Antara Indonesia dan Malaysia: ABRI MENDJADI KEKUATAN STABILISASI

Antara Indonesia dan Malaysia: ABRI MENDJADI KEKUATAN STABILISASI [1]

 

Oleh : Juti

 

Jakarta, Angkatan Bersendjata

KAWAN2 atau kenalan2 saja di Malaysia jang sebagian besar berasal dari Indonesia tadi mungkin masih tetap belum puas. Tetapi sudah dapat menerima adanja “dwifungsi” Angkatan Bersendjata di Indonesia. Asal itu hanja untuk sementara. Meskipun sementaranja ini bisa djuga memerlukan waktu jang lama. Disadari sepenuhnja, bahwa sedjarah timbulnja Angkatan Bersendjata di Indonesia adalah berlainan dengan sedjarah timbulnja Angkatan Bersendjata di Malaysia.

“Saja dapat memahami adanja dwifungsi Angkatan Bersendjata di Indonesia”, demikianlah tanggapan seorang kawan disana atas pendjelasan saja dimuka. “Dapat memahami adanja fungsi sosial-politik bagi ABRI, disamping fungsi hankamnja. Tetapi fungsi sosial-politik itu hanja merupakan sumbangan bagi penjelenggaraan tata politik di Indonesia, bukannja menentukan segala2nja seperti jang nampak sekarang ini,” demikianlah pendapat selandjutnja jang dikemukakan kepada saja.

“Benar!”, begitulah djawab saja. Dan sekarangpun sudah demikian itu. Dibidang politik ABRI tidak menentukan segala-galanja jang menentukan adalah rakjat Indonesia sendiri. Dalam keseluruhannja dan dilakukan melalui MPRS. Sebab MPRS melakukan sepenuhnja kedaulatan jg berada ditangan rakjat. Sedang ABRI hanja memberikan sumbangan bagi penjelenggaraan pelaksanaannja sadja.

Apa jang nampak sekarang, jaitu seakan-akan ABRI-lah menentukan segala­-galanja atau jang menguasai seluruhnja, itu hanjalah kenampakannja sadja, bertalian dengan kondisi serta situasinja sekarang ini. Hakekatnja ABRI hanja memberikan sumbangannja sebagai ditentukan oleh fungsinja sadja.

Dibidang sosial-politik peranan ABRI adalah sebagai stabilisator, atau sebagai pengawal perdjalanan Negara Republik Indonesia, ABRI mendjadi kekuatan stabilisasi.

ABRI selama ini bukannja alat mati dari Republik Indonesia. Bukannja mesin jang hanja menurut perintah dan mendjalankan komando golongan atau seseorang jang sedang berkuasa sadja. Melainkan djika dinamakan “alat,” adalah alat jang hidup dan jang dapat mengambil “prakarsa sendiri, “untuk mengawal keselamatan Negara Republik Indonesia dengan filsafat kenegaraannja, filsafat Pantjasila. ABRI tidak hanja menunggu komando apa jang dikala itu disebut “Pemimpin Besar Revolusi,” jaitu komando Presiden Sukarno. Melainkan berani mengambil prakarsa sendiri, untuk mengawal keselamatan Negara tadi, seperti misalnja jang dilakukan oleh Djenderal Soeharto pada 1 Oktober 1965, untuk mengagalkan perebutan kekuasaan PKI, dan menumpasnja sama sekali.

Dibidang sosial-politik ABRI mendjadi kekuatan stabilisasi. Ini bukan hanja kemauan atau keinginan ABRI sendiri. Melainkan telah merupakan tugas sedjarah, karena sedjarahnja menentukan jg demikian tadi. Sedjarah terwudjudnja Negara Republik Indonesia itu sendiri.

Sedjarah terwudjudnja Republik Indonesia bukan hanja merupakan sedjarah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sadja.

Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 boleh dikatakan hanja merupakan satu detik sedjarah. Meskipun detik sangat penting. Detik sedjarah jang menentukan djalan sedjarah untuk selandjutnja.

Sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, sedjarah perdjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia telah berdjalan lama. Dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan, sedjarah perdjuangan kemerdekaan itupun masih berdjalan terus.

Kemerdekaan bangsa Indonesia belum terwudjud sepenuhnja dengan Proklamasi Kemerdekaan itu sadja. Melainkan masih harus diperdjuangkan lagi dengan perdjuangan jang lebih hebat. Jaitu dengan perang kemerdekaan jang terdjadi sesudah Proklamasi Kemerdekaan tadi.

Nah, dalam perdjuangan selandjutnja sesudah Proklamasi Kemerdekaan, dalam Perang Kemerdekaan itulah Angkatan Bersendjata melakukan peranan utama, peranan jang boleh dikatakan menentukan. Bukan politisi atau pemimpin2 politik jang menentukannja, melainkan Angkatan Bersendjata jang hakekatnja adalah politisi, jakni politisi jang memanggul sendjata.

Dan sesudah Kemerdekaan Indonesia dengan Republik Indonesia sebagai perumahannja, diakui oleh dunia internasional, chususnja oleh bekas pendjadjahnja jakni Keradjaan Belanda – ABRI mendjadi kekuatan stabilisasi.

Mengapa ABRI mendjadi kekuatan stabilisasi? Djenderal Sudirman almarhum menjatakan dikala itu, bahwa TNI (jang kemudian mendjadi ABRI) merupakan satu2nja milik bangsa jang masih utuh.

Dan mengapa dinjatakan demikian? Tentunja karena dilihat oleh Djenderal Sudirman, bahwa kekuatan jang lain, jakni jang biasa disebut kaum “politisi”, sudah tidak lagi utuh, sudah petjah belah. Tidak sadja setelah selesainja Perang Kemerdekaan, melainkan sudah sedjak permulaan Perang Kemerdekaan atau permulaan revolusi dulu. Chususnja setelah berdirinja partai2.

Mengapa? Karena, disamping memperdjuangkan ideologinja masing2. Bukan hanja kemerdekaan jang hendak disempurnakan, tetapi djuga hendak memenangkan ideologinja masing2. Atau pula hendak memenangkan kepentingan golongan masing2. Bahkan kadang2 ideologi atau kepentingan golongan masing2 itulah jang diutamakan, jang ditondjolkan dalam perbuatan.

Tidak demikianlah halnja dgn TNI atau ABRI. Sebab ABRI tidak ber-ideologi sendiri jang berbeda dengan ideologi Negara. Ideologi ABRI adalah ideologi Negara, jaitu Pantjasila. Djika ada perdjuangan untuk memenangkan sesuatu ideologi, maka jang diperdjuangkan itu tidak lain adalah ideologi Pantjasila itu sadja, tidak ada jang lain2.

Karena ideologi ABRI melulu ideologi Negara jakni Pantjasila, maka dengan sendirinja ABRI mendjadi kekuatan stabilisasi. Jakni kekuatan jang tetap mendjadi tulang-punggung tegak-berdirinja Negara Pantjasila, apabila terdjadi kegojahan karena adanja ketjenderungan para politisi (batja: partai2) untuk mengganti atau sedikitnja merubah dasar – filsafat – negara, baik dari extrim kiri maupun dari extrim kanan. Atau pula karena adanja pertentangan antara golongan2 tadi.

Sedjarah kemerdekaan Indonesia selama ini (sedjak Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945) telah berkali-kali mentjatat pelaksanaan peranan ABRI jang demikian tadi, baik sebelum maupun sesudah kedaulatan Indonesia diakui oleh dunia internasional. Dan baik karena terdjadinja pemberontakan2 maupun karena terdjadinja keritjuhan antara satu golongan dengan golongan2 jang lain.

Makin besar terdjadinja kegojahan dalam politik karena pertentangan golongan2 didalam masjarakat, makin besar pulalah nampaknja peranan ABRI sebagai kekuatan stabilisasi tadi. Sehingga nampak, seakan-akan ABRI sendirilah jang menentukan segala-galanja atau jang memegang segala matjam kekuasaan. Misalnja sadja apa jang nampak sedjak pertjobaan perebutan kekuatan jang dilakukan oleh GESTAPU/PKI, sampai sekarang ini.

Fungsi ABRI dibidang sosial-politik sebagai kekuatan stabilisasi ini penting sekali. Lebih penting dari fungsi partai2 jang kadang2 malahan menimbulkan keritjuhan dan/atau kegojahan.

Seumpama ABRI selama ini hanja berfungsi tunggal, jakni sebagai kekuatan pertahan-keamanan sadja, chususnja terhadap kekuatan2 dari luar – sebagai mana dipudjikan oleh kawan2 di Malaysia itu, – tentulah Negara Republik sekarang ini sudah habis berantakan. Mungkin sudah terpetjah mendjadi beberapa “negara”, jang masing2 menggantungkan kelangsungan hidupnja pada kekuatan dari luar.

Tanpa ABRI jang djuga berfungsi dibidang sosial-politik, Negara Republik Indonesia kiranja sudah berantakan. Dan seumpama tanpa partai2 politik, kiranja Negara Republik Indonesia dan masjarakat Indonesia tidak apa2, tidak akan berantakan.

Namun fungsi ABRI jang demikian tadi hanja diperlukan selama keadaan sosial ­politik dalam keseluruhannja belum benar2 stabil. Djika nanti sudah benar2 stabil, tidak gojah karena sesuatu pertentangan politik atau lainnja, fungsi tadi tidak diperlukan lagi.

Sedjarah kemerdekaan Indonesia sedjak diproklamasikan dalam tahun 1945 dulu telah banjak mentjatat pelaksanaan peranan ABRI sebagai kekuatan stabilisasi tadi.

Ini tidak berarti, bahwa tubuh ABRI sudah terlalu sehat.

Tidak! Tubuh ABRI-pun tidak terlalu sehat. Bahkan boleh dikatakan, selama ini selalu mengandung penjakit2 jang terdapat didalam masjarakat. Pokoknja karena terkena infiltrasi dari luar, dari kekuatan2 politik diluar tugas ABRI, jakni dari partai2 atau ideologi2 diluar ideologi ABRI sendiri.

Memang, selama ini ABRI selalu mendjadi intjaran dari kekuatan2 politik diluarnja itu. Hendak diperalatnja, supaja mengikuti politik diluar ABRI tadi atau, supaja mendjadi petjah belah, sehingga tidak lagi dapat melaksanakan peranannja sebagai kekuatan stabilisasi.

Tubuhnja boleh dikatakan selalu, sedikitnja sering mengandung penjakit jang demikian tadi. Itulah sebabnja, maka sering ada atau malahan banjak anggota ABRI jang terlibat dalam kerusuhan atau perebutan kekuasaan jang dilakukan oleh aliran2 politik diluar ABRI. Djuga banjak jang terlibat dalam perebutan kekuasaan jang dilakukan oleh GESTAPU/PKI pada 1 Oktober 1965.

Tetapi dalam keseluruhannja ABRI tetap selalu melaksanakan peranannja sebagai kekuatan stabilisasi tadi. Oleh karena itu jang selalu diusahakan oleh Pimpinan ABRI (jang sudah kebal dari infiltrasi) adalah memelihara keutuhan ABRI itu.

Djuga beberapa sikap serta tindakan Pemerintah mempunjai tudjuan2 jang demikian tadi. Misalnja sadja melarang anggota ABRI mendjadi anggota suatu partai dan lain2 lagi. Termasuk djuga ketentuan dalam Undang2 Pemilihan Umum, jang tidak mengikut-sertakan anggota ABRI dalam Pemilihan Umum nanti. Tapi, baiklah hal ini didongengkan dalam tjerita jang lain nanti. (DTS)

Sumber: ANGKATAN BERSENDJATA (10/05/1969)

 

 

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 362-366.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.