Pantas Jadi Presiden

Solo, 8 Juni 1998

Kepada

Yth. Bapak Soeharto

beserta Keluarga

PANTAS JADI PRESIDEN [1]

Dengan hormat,

Bapak Soeharto Yth, hari ini dari kota Solo saya ucapkan “SELAMAT ULANG TAHUN YANG KE-77” 8 Juni 1921 – 8 Juni 1998. Semoga Bapak diberikan oleh Allah panjang usia, sehat walafiat lahir batin, dilimpahkan rakhmad dan hidayah-Nya.

Bapak Soeharto Yth, beserta keluarga.

Pada kesempatan ini saya bercerita sedikit tentang diri saya. Kala itu saya masih duduk di bangku SD di Yogyakarta. Setiap hari saya ke sekolah berjalan kaki tanpa alas kaki dan makanan sehari-hari kami nasi jagung atau nasi campur ketela. Maklum ayah saya cuma pegawai negeri rendahan (lulusan MULO). Suatu hari saya yang masih kecil itu mendapat selebaran yang disebarkan dari pesawat terbang, di mana dalam selebaran tersebut terpampang gambar Bung Karno sedang melantik Mayjen Soeharto menjadi Pangkostrad. Kalau nggak salah dinaikkan pangkatnya menjadi Letjen. Maklum saat itu belum ada televisi, sehingga informasi kepada rakyat selain melalui radio, juga dengan selebaran dari kapal terbang. Sambil melihat gambar di selebaran tersebut, dari mulut saya yang masih kecil itu saya bilang pada teman-teman saya: “Bapak Soeharto ini pantas menjadi Presiden mengganti Bung Karno”. Ternyata tidak terlalu lama setelah itu apa yang saya katakan pada teman-teman saya betul-betul menjadi kenyataan, yang dimulai dari Supersemar 1966.

Bapak Soeharto Yth, beserta keluarga.

Bukan main senangnya saya kala itu, karena apa yang saya katakana benar-benar menjadi kenyataan, yaitu di tahun 1967 Bapak Seoharto diangkat sebagai Pejabat Presiden dan di tahun 1968 diangkat sebagai Presiden.

Bapak Soeharto Yth beserta keluarga,

Zaman mulai berubah, waktu terus bergulir ayah saya telah pensiun, tetapi saya tetap berusaha untuk tetap bisa melanjutkan sekolah saya, hingga akhimya saya lulus dari Fakultas Hukum UGM dan kemudian dari Pendidikan Notariat Fakultas Hukum UGM. Selanjutnya saya terkatung-katung selama 5 tahun terkena birokrasi di Departemen Kehakiman untuk antri menunggu penempatan.

Alhamdulillah akhirnya SK pengangkatan notaris dari Menteri Kehakiman untuk diri saya keluar juga dan tepat tanggal 11 Maret 1996 saya dilantik sebagai notaris di Surakarta dan ditetapkan dalam waktu satu bulan sejak pelantikan, kantor notaris sudah harus berdiri. Saya senang tetapi juga bingung, karena saya tidak punya biaya untuk mendirikan kantor notaris.

Alhamdulillah seorang saudara saya memberi pinjaman uang kepada saya sebanyak Rp 25 juta untuk kontrak rumah yang sekaligus untuk kantor dan membeli alat-alat keperluan kantor, hingga akhirnya berdirilah secara resmi kantor notaris saya. Dan pada suatu hari tepatnya tanggal 2 – 8 – 1997 ibu mertua mas Tommy datang ke kantor saya untuk suatu urusan. Tentu saja hal ini merupakan kegembiraan tersendiri buat saya pribadi.

Bapak Soeharto Yth, dan keluarga,

Waktu terus berjalan, namun rupanya Allah belum memberikan jalan yang lancar untuk usaha saya mengais nafkah ini. Karena belum sempat saya berbuat banyak untuk istri dan dua orang anak saya, krisis moneter telah melanda Indonesia yang dampaknya langsung mengenai proteksi notaris.

Bapak Soeharto Yth, beserta keluarga,

Mungkin dilihat dari profesi saya ini, orang luar akan menilai saya ini termasuk golongan mampu. Padahal sebenarnya saya sekeluarga masih berada di dalam garis kemiskinan. Betapa tidak, di usia saya yang sudah 42 tahun ini rumah belum punya, beli kendaraan belum mampu, bahkan pinjaman Rp 25 juta belum satu rupiah pun yang bisa saya bayar, tabungan tidak punya. Padahal bulan Maret 1999 kontrak rumah habis. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi di hari-hari nanti kalau kontrak rumah habis dan saya tidak bisa mengontrak rumah lagi, berarti saya tidak punya kantor dan berarti pula izin notaris saya dicabut yang berarti apa yang saya tekuni di bangku sekolah selama puluhan tahun tidak memberi jaminan untuk hidup saya di Republik tercinta ini.

Bapak Soeharto Yth, beserta keluarga,

Dulu ibu saya pernah bilang: Ibu dan bapak tidak bisa meninggalkan apa-apa kepada kami, tapi ibu dan bapak akan menyekolahkan kamu. Belajarlah yang rajin, nanti dari hasil sekolahmu, kamu akan bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan.

Sekarang di kala Republik ini telah demikian majunya, di kala saya telah mengamalkan ilmu yang saya peroleh dari bangku sekolah untuk mencari nafkah, ternyata sampai hari ini saya masih tetap bergelut hanya dengan masalah perut.

Terus terang saya bingung menghadapi hari-hari mendatang di tengah krisis moneter yang tidak pasti ini, apakah bulan depan anak istri saya masih bisa makan? Namun sebagai orang Islam, saya percaya bahwa Tuhan hanya akan memberikan apa-apa yang terbaik pada umat­Nya dan Tuhan hanya akan mencoba umat-Nya sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu saya harus tetap optimis.

Bapak Soeharto beserta keluarga,

Republik tercinta ini begitu maju dengan pesatnya, hanya mungkin pemerataannya belum sempat menyentuh saya.

Namun demikian dari lubuk hati saya jujur saya menilai, Bapak telah berhasil membangun negeri ini lewat Pelita-Pelita Bapak telah berhasil mengangkat harkat dan martabat serta derajat Bangsa Indonesia. Oleh karena itu saya sebagai warga negara Indonesia yang mengagumi Bapak, yang selalu menghormati para pahlawan merasa sangat tersayat hati saya manakala di hari-hari belakangan ini mendengar atau membaca berita-berita yang berisi kecaman-kecaman yang ditujukan kepada Bapak sekeluarga. Harapan saya semoga Bapak sekeluarga diberikan oleh Allah ketabahan dan kesabaran serta kebesaran jiwa dalam menghadapi semua ini.

Dan apabila Bapak berkenan saya selaku pengagum tokoh semar/lsmoyo mohon petuah-petuah dari Bapak selaku orang Jawa, tentang jalan yang terbaik buat saya sekeluarga dalam menjalani hari-hari yang akan datang ini.

Wasana cekap semanten atur kawula, nyuwun pangapunten bilih atur kawula wonten ingkang lepat. (DTS)

Sungkem kaluwa,

Rofian Amianto, S.H.

Penumping – Surakarta

[1] Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 12-15. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat  yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto menyatakan berhenti dari kursi Kepresidenan. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.