SARAN2 UTK. PENJEMPURNAAN

SARAN2 UTK. PENJEMPURNAAN:

Hasil Karya Panitya Ad-Hoc III MPRS Ttg. Pendjelasan Pelengkap UUD 1945 Esai Bagian (II) [1]

 

Djakarta, Angkatan Bersendjata

Didalam bentuk2 negara, dimana terdapat keseimbangan jang murni antara matjam2 unsur, harus didjaga, djangan sampai terdjadi penjelewengan undang2 dalam bidang apapun djuga.

Terutama orang harus ber-hati2 terhadap pelanggaran undang2 jang ketjil2.

Sebab diam2 mereka masuk dan melakukan penghatjuran setjara jang sama seperti pengeluaran ketjil2 jang selalu ber­ulang2 bisa menghabiskan seluruh modal.

Kemarin kita uraikan bahwa Undang2 umumnja, tidak bisa sempurna, tidak bisa murni. Kata dan tulisan tak mungkin menggambarkan kemurnian ide jg terkandung didalamnja sesempurna2nja.

Malah kata dan tulisan bisa membunuh ide jang mendjiwainja bilamana para pelaksana tidak bisa meresapkan ide tsb didalam hati sanubarinja.

Kita telah mensitir JEFFERSON, ERAMUS VONKIRCHMAN dan ARISTOTELES. Dan kita berpendapat, bahwa dengan semangat Pantjasila jang murni kita melaksanakan UUD 1945 setjara konsekwen dengan memperhatikan perbaikan dan pembaharuan selaras dengan tuntutan zaman.

Seperti dikatakan dalam pendjelasan UUD 1945 jang paling penting ialah semangat. Meskipun UUD itu tidak sempurna, akan tetapi djikalau semangat para penjelenggara Pemerintahan baik, UUD itu tentu tidak akan merintangi djalannja Negara.

Maka timbulah sekarang pertanjaan, apakah rumusan PANITYA dalam  PRAKA-nja tentang dasar2 Pantjasila, tentang demokrasi Pantjasila dan tentang sistim Pemerintahan dan pembagian kekuasaan menurut UUD 1945 menggambarkan dengan gamblang falsafah Pantjasila jg murni? Menurut tanggapan kita, tjukup gamblang, sehingga bisa dipahami dan diresapkan dalam hati sanubari rakjat seluas2nja.

Sekarang tjatatan sedikit tentang Rantjangan Pendjelasan Pelengkap UUD Negara Indonesia.

Mengenai bab UMUM angka III Berdjudul:

Undang2 Dasar “Mentjiptakan” pokok2 pikiran jang terkandung dalam ­ “Pembukaan” dalam pasal2nja.

Kata “Mentjiptakan” biasa diartikan mengkriir (=scheppen). Djadi, UUD meng-kriir pokok2 pikiran Kok djanggal kedengarannja.

Untuk lebih menggamblangkan pengertian, disarankan, supaja akta “mentjiptakan” diganti dengan kata “mewudjudkan” atau “memberi wudjud kepada”. Lebih sederhana lagi kalau dikatakan: “pokok2 pikiran terkandung dalam “pembukaan” diwudjudkan dalam pasal 2 UUD.

Mengenai bab SISIM PEMERINTAHAN NEGARA

Dalam angka III tentang tambahan kata “seluruh” oleh PANITYA dalam kalimat jg berbunji:

Madjelis inilah jang memegang seluruh kekuasan negara Tertinggi, dan seterusnja”.

Tambahan kata “seluruh itu overdreven, overboding dan mengganggu. Kekuasaan negara jang TERTINGGI (= opprgezag) sudah mengandung makna paling tinggi setjara keseluruhan.

Selandjutnja kalimat jang berbunji: “Pengertian Mandatari” disini hanja terbatas semata2 dalam mendjalankan putusan Madjelis serta mempertanggung djawabkannja”.

Akan lebih djelas lagi kalau ditambah keterangan: “Djadi bukan gelar resmi”.

Pada angka VI PANITYA menambah kalimat jang bunjinja sbb:

”Meskipun para Menteri ini Pembantu Presiden tidak bertanggung Djawab kepada DPR, namun Pertanggungan djawab Moril terhadap Dewan tetap ada, Pun dalam pengangkatan meraka, Presiden HARUS memperhatikan pendapat dalam DPR”.

Kalimat ini membingungkan, Tanggung djawab moril adalah tanggung djawab djuga. Oleh karena itu lebih elegant kalau dikatakan sbb:

“Meskipun para Menteri ini Pembantu Presiden tidak bertanggung djawab kepda DPR, namun mereka harus bekerdja sama dengan DPR, mengingat kedudukan para Menteri selaku pemimpin2 Negara seperti diuraikan dalarn angka VII dibawah ini”.

Kata “bekerdja sama” ini kita dapati, pada angka V alinea dua dimana kita batja; Oleh karena itu Presiden harus bekerdja bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakjat, akan tetapi Presiden tidak bertanggung djawab kepada Dewan, artinja kedudukan Presiden tidak tergantung dari para Dewan.

Mengenai kedudukan DPR pada angka VII, Kuatnja kedudukan DPR terhadap Presiden seperti jang didjelaskan disitu akan lebih kuat dasarnja bilamana kedudukan DPR terhadap MPR dinjatakan dengan tegas.

Baik di BAB II mengenai MPR, maupun di BAB VII mengenai DPR tak terdapat suatu ketentuan tentang verhouding antara DPR dan MPR. Ini adalah suatu kekurangan.

PANITYA dalam PRAKATA-nja dibawah djudul “Sistim Pemerintahan menurut UUD 1945” menerangkan al. sbb:

“Pertanggungan djawab Presiden ini mengandung pengertian, bahwa apabila DPR tidak dapat menjetudjui kebidjaksanaannja, maka Madjelis dapat membebaskan Presiden sebelum berachir masa djabatannja”.

Adalah tidak mungkin bagi Madjelis untuk mendjalankan pengawasan, setjara effisien kepada Presiden. TUGAS INI DIDJALANKAN SEHARI­-HARI OLEH DPR.

Pendjelasan tentang fungsi DPR terhadap MPR sematjam ini lebih kuta dasarnja dari pada alasan, bahwa anggota2 DPR semuanja merangkap mendjadi anggota MPR, seperti dikemukakan dalam pendjelasan angka VII mengenai kedudukan DPR.

Dalam penjdelasan mengenai pasal 1 kita batja: “MPR ialah penjelenggara Negara jang tertinggi” Bandingkanlah dengan kalimat pada angka IV bab “Sistim Pemerintahan Negara” jang berbunji: “Presiden ialah penjelenggara PEMERINTAH Negara jang tertinggi dibawahnja pasal 3 kita batja: Oleh karena MPR memegang KEDAULATAN Negara” Maka disarankan supaja kalimat “MPR ialah penjelenggara Negara jang tertinggi” dirobah mendjadi: “MPR ialah penjelenggara KEDAULATAN Negara jang tertinggi”. (DTS)

Sumber: ANGKATAN BERSENDJATA (8/7/1967)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku I (1965-1967), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 545-547.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.