MPRS MENARIK KEMBALI MANDAT DARI PRESIDEN SUKARNO

Editorial:

MPRS MENARIK KEMBALI MANDAT DARI PRESIDEN SUKARNO [1]

Djakarta, Angkatan Bersendjata

MINK TSI SIN, thien tsi ling”, suara rakjat adalah perintah Tuhan. Bagaikan ia telah mendjadi kehendak Allah, rakjat lewat Madjelis, telah mengeluarkan suaranja, kehendak dan keputusannja.

Musjawarah jang hampir2 menjerupai “musjawarah-keling” achimja telah merumuskan suatu ketetapan, bahwa mulai kini 12 Maret 1967, MPRS telah menarik kembali mandat MRPS dari Presiden Sukarno serta segala kekuasaan Pemerintahan negara jang diatur dalam UUD 45, dan menetapkan berlakunja TAP MPRS XV serta mengangkat Djenderal Soeharto Pengembang TAP IX/MPRS/1966 sebagai pedjabat Presiden sampai terpilihnja Presiden oleh MPR hasil pemilu. Kemudian melarang Presiden Sukarno melakukan kegiatan politik sampai pemilu berachir.

Sedang mengenai penjelesaian hukum selandjutnja jang menjangkut Dr. Ir. Sukarno akan dilakukan menurut ketentuan2 hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, jang pelaksanaannja diserahkan kepada pedjabat Presiden.

Saluut kepada semua anggauta MPRS jang telah dapat menunaikan kewadjibannja, membawakan djeritan hati nurani rakjat, dengan baik dan penuh toleransi, serta rasa tanggung djawab nasional. Mudah2an dengan ini semua kehawatiran rakjat, akan kemungkinan come-back-nja kepemimpinan Bung Karno dapat ditjegah untuk seterusnja.

Dan sjukur Alhamdulillah semua wakil golongan di MPRS sependapat dalam hal ini, termasuk PNI sendiri. Djaminan ini penting, sangat penting, apa bila kita hendak mengagungkan dan mengabadikan Pantjasila, demi tata-tenteram-rahardjanja rakjat.

Dalam kisah Indjil perdjandjian lama tertulis,

“Djalan keadilan itu seperti sinar bertjahaja, makin lama semakin terang, sampai achirnja seperti hari jang terang-benderang”.

Ja achirnja Keradjaan impianjang didirikan atas alas pasir dan tiang2 kropos, akan rubuh sendiri, demikianpun Keradjaan jang hendak ditegakkan atas alas kezaliman dan kekosongan djandji2 muluk belaka, akan ambruk pula. Dan keruntuhannja, sebenarnja, adalah hanja akibat belaka.

RG Ingersoli mengatakan, bahwa

“Dalam dunia ini sebenarnja tidak ada gandjaran atau hukuman, tetapi semua itu adalah akibat belaka.

Menurut istilah Pak Harto

“siapa jang menabur angin, harus bersedia panen badai dan taufan”.

Maka sedemikianlah pudarnja kemertjusuaran (win sen vuurhaken achi strasit niet ver) serta surutnja kepemimpinan besar Bung Karno, sebenarnja, adalah kesalahan beliau sendiri terutama, dan bukan orang lain.

Ia hanja merupakan akibat belaka dari pola politiknja serta tindak-tanduknja sendiri jang tak serasi, bahkan bertentangan dengan aspirasi rakjat serta tjita2nja sendiri. Paradox2 dalam dan amal perbuatannja kini mendjadi ironi.

Mudah2an dengan telah dapat diselesaikannja sumber dualisme pimpinan negara, dan konflik politik lewat forum musjawarah rakjat di MPRS sekarang ini, tidak akan timbul lagi issue2 politik jang hanja akan memperkeruh suasana sadja, jang tak ada manfaatnja sama sekali bagi kehidupan rakjat seĀ­hari2.

Dengan telah diachirinja era “politik adalah panglima”, kita hendaknja membuka halaman baru dalam tata-flkir kita, dimana “kesedjahteraan dan kebahagiaan rakjat” -lah harus “mem-panglimai” tatanan politik Orba, jang telah kita rintis 16 tahun telah terbuang pertjuma, hanja karena para Pemimpin jang krandjingan dogma adjaran Marx mengharuskan merusak sendi2 perumahan Pantjasila, untuk dibawanja kesituasi “hamil-tua” sebagai “keharusan sedjarah”, setelah mana dirombaknja mendjadi “revolusi sosial, pestanja rakjat tertindas” menurut kata Lenin.

Kita kini harus mulai membangun kembali tempat berteduh, dari bata2 puing reruntuhan Orde-lama. Oleh karena itu kita membutuhkan kesabaran, pengertian dan ketekunan.

Penundjukan Djenderal Soeharto sebagai pedjabat Presiden, sampai terpilihnja Presiden baru oleh MPR hasil pemilu, dapat diartikan suatu kepertjajaan rakjat semua kepada beliau pribadi sebagai – I’ homme de la situation (orang jang tepat pada posisi jang tepat), djuga kepada ABRI pada umumnja.

Oleh karena itu diserukan kepada para wargaABRI pada umumnja, djangan nanti mengetjewakan, apa lagi menjakiti hati rakjat.

Sebaliknja, rakjat harus membiasakan diri ikut melakukan pengawasan agar nanti djangan sampai diketjewakan. Sebab “Vertranen ist gut, kontrolle ist Besser” (kepertjajaan itu baik, akan tetapi kontrole adalah lebih baik). (DTS)

Sumber: ANGKATAN BERSENDJATA (13/03/1967)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku I (1965-1967), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 474-475.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.