PIDATO KENEGARAAN PD. PRESIDEN DJEN. SUHARTO DI DPRGR TGL. 16-8-1967 (II)[1]
Djakarta, Angkatan Bersendjata
Saudara2 sebangsa dan setanah air. Sesuatu bangsa jang akan hidup terus memerlukan satu wadah, satu perumahan ialah negara. Dalam perumahan Bangsa itulah kita mengatur hidup keluarga Besar Bangsa kita, dalam negara itulah kita atur tata tetib hidup kita, kita atur tumahtangga kita menurut aturan2 dasar jang kita setudjui bersama pula pokok2 aturan tata tertib itu tertuang dalam Undang2 Dasar, keseluruhan djiwa, sengat dan ketentuan2 dalam Undang2 dasar itu harus pula merupakan tjermin dari pada pandangan hidup Bangsa jang djuga mendjadi falsafah negara. Undang2 dasar kita Undang2 1945, merupakan pentjerminan Pantja Sila sebagai dasar falsafah negara kita.
Sebagai kelandjutan dari pandangan hidup Pantja Sila dalam tata pergaulan hidup duniawi negara kita berpangkal tolak dari sistim kekeluargaan.
Tjita2 luhur negara kita, tegas dimuat dalam pembukaan Undang2 Dasar 1945 jaitu:
“Melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dalam memadjukan kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan Bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jg berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Tjita2 luhur inilah tudjuan ajang akan ditjapai oleh Bangsa Indonesia. bertolak dari pandangan hidup Pantjasila itu maka negera kita, berkewadjiban melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh wilajah Tanah Air.
Djadi negara harus mengatasi faham golongan atau perseorangan, Negara mewudjudkan persatuan seluruh Bangsa Indonesia.
Negara harus mewudjudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakjat. Negara kita berdasarkan atas Kedaulatan Rakjat dan berdasar permusjawaratan perwakilan.
Negara kita berdasar atas ke-Tuhanan Jang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan jang adil dan beradap.
Saudara2 sekalian:
Djiwa semangat dan ketentuan Unang2 Dasar 1945 chususnja mengenai tjita2 negara pokok2 fikiran tentang negara dan sistim Pemerintahan Negara djelas langsung bersumber dan merupakan pelaksanaan Pantjasila. Pantjasila dan Undang2 Dasar 1945 adalah satu rangkian oleh kerana itu mempertahankan Pantjasila berarti djuga mempertahankan pokok2 fikiran jang terkandung dalam Undang2 Dasar 1945 itu.
Perbedaan2 Antara Orde Baru Dan Orde Lama
Mempertahankan, memurnikan wudjud dan memurnikan pelaksanaan Pantjasila dan Undang2 Dasar 1945 itulah fungsi dan tudjuan Orde Baru.
Setiap insan Indonesia setiap organisasi, setiap bentuk usaha apapun jang menamakan dirinja Orde Baru harus menerima dua landasan pokok Pantjasila dan Undang2 Dasar 1945, tidak sadja menerima tetapi harus mengamalkan dan memberi isi pada Pantjasila dan Undang2 Dasar 1945 sebenarnja setepat2nja, semurni2nja sesuai dengan djiwa dan semangatnja.
Dengan demikian, Orde Baru tidak lain adalah tatanan seluruh perikehidupan Rakjat, Bangsa dan Negara jang diletakkan kembali kepada pelaksanaan kemurnian Pantjasila dan Undang2 Dasar 1945.
Kami garis bawahi disini kata2 diletakkan kembali karena Orde Baru lahir dan tumbuh sebegai reaksi dan untuk mengadakan koreksi total atas segala bentuk penjelewengan jang dilakukan pada masa Orde jang berkuasa waktu itu, jaitu jang sekarang disebut Orde Lama.
Penjelewengan terhadap Pantjasila dan Undang2 Dasar 1945 jang telah tedjadi pada masa Orde Lama telah membawa akibat jang sangat luas dan mendalam bahkan merusak sendi2 kehidupan Bangsa dan Negara.
Pantjasila telah diselewengkan dan kehilangan kemurniannja dengan dilahirkannja konsepsi Nasakom, jang mengikutkan dan memasukkan komunisme kedalam Pelaksanaan Pantjasila. Komunisme jg didasarkan pada dialektika materialisme, djelas anti Tuhan; sedangkan Pantjasila berketuhanan Jang Maha Esa. Agama diselewengkan untuk kepentingan politik.
Sila Peri-Kemanusiaan jang adil dan beradab ditinggalkan hak2 azasi manusia hampir2 lenjap, sebab semuanja ditentukan oleh kemauan penguasa.
Djaminan dan perlindungan hukum hampir tidak ada ini semua disebabkan karena tindakan2 kita tanpa atau dengan sadar masuk dalam djaringan strategi PKI, jang menerima Pantjasila hanja sekedar sebagai alat untuk kemudian merebut kekuasaan setjara mutlak dalam rangka komunisme Internasional.
Sila kebangsaan dan persatuan dalam prakteknja luntur, karena ada aliran2 jang menundukkan diri kepada kepentingan dan ideologi lain, Semangat persatuan terpetjah belah karena adjaran2 kontradiksi dan perdjoangan kelas.
Perpetjahan dan tidak kesepakatan dalam prinsip dan tindkan terdapat dalam pimpinan jang saling berlomba dan segala djalan mentjapai tudjuannja dengan kalau perlu “mendjual ketjap” kepada pimpinan Negara dan memfitnah mendjatuhkan kawan sedjawatnja. Ini semua memberikan peluang bagi PKI untuk mempopulerkan dirinja seolah olah ialah jang paling benar dan kepentingan Rakjat.
Bangsa Indonesia tidak mengenal kelas sebab kita memang tidak berkelas kelas dan tidak akan berkelas kelas. sila Kedaulatan Rakjat mendjadi kabur jang ada adalah “kedaulatan” pemimpin.
Sila Keadilan Sosial makin djauh, sebab kekajaan Negara dipakai untuk kepentingan pribadi dipakai untuk projek projek “mertjua suar” jang merusak ekonomi Rakjat dan Negara. Sistim “ekonomi terpimpin” dalam praktek mendjadi “sistim-lisensi” jg hanja menguntungkan segelintir orang jang dekat dengan penguasa.
Penjelewengan serious terhadap Undang2 Dasar 1945 terdjadi dengan memusatnja kekuasaan setjara mutlak pada satu tangan jaitu pada Kepala Negara.
Azas dan sendi Negara Hukum lambat-laun ditinggalkan, sehingga achirnja mendjadi Negara jang berdasarkan kekuasaan, azas dan sendi sistim konstitusi, dalam praktek berubah sehingga bersifat absolutisme.
Kekuasaan Negara jg tertinggi bukan lagi ditangan MPR(S) melainkan berada ditangan Pemimpin Besar Revolusi. Presiden bukannja tunduk kepada MPRS; bahkan sebaliknja MPRS jang ditundukkan dibawah Presiden.
Sungguh suatu tragedi bagi Rakjat dan Bangsa Indonesia jang pada tahun 1959 mendukung dengan penuh harapan “dekrit kembali kepada Undang2 Dasar 1945”, tetapi ternjata bahkan mendjerumuskan Rakjat dan Bangsa
Indonesia kepada penderitaan lahir dan bathin, jang mentjapai klimaksnja dengan pemberontakan G- 30-S/PKI.
Demikianlah garis2 besar penjelewengan Orde Lama jg harus segera ditinggalkan dan dikoreksi. Koreksi total telah dilakukan setjara konstitusional, jaitu dengan melalui Sidang2 MPRS; Sidang Umum ke-IV jang kemudian ditingkatkan dan disempurnakan oleh Sidang Istimewa MPRS jang keputusannja dewasa ini kita djadikan haluan dan landasan bekerdja. (DTS)
Sumber: ANGKATAN BERSENDJATA (21/08/1967)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku I (1965-1967), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 584-587.