TENTARA BERHAK MENDJALANKAN PERANAN DALAM PEMERINTAHAN [1]
Djakarta, Kompas
OLEH: ROSIHAN ANWAR
- PENERBITAN Kementrian Luar Negeri New Zealand “externalAffairs Reviews (Vo. xvn Number 8 Agustus 1967) dalam sebuah tulisan tentang Indonesia menjoroti kedudukan Tentara dan dikatakannja antara lain sbb: “But it still regards itself as a social and revolutionnary force, very much part of the people and as such entitled to playas continuing role in goverment”, artinya “Tapi tentara masih menganggap dirinja sebagai suatu kekuatan sosial dan revolusioner sangat banyak merupakan bagian dari rakjat dan sebagai itu berhak mendajalankan suatu peranan terus menerus dalam pemerintahan”.
Saya rasa ada orang jang berlainan pendapat dengan apa jang dikemukakan diatas. Setjara historis dan sosiologis. Tentara memang bukan alat negara belaka, melainkan lebih dari itu. Seperti dirumuskan oleh Seminar AD ke-II, Bandung, bulan Agustus 1966: “ABRI TNI AD lahir dari Revolusi, ia tumbuh dan dibesarkan dalam dan oleh Revolusi serta melaksanakan tugas dharma baktinja hanja untuk Revolusi Rakjat dan Negara”.
- PERANAN Tentara dalam pemerintahan, sedjak peristiwa G-30-S PKl, sedjak runtuhnja susunan kekuasan Orde Lama, telah mendjadi sangat intens dan luas baik setjara horizontal maupun setjara vertikal. Keadaan itu menimbulkan antara lain isu “militer-sipil”
Penerbitan “External Affairs Review” mengemukakakn sbb “Issue militer versus Sipil di Indonesia berpusat sekarang terutama pada issue2 apa jang dikatakan “korupsi militer” dan beberapa menanggulanginja.
Beberapa orang sipil, sambil menginsafi bahwa inflasi dan gadji2 jang setjara menertawakan rendah adanja membikin personil militer dan pegawai negeri harus mentjari tambahan penghasilan dengan satu atau sama lain tjara, berpendapat bahwa pedjabat presiden harus membuat tjontoh dari dua atau tiga orang dari kelompok ketjil Djenderal2 itu jang mereka anggap sangat korup.
Pembesar2 tentara mengatakan, bahwa tuduhan2 terhadap orang2 ini tidak dibuktikan. Mereka djuga insaf, bahwa angkatan bersendjata (dengan kekuatan lebih dari 500 ribu orang, termasuk di dalamnja kl 140.000 orang polisi), walaupun mungkin tidak terlalu besar djumlahnja bagi suatu negeri dengan ukuran Indonesia dan masalah2 keamananja, pastilah tidak dapat dipelihara dengan hanja alat anggaran belandja, dapat memungut percentage lebih tinggi dari GNP sebagai pendapatan.
- PANDANGAN jang diadjukan oleh “External Affairs Review” tadi, pada hemat saja, ialah pandagan jang bersifat “lenient”, lembut berusaha mendudukan persoalannja ada latar belakang keterangan jang sewadjarnja Ini dapat dimengerti. Sebab kemudian penertiban tersebut menjatakan sbb: Masalah merasionalisasikan birokrasi dan membajar pegawai2 negeri dan pradjurit2 setjara tjukup tidak dapat ditanggulangi setjara sepadan sampai sektor swasta dapat menjerap kelebihan atau surpluspersonil”
Tidak lupa penerbitan itu berhak membeberkan beberapa masalah djangka lama jg dihadapi oleh Indonesia, seperti
- pembangunan ekonomi dan sosial Irian Barat;
- meningkatkan terus kelebihan penduduk Djawa dengan masalah2nja jang hanja dapat ditanggulangi dengan industrialisasi, transmigrasi, perentjanaan keluarga
- kekurangan guru, buku, alat2, dokter, djuru-rawat, obat2an;
- kekurangan makan jg meluas;
- pengguran jang kl 30 djuta di kota2 dan antara 12 dan 11 djuta jang under employed di daerah pedesaan;
- pengguran jang kl 3 djuta dikota2 dan antara 12 dan 14 djuta jang under employed di daerah pedesaan;
- seterusnja pemerintah Djenderal Soeharto harus menanggulangi halangan2 dan kesukaran2 jang berasal dari pedesaan;
- seterusnja pemerintah Djenderal Soeharto harus menanggulangi halangan2 dan kesukaran2 jang berasal dari sikap2 kulturil tradisionil, kesetiaan2 dan nilai2 jang tidak kena atau irrelevant”, jang membikin adanja pemerintahan jang bersih dan effisien djadi lebih sulit “Modernisasi adalah suatu proses djangka panjang (chususnja dalam kebudajaan2 berkembang Djawa), demikian “External Affairs Review”.
- Apabila kita lihat besarnja atau magnitude persoalan jang dihadapi olehbangsa Indonesia, maka kenjataan bahwa bukan sadja Tentara berhak mendjalankan peranan dalam pemerintahan, melainkan menerima beban peranan itu, djadi berarti mempertaruhkan diri. (DTS)
Sumber: KOMPAS (11/1967)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku I (1965-1967), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 773-775.