Martapura, 27 Juni 1998
Kepada
Yth. Pak Soeharto
di Jl. Cendana 8 Jakarta
SEORANG PEMIMPIN BESAR [1]
Assalamu’alaikum wr. wb.
Salam hormat, adan yang sehat. Amin.
Langkah yang telah tempuh untuk menghentikan gerakan mahasiswa pada saat itu bukanlah langkah politis yang strategis..
Bagi saya Soeharto boleh runtuh, akan tetapi Soehartoisme perlu dikembangkan sebagai doktrin rakyat agar Bapak dapat dikategorikan sebagai pemimpin besar.
Saya teringat kata-kata orang bijak yang mengatakan bahwa tidak berhak dikatakan seseorang pemimpin tanpa memiliki paham (isme), dan bukanlah dari seorang pemimpin yang besar apabila tidak memiliki penganut fanatik sepanjang masa.
Sehingga tidak bisa tidak Bapak perlu menyusun langkah strategis yang bersifat politis, karena bagi saya disitulah letak seni dan permainan politik. Tahukah Bapak, bahwa dengan diam, hal itu akan lebih mengecewakan terhadap penganutisme Bapak yang fanatik?
Bila Bapak sependapat, bantuan apa yang bisa saya berikan?
Sebagai informasi, pada era orde baru yang sangat menentang terhadap kebijakan Bapak, sehingga sejak tahun 1989 mulai menyusun gerakan bersama teman-teman mahasiswa Bandung, buruh, dan sebagainya (bahkan banyak di antara teman-teman sudah Bapak penjara). Akan tetapi entahlah, saya sendiri tidak mengerti mengapa justru ketika Bapak dihujat dan dinista seperti sekarang inilah, nurani saya menjadi berbalik dan bersimpati kepada Bapak sekeluarga.
Pak Harto Yth.
Apabila Bapak berkenan terhadap bantuan tenaga dan pikiran saya, dengan rendah hati sudilah kiranya Bapak menghubungi saya melalui telepon 0511-91048, pada tangga 15 Agustus 1998 pukul 08.00 – 08.30 WIB.
Terima kasih.
Semoga bapak senantiasa diberi kesabaran serta perlindungan oleh Allah SWT. (DTS)
Wabillahit Taufiq Wal Hidayah
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Hormat saya,
Cucu,
S.H. Martapura
[1] Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 65-66. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto mengundurkan diri. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.