DJABATAN PRESIDEN/KEPALA NEGARA RI/MANDAT DITANGAN PD. PRESIDEN

DJABATAN PRESIDEN/KEPALA NEGARA RI/MANDAT DITANGAN PD. PRESIDEN [1]

 

Djakarta, Berita Yudha

Pd. Presiden/Pengemban Ketetapan MPRS No. IX Djendral Soeharto dalam djawaban tertulis Pemerintah atas pertanjaan2 Interpelasi oleh 30 orang anggota DPR GR tentang Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 62 tahun 1967 (sekitar diri Bung Karno) jg akan dibatjakan hari ini didepan DPR GR menegaskan bahwa walaupun dalam Ketetapan MPRS No. XXXIII tidak digunakan kata2 “berhenti” namun demikian Pemerintah menjadari bahwa hakekat dari Ketetapan MPRS itu adalah bahwa BK itu bukan Presiden Republik Indonesia lagi, seperti jg telah ditegaskan dalam pasal 1 ajat (1) keputusan tsb.

Dengan demikian Pemerintah berpendapat bahwa kebidjaksanaan jg dituangkan dalam Keputusan Presiden RI No. 62/67 itu tidak bertentangan dgn Ketetapan MPRS No. XXXIII, malahan djustru merupakan pengamanan pelaksanaannja.

Mengenai soal mengenakan pakaian seragam Presiden/Pangti ABRI tanda2 pangkat dan tanda2 lainnja oleh BK seperti jang diatur dalam pasal 1 ajat (2) Keputusan Presiden No. 62/67 hal itu boleh dilakukan apabila menghadiri Upatjara2 kenegaraan berdasarkan undangan resmi dari Pemerintah.

Dalam hal ini dengan sendirinja Pemerintah akan sungguh2 memperhatikan pendirian rakjat apabila akan mengundang BK setjara resmi dalam upatjara2 kenegaraan itu.

Demikian djuga pengaruhnja terhadap pandangan rakjat didalam Negeri maupun pandangan internasional dan sendirinja sangat diperhatikan lebih2 pengaruhnja terhadap kemenangan Orba jg mendjadi tekad Pemerintah untuk memenangkannja. Pemerintah tidak akan melakukan tindakan2 jg memungkinkan kembalinja Orla.

Pemerintah perlu mendjelaskan bahwa kesempatan/fasilitas/perlakukan protokoler untuk BK adalah untuk sementara seperti jg termaktub dalam pasal 2 ajat (1) dari Keputusan Presiden No. 62/67 itu.

Pemerintah berpendapat bahwa dilihat dati masalahnja jg diletakkan dalam rangka kebidjaksanaan pelaksanaan perlakuan terhadap BK ini, maka soal2 pembiajaan adalah termasuk wewenang Eksekutif.

Dalam rangka kebidjaksanaan itu, Pemerintah berpendapat bahwa masalah pembiajaan jg ditandakan dlm pertanjaan No. 6 interpelasi terlalu sederhana untuk mintakan persetudjuan DPR GR oleh karena tidak merupakan tambahan anggaran belandja, bahkan akan memerlukan perobahan mata anggaran.

Pemerintah pada kesempatan mendjadi interpelasi tsb ingin menjampaikan bahwa dalam rangka pelaksanaan kebidjaksanaan ini dibebankan pada anggaran jg diperuntukkan bagi keperluan Presiden berlakunja Ketetapan MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 Bung Karno tidak lagi menggunakan : sebutan Kepala Negara, Presiden Republik Indonesia dan lain sebagainja.

Dengan demikian Pemerintah berpendapat, bahwa kebidjaksanaan jg dituangkan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No.62 thn. 1967 itu tidak bertentangan dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII Djustru merupakan pengamanan pelaksanaannja.

1. Djawaban atas pertanjaan no.2 ini pada dasarnja telah terdjawab dalam pertanjaan no.1.

Adapun koran jang digambarkan oleh interpelator dalam pertanjaan no.2 itu setjara tegas dapat dikatakan TIDAK BENAR.

2. Ratio Keputusan Presiden No.62 tahun 1967 sudah didjelaskan dimuka. Memang Pemerintah sependapat dgn para Anggota DPR-GR jang terhormat, bahwa dualisme telah diachiri setjara bonstitusionil. Pemerintah berpendapat bahwa dgn adanja Keputusan Presiden No.62 tahun 1967, tidak timbul dualisme kembali.

Dengan penegasan pasal 1 ajat (1) Keputusan Presiden No.62 tahoo 1967 ini, kiranja lebih djelas-tegaslah bahwa setelah berlakunja Ketetapan MPRS No. XXXIII itu Presiden/Kepala Negara Republik Indonesia, Mandataris MPRS hanja pada Pd. Presiden sesuai dgn ketentuan pasal 4 dan 5 ketetapan MPRS No.XXXIII itu.

3. Soal mendidik Rakjat berpikir rasionil dan demokratis adalah diakui sebagai tugas Pemerintah, bahkan tugas DPR-GR djuga dan tugas parpol2/ormas2/kesatuan2 Aksi.

Dalam kesempatan ini djustru Pemerintah ingin mengadjak seluruh Pemimpin2 Rakjat dan anggouta DPR-GR jg terhormat chususnja para interpelator untuk ber-sama2 dengan Pemerintah memberikan pengertian2 jg sebenar2nja dan sewadjarnja kepada Rakjat, menjadarkan golongan jang tradisionil untuk berpikir rasionil, chususnja dengan adanja Keputusan Presiden No. 62 tahun 1967 ini.

4. Soal mengenakan pakaian seragam Presiden/Pangti ABRI, tanda2 pangkat dan tanda2 lainnja bagi Bung Karno diatur dalam pasal 1 ajat (2) Keputusan Presiden No.62 tahun 1967. Pakaian seragam dan tanda2 pangkat itu boleh dikenakannja apabila menghadiri Upatjara2 kenegaraan berdasarkan undangan resmi dari Pemerintah. Dengan sendirinja akan sungguh2 memperhatikan pendirian Rakjat apa bila akan mengundang Bung Karno setjara resmi dalam upatjara kenegaraan itu.

Pengaruhnja terhadap pandangan Rakjat didalam Negeri maupun pandangan internasional dengan sendirinja sangat diperhatikan, lebih2 pengaruhnja terhadap kemenangan Orde-Baru jg mendjadi tekad Pemerintah untuk menenangkannja Pemerintah tidak akan melakukan tindakan2 jang memungkinkan kembalinja Orde-Lama.

5. Pemerintah berpendapat, bahwa perlakuan protokoler ini tidak dapat dan tidak seharusnja ditafsirkan atau dikesankan sebagai adanja “negara” dalam negara, perlakuan protokoler ini tidak sedikitpun mengandung unsur2 jang diperlukan bagi sesuatu negara dalam arti jang sederhana sekalipun.

6. Pemerintah ingin menggunakan perbandingan lainjang sederhana, bahwa pegawai negeri jang sederhana sekalipun lebih2 dewasa ini banjak pula jg mendiami rumah2 dinas milik negara. Selain itu, dalam tjontoh jang sederhana djuga-, Pemerintah sebagai Pelaksana kekuasaan Eksekutif dalam rangka wewenangnja boleh mengambil kebidjaksanaan, dapat pula memberi fasilitas2 sematjam itu kepada warga negaranja jg dianggap perlu. Dgn sendirinja ada faktor2 jang perlu dipertimbangkan masak2 oleh Pemerintah untuk memberikan kebidjaksanaan sematjam itu.

Perlu pula didjelaskan bahwa kesempatan/fasilitas ini adalah untuk sementara, seperti jang termaktub dalam pasal 2 ajat (1) dari Keputusan Presiden No.62 tahun 1967 ini.

Pemerintah berpendapat, bahwa dilihat dari masalahnja jang diletakan dalam rangka kebidjaksanaan perlakuan terhadap Bung Karno ini, maka soal2 pelaksanaan kebidjaksanaan adalah termasuk wewenang Eksekutif. Dalam rangka kebidjaksanaan itu, Pemerintah berpendapat bahwa masalah pembiajaan jg dikerdjakan dalam pertanjaan No.6 ini terlalu sederhana untuk dimintakan persetudjuan DPR GR oleh karena tidak akan merupakan tambahan anggaran Belandja, bahkan tidak akan menentukan perobahan mata anggaran Pemerintah pada kesempatan ini ingin menjampaikan bahwa dalam rangka pelaksanaan kebidjaksanaan ini dibebankan pada mata anggaran jang diperuntukkan bagi keperluan Presiden/Kepresidenan Republik Indonesia.

7. Seperti telah didjelaskan dimuka, perlakuan2 terhadap Bung Karno merupakan kebidjaksanaan jang berlaku sementara. Masalah-masalah tehnis lainnja adalah dalam rangka pelaksanaan kebidjakanaan jang bersifat sementara itu djuga. Seperti djuga diuraikan dimuka. Konflik situasi dan dualisme itu mempunjai aspek-aspek jang luas. Pemerintah ingin mengemukakan pendiriannja, bahwa faktor utama jang diperhitungkannja stabilisasi politik jang telah dengan menghindarkan sedjauh mungkin terganggunja stabilisasi politik jang telah susah pajah kita usahakan bersama ini. Inilah faktor Utama jang mendjadi titik perhatian dan pokok perhitungan Pemerintah.

Dalam hubungan ini, maka Pemerintah merasa mempunjai kewadjiban untuk tetap mendjaga Keamanan pribadi Bung Karno.

Soal bantuan seorang Sekretaris dan beberapa Adjudan adalah soal-soal tehnis sebagai pelaksanaan Kebidjaksanaan pokok terhadap Bung Karno.

8. Sekali lagi Pemerintah meminta perhatian bahwa perlakuan terhadap Bung Karno bukanlah semata-mata masalah juridis sebab didalamnja djuga menjangkut aspek-aspek psychologis, bahwa masalah jang pokok adalah masalah politik, masalah pelaksanaan Ketetapan MPRS No. XXXIII setjara lantjar, tertib dan aman.

Mengenai masalah maka terhadap Kepala Negara, maka dengan memperhatikan Ketetapan MPRS No. XXXIII dan Ketentuan pasal 1 ajat (1) Keputusan Presiden No. 62 tahun 1967, kiranja tidak terlalu sukar untuk menafsirkan bahwa maka terdjadi apabila perbuatan itu ditudjukan kepada Pd. Presiden seperti jang dimaksudkan dalam Ketetapan MPRS No. XXXIII.

Sementara itu dalam bagian umum sebagai pendahuluan dari djawaban2 terhadap interpelasi tsb. Pd. Presiden menegaskan kembali seperti jang sudah sitegaskan beberapa kali selesainja III MPRS IV, jaitu bahwa setjara terus terang ia berpendirian bahwa Kekuatan Orba tidak mungkin dan tidak boleh mengadakan kompromi dengan kekuatan2 Orla.

Orba harus menang. Orla tidak boleh kembali lagi. Pendirian dan penilaian ini ditegaskan oleh Djen. Soeharto dalam djawaban Pemerintah itu sebagai penilaian dan pendiriannja djuga pada waktu2 jang akan datang.

Isi dari bagian pendahuluan tsb lengkapnja adalah sbb:

UMUM:

Dalam mendjawab 8 (delapan) buah interpelasi 30 (tiga puluh) orang anggota DPR-GR, tertanggal 29 Mei 1967, tentang Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 62 tahun 1967, jang disampaikan dengan resmi kepada Pemerintah dengan suratnja tertanggal 17 Juni 1967, Pemerintah merasa perlu untuk memberikan gambaran umum jang mendjadi pokok-­pokok pikiran dan penilaian Pemerintah, jang merupakan latar belakang Keputusan Presiden No. 62 tahun 1967 itu.

Pokok-pokok pikiran ini perlu dikemukakan oleh Pemerintah, sebab ke­ 8 pertanjaan dalam interpelasi itu pada hakekatnja merupakan satu rangkaian.

Sedjak semula, mendjelang Sidang Istimewa MPRS jang lalu, Pemerintah berpendapat bahwa konflik situasi dan dualisme harus diselesaikan, sebab konflik situasi dan dualisme itu membahajakan persatuan dan kesatuan Bangsa, membahajakan kelangsungan hidup Negara serta menghambat pelaksanaan Dwi-Dharma dan Tjatur Karya Kabinet Ampera.

Karena konflik situasi dan dualisme itu menjangkut didalamnja Bung Karno, pada waktu itu sebagai Presiden Indonesia jang memegang kekuasaan berdasarkan Undang-undang Dasar; maka demi menjelamatkan lembaga Kepresidenan, demi mengembalikan serta demi menjelamatkan demokrasi pada masa kini dan masa jang akan datang, konflik situasi dan dualisme itu harus diselesaikan setjara Konstitusionil, dalam hal ini oleh MPRS.

Dalam pada itu, penjelesaian setjara konstitusionil itupun demi mendjaga persatuan dan kesatuan Bangsa, hendaknja pula bersungguh-sungguh memperhatikan kenjataan-kenjataan dan pendirian-pendirian jang ada dalam masjarakat.

Seperti apa jang saja laporkan dan saja pertimbangkan selaku pengemban Ketetapan MPRS No. IX dihadapan Sidang Istimewa MPRS pada tgl. 7 Maret 1967 jang lalu, maka kenjataan-kenjataan dan pendirian-pendirian jang saja pertimbangkan untuk diperhatikan itu adalah adanja sebagian dari masjarakat kita jang setjara irrasionil mengharapkan agar Bung Karno tidak diperlukan setjara tidak adil, dengan segala pengertian dan pengetahuan mereka tentang kesalahan-kesalahan Bung Karno dalam tahun2 terachir.

Pada kesempatan ini saja ingin menegaskan sekali lagi, bahwa golongan jang berpikir setjara irrasionil ini terdapat djuga dalam sebagian tubuh ABRI saja djuga ingin menegaskan, bahwa sama sekali bukan maksudnja agar kita ikut-ikut berpikir irrasionil, melainkan agar golongan irrasionil diperhitungkan setjara irrasionil.

Hasil-hasil perhitungan inilah jang telah dituangkan setjara konstitusionil dalam keseluruhan Ketetapan MPRS No. XXXIII.

Saja selaku pengemban Ketetapan MPRS No. IX sungguh-sungguh minta perhatian para anggauta2 DPR-GR jang terhormat bahwa baik dalam laporan dan perimbangan saja dihadapan sidang Istimewa MPRS pada Tgl 7 Maret ’67, dlm sambutan saja pada penutupan sidang MPRS pada Tgl. 12 Maret 1967 maupun dari laporan saja kepada Rakjat melalui Radio dan TV pada Tanggal 13 Maret 1967, saja telah mengemukakan setjara terus terang penilaian dan pendirian saja, bahwa Kekuatan Orde Baru tidak mungkin dan tidak boleh mengadakan kompromi dengan kekuatan-kekuatan Orde Lama. Orde Baru harus menang. Orde Lama tidak boleh kembali.

Saja ingin menegaskan bahwa inilah pendirian saja pada waktu itu, pendirian saja pada waktu sekarang dan tetap merupakan pendirian saja pada waktu2 jang akan datang.

Inilah pokok persoalan jang terpenting, jang merupakan dasar dan sjarat jang mutlak.

Dalam pendjelasan pelaksanaan pengamanan Ketetapan MPRS No. XXXII itu jang saja laporkan kepada Rakjat melalui Radio dan TV pada tanggal 13 Maret 1967, saja djuga telah mengadjak seluruh Rakjat agar kita semua tidak lagi mempersoalkan masalah kedudukan Bung Karno; sebab kedudukannja selaku Presiden Republik Indonesia jang memegang kekuasaan berdasarkan Undang2 Dasar telah ditegaskan dalam Ketetapan MPRS No. XXXIII itu.

Dalam rangkaian pokok2 pikiran jang diambil dari kenjataan2 dan penilaian keadaan seperti saja uraikan dimuka itulah dan djustru untuk mengamankan pelaksanaan Ketetapan MPRS No. XXXIII itu sendiri, maka dalam pidato Radio/TV pada tgl. 13 Maret 1967 itu saja djuga meminta pengertian dan keichlasan seluruh Rakjat bahwa saja untuk sementara waktu akan memperlakukan Bung Karno sebagai Presiden jang tidak berkuasa lagi, sebagai Presiden jang tidak mempunjai kewenangan apapun dibidang politik, kenegaraan dan Pemerintahan.

Alasan-alasan psychologis praktis, disamping adanja keterangan team dokter jang kompeten jang diberikan diatas sumpah djabatan jang menerangkan bahwa keadaan kesehatan Bung Karno telah demikian mundurnja, merupakan dasar kebidjaksanaan perlakukan jang diberikan oleh Pemerintah kepada Bung Karno seperti jang saja uraikan diatas.

Seperti jang telah saja kemukakan setjara terus-terang dalam pidato Radio/TV pada tanggal 13 Maret 1967, djustru karena alasan-alasan psychologi masjarakat itulah maka ketetapan MPRS No. XXXIII tidak menjebutkan pemberhentian Presiden Sukarno dari djabatan Presiden.

Kebidjaksanaan itu setjara tehnis tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 62 tahun 1967.

Pemerintah ingin menegaskan, bahwa djiwa, isi dan ketentuan-ketentuan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 62 tahun 1967 itu tidak lain adalah pelaksanaan tehnis daripada kebidjaksanaan2 jang saja lakukan seperti jang saja uraikan tadi.

Pemerintah ingin mengemukakan alasan dan pendiriannja, bahwa Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 62 tahun 1967 itu adalah dalam rangka pelaksanaan dan wewenang jg diberikan oleh MPRS kepada Pd. Presiden seperti jang tertuang dalam pasal 6 Ketetapan MPRS No. XXXIII jo pasal 4 ajat (1) Undang2 Dasar 1945.

Karena pangkal bertolak penilaian dan demikian djuga MPRS sendiri dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII, adalah memperhatikan faktor2 psychologi-masjarakat, maka adalah kelandjutan jang wadjar apabila dalam pelaksanaannja faktor-faktor itu tetap diperhitungkan.

Faktor psychologi masjarakat ini memang bukan faktor jang permanen, karena psychologi masjarakat itu sendiri berubah.

Pemerintah berkewadjiban, dan seluruh sekuatan Orde Baru djuga berkewadjiban untuk membawa psychologi masjarakat itu kepada kemenangan total Orde Baru.

Demikian pokok-pokok pikiran dan penilaian situasi Pemerintah jang merupakan latar belakang pelaksanaan kebidjaksanaan terhadap Bung Karno seperti jang tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 62 tahun 1967 itu. Saja ingin mengemukakan, bahwa kebidjaksanaan2 itu bukanlah hal 2 baru, melainkan hal jang sebenarnja setjara terbuka telah saja sampaikan tiga bulan jang lalu

Dengan latar belakang pokok-pokok pikiran tadi, Pemerintah mentjoba mendjawab pertanjaan2 dalam Interpelasi 30 (tiga puluh) orang anggota DPR-GR jang terhormat.

PENUTUP

Demikianlah djawaban/keterangan Pemerintah mengenai interpelasi DPR-GR. Tiada lain Pemerintah mengharapkan pengertian DPR-GR untuk tidak mempersoalkan apalagi memperpandjang-lebarkan masalah kedudukan Bung Karno seperti jg saja serukan pada pidato Radio/TV saja pada tanggal 13 Maret 1967

Sekali lagi saja, baik sebagai Pd Presiden maupun sebagai Pengemban Ketetapan MPRS No. IX minta dengan hormat, tetapi sangat keichlasan dan pengertian Saudara-saudara untuk mempertjajakan pelaksanaan Ketetapan MPRS No. XXXIII, chusus jang menjangkut kedudukan Bung Karno kepada saja.

Marilah kita bersama mempersoalkan, mengusahakan dan melaksanakan tugas-tugas jang masih banjak dan berat dalam rangka pelaksanaan Dwi Dharma dan Tjatur Karya Kabinet Ampera. (DTS)

Sumber.: BERITA YUDHA (30/6/1967)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku I (1965-1967), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 532-540.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.