PENILAIAN THD DPRGR [1]
Oleh:Widya
Djakarta, Angkatan Bersendjata
Suatu pertimbangan dingin berharga seribu kali musjawarah tergesa-gesa. Jang penting ialah memberi terang dan bukan memberi panas.
Woodrow Wilson
SETIAP orang mempunjai hobby. Untung sadja, sebab fungsi hobby ialah melupakan keketjewaan dan kesedihan jang didjumpai dalam melakukan tugas kewadjiban sehari2.
Kita mengagumi orang jang mempunjai hobby membikin “politicke overzichten”, ichtisar2 politik. Setjara kebetulan sekali saja membatja ichtisar sematjam itu. Mengenai penilaian terhadap mutu dan kegiatan MPRS, DPRGR, KABINET AMPERA dan masjarakat. Ada jg positif, ada jg negatif. Sangat interessant.
Baiklah kita membatasi pada penilaian terhadap DPRGR. Penilaiannja negatif. Dinjatakan antara lain, bahwa DPRGR kurang gesit kerdjanja, karena gedjala2 liberalisme. Bahwa DPRGR kurang produktif dalam bidang perundang-undangan, karena ia terlalu banjak mentjurahkan energinja kepada pembikinan resolusi2, interpelasi2 dan pertanjaan2 serta turun kedaerah2 dan luar negeri.
Pertanjaan tentang tepat atau tidak tepat penilaian tsb, didjawabnja kita serahkan kepada para pembatja. Jang saja ketahui ialah ini.
Pertama, bahwa andai kata setiap anggota DPRGR ditanja apa ia liberal atau tidak, rasanja ia akan tersinggung kehormatannja. Karena ia tokoh Orde Baru, padahal liberal adalah Orde Lama jang kekanan-kananan.
Kedua, bahwa mengenai produktivitas dalam bidang perundang-undangan tidak bisa DPRGR disoroti sendirian tok, tetapi harus sekaligus bersama2 dengan Pemerintah, karena dua2-nja bersama jang membikin undang2.
Ketiga, menurut penilaian lain dari beberapa negarawan, maka DPRGR sangat overproduktif dalam membikin usul2 inisiatif undang2.
Hal2 ichtisar politik dan penilaian DPR membangkitkan ingatan saja kepada seorang tokoh Irlandia, jang sampai tua kakek2 tetap meneruskan hobbynja untuk membuat ichtisar2 politik. Djuga memberi penilaian thd. parlemen Namanja GEORGE BERNARD SHAW (1858-1950), seorang kritikus, penulis sandiwara jang terkenal didunia.
Dalam tahun 1925 ia mendapat hadiah NOBEL buat literatur. Pada umum 87 tahun ia masih belum pikun untuk menulis buku berdjudul: “Every Body’s Political What’s What”. Bisa diterdjemahkan kira2 begini: “Politik buat siapa sadja”. Suatu Ichtisar politik. Dengan buku itu ia menjampaikan pesanan begini :
Buku Politik buat siapa sadja” adalah sekedar ichtiar seorang tua jang sangat tak tahu untuk menjampaikan kepada manusia2 jang lebih tak tahu dari padanja, dasar2 pokok daripada keseimbangan sosial, jang telah dimilikinja berkat studi, hubungan dengan orang2 hidup & kenjataan2 keras selama suatu kehidupan (pandjang dibandingkan dengan kehidupan2 lain, tetapi terlalu pendek buat tugas chusus ini), jg sebagian besar digunakan untuk mendapatkan dan memperbaiki kesalahan2, jang dihadapinja berkat kedudukan sosial dan lingkungannja.
Kesalahan2 tsb tidak semuanja telah saja perbaiki; tetapi kesalahan2 jang mendorong bakat ketjerdasan chusus saja membikin berontak diri saja telah saja tindaju sedalam2-nja. kelebihannja harus saja serahkan kepada orang2 jang lebih mampu daripada saja”.
Tidak semuanja jang ditulis si Kakek dalarn buku itu bisa kita setudjui. Tetapi ada bagian2 dari tulisannja jang menarik perhatian kita, sekedar untuk bahan perbandingan.
Nah, dalam ichtisar politik itu BERNARD SHAW menilai liberialisme sebagai anarki dibawah pengawasan polisi. la menilai Parlemen Inggeris dalam hubungannja dengan pembikinan undang2 dengan kata2 sebagai berikut: “buat melepaskan segala matjam ketidakpuasan hati, menanjai menteri2 dan mengritik Pemerintah, menasehatkan perbaikan2 & metode2 baru, mengadjukan resolusi2 dan mosi2 tuk pertjaja atau sebaliknja, dan pada umumnja untuk memelihara hubungan antara Pemerintah dan rakjat, maka perlu adanja badan perwakilan rakjat jang terdiri dari prija dan wanita dalam djumlah jg sama.
Hanja Parlemen jang sedemikian itu bisa dengan tepat disebut Madjelis Rakjat. Lembaga itu seharusnja tidak mempunjai kekuasaan langsung buat membuat undang2, karena keahliannja untuk itu tidak terdapat setjara umum.
Alam Semesta hanja memberi suatu persentase manusia2 jg luar biasa mampu untuk mentjiptakan “Sepuluh Perdjandjian”; untuk menindjaunja kembali, menarnbah dan melaksanakannja.
Tetapi apabila manusia2 ini tidak dipilih oleh rakjat biasa dan tidak bisa dipanggil kembali, nistjaja rakjat tidak merasa, bahwa mereka diperintah dgn persetudjuan mereka sendiri dan achirnja bersikap bermusuhan”
Sekian kritikus jang berusia tinggi itu. Kita mengerti, mengapa Parlemen sadja tidak bisa produktif dalam membikin undang2.
Mengapa initiative pembikinan rentjana undang2 diserahkan kepada para professionalis jang terdapat di kementrian2 jang tjukup keahlian, bahan dan waktu.
Mengapa anggota2 Parlemen lebih menitik beratkan tugasnja pada membahas, memperbaiki, melengkapi dan menjetudjui rentjana Undang2 jang diadjukan oleh Pemerintah serta mengawasi pelaksanaanja.
Inilah pembagian tugas dan kerdjasama antara Pemerintah dan Parlemen jang harmonis. ltulah maksud para pentjipta UUD 1945 jang menetapkan, bahwa pembuatan Undang2 harus dilaksanakan oleh Presiden bersama DPR.
Kenjataan pada waktu ini ialah, bahwa beberapa RUU penting inisiatif Pemerintah belum atau lambat dibahas oleh DPRGR, sedangkan sebaliknja di pihak DPRGR terdapat kegiatan untuk memprodusir RUU baru sendiri dan interpelasi2.
Didjaman permulaan Revolusi kenjataan itu disebut gedjala kekanak-kanakan. Tetapi didjaman kedewasaan, djaman Orde Baru, kenjataan ini dianggap gangguan serius dalam pembagian tugas dan kerdja sama jang harmonis tadi.
Gangguan terhadap pelaksanaan prinsip2 gotong-rojong njambut gawe. Terhadap pelaksanaan prinsip musjawarah untuk mufakat. Suatu gedjala jang terang merugikan kepentingan rakjat banjak.
Apakah sebab gangguan itu? Mungkin kurang “understanding” dari sebelah pihak atau dari dua belah pihak. Mungkin kurang saling harga menghargai. Mungkin pedjabat2 Pemerintah menganggap enteng anggota2 DPRGR jang tidak dipilih rakjat tetapi diangkat Presiden, Mungkin anggota-anggota DPRGR dianggap ingin mendominasi pendjabat-pendjabat Pemerintah. Mungkin pedjabat2 Pemerintah kurang militan dan kurang perusasion dalam membela inisiatif mereka. Mungkin anggota DPR-GR terlalu kritis dan djelimet. Banjak mungkin lagi. Ini harus diselesaikan oleh Pemerintah dan DPR-GR bersama.
Sarananja untuk memperbaiki gangguan tadi tidak lain ialah kesadaran akan Ampera, bahwa kepentingan rakjat harus lebih didahulukan dari pada ambisi perseorangan atau golongan.
Bagi para pemimpin kiranja ada gunanja utk mempertimbangkan nasehat si kakek BERNARD SHAW SBB:
“Apabila legawan harus meneropong keadaan dewasa ini dan berhubungan dengan itu harus bertindak, maka ia tidak memiliki alternatif dari pada pengetahuan jang sempurna. Ia harus dibimbing oleh pengetahuannja tentang tjara bagaimana sifat manusia bereaksi terhadap tekanan dari luar. Ia harus aprioristis sepandjang ia harus menerka sebagai psykoloog dan sebagai physikus. Ia tidak bisa menunggu sampai ia telah menamatkan seribu buku dan semua dokumen2 dari Arsip Negara. Opposisi berdiri diambang pintu gerbang dan kadang2 dengan pisau belati mengantjam lehernja. Ia harus segera bertindak”.
Ja, “Oposisi” Gerpol subversif mengantjam dari kiri dan kanan untuk merobek2 dan mendjatuhkan Negara Pantjasila. Para pemimpin tidak bisa menunggu musjawarah jg bertele-tele. Mereka harus bertindak segera. Untuk itu perlu dipulihkan dan dipelihara kegotong-rojongan jang harmonis antara Pemerintah dan DPR-GR, sehingga penjelesaian tugas jang diberikan oleh MPRS berdjalan lantjar. Keutuhan Rakjat dan Negara Pantjasila mendjadi pertaruhan. (DTS)
Sumber: ANGKATAN BERSENJATA (14/09/1967)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku I (1965-1967), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 645-649.