjuk-petunjuk dari Jenderal Soeharto. Presiden Soekarno dapat menerima petunjuk-petunjuk Jenderal Soeharto tersebut, sehingga mengundang Jenderal Soeharto dan para panglima angkatan pada jam 17.00 hari itu ke Istana untuk menyaksikan penandatanganan dari pengumuman penyerahan kekuasaan tersebut, sedangkan pengumumannya kepada rakyat ditunda, me­nantikan hari yang dianggap baik oleh Presiden Soekarno, sehingga sebagai akibatnya, pengumuman telah terjadi pada tanggal 22 Februari 1967 jam 19.30 bertempat di Istana Merdeka dengan di­saksikan oleh anggota-anggota Kabinet Ampera.
  1. Dari rangkaian proses tersebut di atas ini, jelas terlihat bahwa penyerahan kekuasaan oleh Presiden/Mandataris MPRS/Pangti ABRI kepada Pengemban TAP MPRS No. IX/1966 telah terjadi atas prakarsa Presiden Soekarno dan sama sekali bukan karena sesuatu approach kepada Presiden Soekarno.

Peristiwa ini adalah khas Indonesia dan tidak dapat dibandingkan atau dinilai dengan sejarah bangsa dan negara lain.

  1. Berhubung dengan peristiwa ini, pemerintah sekali lagi menegaskan pendirian yang telah ditetapkannya dalam sidangnya tanggal 8 Februari 1967 yang lalu, yakni penyelesaian situasi konflik dengan jalan konstitusional, dengan berpegang teguh pada UUD 1945, Ketetapan-ketetapan Sidang Umum ke-IV MPRS dan ketentuan-ketentuan konstitusional lainnya.

Peristiwa penyerahan kekuasaan yang penting ini tidak lepas daripada jalan konstitusional.

Dan pemerintah beranggapan, bahwa peristiwa ini menuju kepada pelaksanaan kedaulatan rakyat yang sepenuhnya dilaksanakan. oleh MPR(S).

Juga mengenai Sidang Umum Istimewa MPRS yang akan datang, pemerintah menegaskan kembali pendiriannya yang membantu dan men­dukung terselenggaranya sidang umum istimewa tersebut.

  1. Berhubung dengan sikap dan pendirian pemerintah tersebut di atas ini, dalam hubungannya dengan penyerahan kekuasaan yang telah terjadi, pemerintah mengemukakan lagi disini akan pidato dari Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/1966 tanggal 23 Februari 1967, yang antara lain menegaskan, bahwa penyerahan kekuasaan tersebut adalah sesuai dengan jiwa Ketetapan MPRS No. XV /1966 dan tidak mengurangi maksud dan jiwa UUD 1945. Juga menegaskan, bahwa Pengumuman penyerahan mengandung materi pernyataan penyerahan kekuasaan pemerintahan negara dengan imbalannya tanggungjawab menurut UUD 1945 kepada Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/1966.
  2. Juga pemerintah mengemukakan disini pernyataan ABRI 24 Februari 1967 yang menegaskan bahwa penyerahan kekuasaan pemerintahan yang telah terjadi merupakan penyerahan keseluruhan kewenangan dan tang­gungjawab kepada Pengemban Ketetapan No. IX/MPRS/1966, yang di­dasarkan pada dan sesuai dengan jiwa Ketetapan MPRS No. XV/1966.

Dan ABRI dengan penuh rasa tanggungjawab memikul segala konsekuensi atas isi yang tersirat dan tersurat dalam Pengumuman Presiden tanggal 20 Februari 1967, yang merupakan suatu upaya rintisan penyelesaian koriflik politik.

    13. Dengan penjelasan ini, pemerintah mengharapkan pengertian dan keinsyafan mengenai peristiwa penyerahan            kekuasaan ini, agar tidak terkena perangkap gerpol dari sisa-sisa Gestapu/PKI dan Orde Lama, yang masih                  berusaha memfitnah dan memecah-belah persatuan dan kesatuan ABRI dan rakyat Indonesia.

Dengan peristiwa ini, perjuangan Orde Baru belum selesai. Peristiwa ini hanya merupakan suatu tahap lanjutan dalam perjuangan Orde Baru. Perjuangan Orde Baru untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni, masih terus menuntut keuletan dan kewaspadaan.

    14. Salah satu tugas pokok Orde Baru dan seluruh rakyat Indonesia dalam suasana apapun juga, ialah tetap untuk             menyukseskan Kabinet Ampera. Pelaksanaan penyerahan kekuasaan yang telah terjadi perlu di­manfaatkan                 guna memperlancar pelaksanaan Dwi Dharma dan Catur Karya Kabinet Ampera. Suksesnya Dwi Dharma dan             Catur Karya Kabinet Ampera merupakan sasaran antara untuk melakukan pembangunan bangsa dan negara               menuju kepada masyarakat adil-makmur berdasarkan Pancasila.

   15. Kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rakhmat yang telah dikaruniakan-Nya kepada rakyat            Indonesia. Dan kita berdoa, semoga perjuangan Orde Baru akan selalu diridhoi-Nya. Amin.

Jakarta, 25 Februari 1967

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.