PERANAN ABRI DALAM PEMBINAAN KEHIDUPAN DEMOKRASI DAN HUBUNGANNJA DGN KEHIDUPAN KEPARTAIAN DI INDONESIA Bagian (5)[1]
Oleh: Brigdjen Mas Isman
Djakarta, Angkatan Bersenjata
Perjoeangan Pisik
Dengan didudukinja Indonesia oleh Djepang maka dilaranglah segala organisasi politik nasional dan fungsi meng-emansipasi bangsa (chususnja emansipasi mental) jg tadinja didjalankan oleh organisasi2 politik kini dioper oleh pemuka2 nasional jang meng-eksploatir kedudukan jang dipertjajakan oleh Djepang kepadanja.
Beberapa organisasi politik melandjutkan perdjuangannja setjara illegal tetapi ruang lingkup maupun efeknja masih amat terbatas.
Namun diluar asuhan dan bimbingan organisasi2 politik tumbuhlah suatu barisan pemuda jang diasuh, dibimbing dan digembleng oleh keadaan masjarakat jang makin memburuk untuk memenuhi panggilan sedjarah sebagai pentjetus-revolusi nasional 1945.
Barisan itu ialah Angkatan 45, dalam arti jang seluas-nja dari pengertian itu.
Dalam revolusi nasional jg berkobar, jakni dalam periode perdjoangan politik jang dilakukan dengan alat2 kekerasan timbullah perkembangan jang amat menentukan bagi dasawarsa2 jang akan datang.
Perkembangan2 Itu lalah Jang Berikut
PERTAMA, kekuasaan bersendjata lahirnja berbarengan dengan lahirnja kekuasaan politik.
Kekuasaan bersendjata (ABRI) jang tidak dilahirkan oleh kekuasaan politik, pada hakekatnja djuga merupakan suatu kekuasaan politik dan merupakan alat revolusi jang setaraf dgn kekuasaan politik, kalau tidak lebih.
Hakekat ini mau tidak mau dimengerti oleh kekuasaan politik pada saat itu dan pada zaman kemudiannja sehingga menimbulkan ketegangan2 jang tak terselesaikan.
Kekuasaan bersendjata ini jang kemudian berkembang mendjadi ABRI adalah bentuk organisasi jang utama dari Angkatan 45, sedangkan kekuasaan politik terutama mewakili partai2 politik.
KEDUA, pimpinan kekuasaan politik dan pimpinan kekuasaan bersendjata tidak berada disatu tangan.
Usaha2 jg didjalankan untuk mengintegrasikan pimpinan kekuasaan politik dan kekuasaan bersendjata tidak pernah memperoleh pendjelasan jg mantap oleh karena kekuasaan politik tidak mau mengakui atau tidak mau mengerti hakekat dari kekuasaan bersendjata jg lahir diIndonesia, jaitu bhw dia adalah alat revolusi.
Akibat pertama ialah meskipun partai2 politik banjak djasanja dalam memobilisasi potensi nasional bagi perang kemerdekaan, tetapi mereka tidak berhasil dalam hal jang hakiki, jakni mengsubordinasikan kepentingan2nja
jang chusus kepada kepentingan nasional, jaitu konkritnja pada saat itu kepada “the total war effort”.
Malahan tidak djarang terdjadi bahwa partai2 politik secara berkelompok maupun secara tersendiri mengutamakan kepentingannja jang chusus (partai) diatas kepentingan nasional sehingga mengganggu “war effort” ditanah air kita.
Sebaliknja, kekuasaan bersendjata berhasil untuk menekan kepentingan2nja jg chusus dan mengidentikkan diri setjara total dengan perdjoangan kemerdekaan.
Akibat kedua ialah, kekuasaan politik tidak siap menghadapi zaman sehabis perdjoangan fisik. Atau dengan pengertian lain kekuasaan politik tidak siap untuk memandang aspek sosio-ekonomi dari kebangkitan nasional Indonesia dari revolusi Indonesia.
Dan masalah jang erat berhubungan dengan hal tersebut ialah: Kekuasaan politik tidak berhasil untuk mentjiptakan mekanisme politik maupun iklim politik jang bisa menampung potensi2 revolusi jang telah “mekar” guna menjelesaikan masalah2 sosio ekonomi jang urgensinja menondjol.
Malahan potensi2 revolusi jang telah “mekar” itu ditekan atau ditjerai-beraikan.
Maka tidaklah mengherankan bahwa tidak siapnja kekuasaan politik untuk menghadapi aspek tersebut dari revolusi Indonesia mengakibatkan timbulnja diskusi jang menjimpang dari inti persoalan jaitu diskusi apakah revolusi harus dibendung atau revolusi harus diteruskan.
Pada hal revolusi itu, ja harus dibendung, ja harus diteruskan, dibendung tanpa mematikan revolusi untuk disalurkan dalam bentuk2 jang lain, oleh karena aspek politik & aspek sosioekonomi dari kebangkitan nasional merupakan dua manifestasi dari pro-arena politik.
Demokrasi Parlementer
Selesainja revolusi fisik disusul oleh periode demokrasi parlementer, dimana partai2 politik mempunjai kesempatan untuk berkiprah sesuka hatinja. Periode demokrasi parlementer adalah periode penjingkiran Angkatan 45 dari arena politik.
Ternjata bahwa periode ini jang membuka lapangan kegiatan jang luas bagi partai2 politik untuk mengembangkan bakat2 serta pembawaan2nja jang baik, tidaklah berakibat bahwa partai2 politik makin mendewasakan dirinja, malahan sebaliknja, periode ini makin menondjolkan kekurangan2 jang terdapat dalam tubuh partai2 politik.
Perdjuangan antar-partai dilakukan diluar proporsi2 jg wadjar, pengertian kepentingan nasional makin terdesak kebelakang dan kepentingan2 chusus dari partai2 politik ditondjolkan setjara ber-Iebih2, sehingga achirnja berdjangkitlah suatu krisis nasional.
Timbullah masalah pembubaran partai atau diteruskannja kehidupan kepartaian dalam bentuk2 jang lain, dan Angkatan 45 mulai menuntut haknja untuk turut menentukan garis politik Indonesia, baik Angkatan 45 jang terwakili dalam organisasi utamanja, jakni ABRI, maupun Angkatan 45 jang Non-ABRI.
Krisis Nasional jang diakibatkan oleh gagalnja demokrasi parlementer masih berhasil diatasi dan lahirlah sistim Dernokrasi Terpimpin. (bersambung) (DTS)
Sumber: ANGKATAN BERSENJATA( 16/06/1967)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku I (1965-1967), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 746-749.