MAJDJEN SUTIPTO SH: PEL. NAWAKSARA INGKARI KENTUAN2 UUD ’45 MPRS DAN PUTUSAN2 MPRS

MAJDJEN SUTIPTO SH: PEL. NAWAKSARA INGKARI KENTUAN2 UUD ’45 MPRS DAN PUTUSAN2 MPRS [1]

 

Djakarta, Angkatan Bersendjata

MENANGGAPI Surat Presiden kepada Pimpinan MPRS No.01/Pres/67, tertanggal 10 Djanuari 1967, surat mana lebih dikenal dengan sebutan Pelengkap Nawaksara, Majdjen Sutjitpto SH telah mengadakan pembahasan chusus jg diberi judul Pertanggungan djawab Presiden dan Hukum Konstitusi. Kepada “AB” Majdjen Sutjipto menerangkan bahwa pembahasan itu seluruhnja didasarkan pada hukum dan fakta2 jang ada serta dilakukan karena dorongan untuk meningkatkan usaha dalam menegakan kebenaran dan keadilan.

“Tidak ada unsur2 sentimen atau sematjamnja dalam usaha saja membahas Pelengkap Nawaksara itu”, demikian Pak Tjipto menegaskan. “Saja merasa perlu membahasnja menurut pandangan & ketetapan hukum demi menegakan keadilan dan saja bersedia menerima konsekwensinja”, demikian Pak Tjipto setjara tandas. Ketika ditanjakan apakah ketua Presidium Djenderal Soeharto telah mengetahui hal tsb maka beliau mendjawab bahwa sesungguhnja Djenderal Soeharto telah mengetahui dan memaklumi materi dari pembahasan jang dimaksud.

Presiden tidak “neben” tapi “untergeordnet” kepada MPRS.

Dalam pasal 1 dari pembahasan Majdjen Sutjipto telah mensitir pasal 1 ajat 2 UUD 45 dan menegaskan bahwa negara RI berdasar atas hukum, tidak atas kekuasaan semata2. Sehubungan dengan itu, maka Presiden harus tunduk dan bertanggung djawab kepada MPRS; Presiden tidak “neben” (sedjajar), akan tetapi “untergeordnet” kepada MPRS, dibawahkan oleh MPRS. Istilah “progress report sukarela” dst. juga dipakai oleh Presiden, dikatakan bisa sangat mudah menimbulkan kesan bahwa presiden djuga dapat pada suatu ketika untuk dapat dengan sukarela tidak bertanggungdjawab kepada MPRS. Sikap demikian mudah menimbulkan ketjenderungan ke arah mentalitas anggapan, sebagai “directeur elgenaar” dari Republik Indonesia. Ditegaskan pula bahwa pertanggungdjawab Presiden tidak hanja sekedar “for the sake of speech making” dan tidak mungkin berkedudukan sebagai atas kehendak sendiri, melainkan merupakan kewadjiban konstistusionil, sesuai dengan sumpah djabatan Presiden.

Sehubungan dengan kontak2 antara Presiden, Presidium dan Panglima2 ABRI dilakukan mendjelang dikeluarkannja Nawaksara, maka menurut Majdjen Sutjipto itu dilakukan dalam rangka mendorong Presiden supaja melaksanakan keputusan MPRS no.5 th. 66. Sedang bentuk dan Pel. Nawaksara itu sepenuhnja tanggungdjawab Presiden dan tidak ada sangkut pautnja dengan kontak2 segitiga tsb diatas.

Mengenai pernjataan Presiden dan jg menjebutkan bahwa G-30-S adalah suatu complete overrometing baginja, maka menurut pembahasan Pak Tjipto, hanja kekuasan peradilan satu2nja jang berwenang menilai G-30S itu, djadi bukan setjara politik subjektif oleh siapapun, djuga oleh Presiden.

Selandjutnja menyinggung soal autorisasi Presiden kepada Djenderal Soeharto diingatkan bahwa ada kalimat tambahan dari Soeharto sendiri sbb:” Tapi kami tidak tahu apa jang dikandung dalam hati Bapak Presiden dan jg paling tahu adalah Bapak Presiden sendiri”. Menurut Pak Tjipto, dalam kenjataannja Presiden tidak pernah mengutuk G-30 S.

Sehubungan dengan pertanjaan Presiden mengapa saja sadja diminta pertanggungdjawab, tidaklah misalnja Menko Hankam djuga bertanggung djawab?”, maka dalam pembahasannja Majdjen Tjipto mensitir psl 4 dan 17 UUD 45, dalam hubungan itu, berhubung Presiden jg mengangkat & memberhentikan Menteri2, maka Menteri tidak bertanggung djawab kepada DPR/MPR. Didjelaskan pula bahwa menurut hukum konstitusi, hanja Presiden sadjalah jg wadjib memberi pertanggungdjawab kepada Madjelis.

Dalam pasal pembahasan selandjutnja, Majdjen Sutjipto meragukan akan hasil penjelidikan seksama jg dilakukan Presiden atas G.30-S mendjawab pertanjaan Presiden “apakah adil bahwa saja sendiri bertanggungdjawab atas kemerosotan di bidang ekonomi?”, maka menurut Pak Tjipto, Presiden jang diberi kekuasaan penjelenggaran Pemerintah Negara tertinggi di bawah Madjelis, djustru akan sesuai dengan keadilan apabila hak2 (kekuasaan) itu diimbali dengan kewadjiban pertanggungan djawab.

Kesimpulan: Nawaksara Tidak Memenuhi Sjarat

Semua pembahasan Majdjen Sutjipto atas Pel Nawaksara meliputi 9 pasal dan dibubuhi kesimpulan jg a.l. berbunji sbb; Dari segi hukum konstitusi, maka Pel. Nawaksara menurut materi tidak memenuhi sjarat seperti lajaknja suatu pertanggungan djawab jg harus diberikan oleh Presiden kepada lembaga demokrasi tertinggi, MPR (S). Pada hakekatnja tindakan tsb merupakan usaha untuk mengelakkan tanggung djawab dengan mengingkari ketentuan2 UUD 45, MPRS dgn putusan2nja terutaman mengenai kontrev G-30.S/PKI. Terasa nadanja hendak kembali pada keanggkuhan keaku-an jg merusak institut dan fungsi kedaulatan rakjat bahkan dapat tumbuh setjara ambisisional ke arab kediktaroran absulutisme.

Menurut Majdjen Sutjipto SH, semua itu merupakan tantangan bagi MPRS bahkan merupakan tantangan bagi hukum konstitusi sendiri UUD 45 dan berlakunja hukum pada umumnja. (DTS)

Sumber: ANGKATAN BERSENDJATA(16/01/1967)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku I (1965-1967), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 426-428.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.