Menyanggah Suara Merdeka

Surakarta, 16 Juni 1998

Kepada

Yth. Pemimpin Redaksi Suara Merdeka

di Jl. Kaligawe Km. 7 – Semarang

MENYANGGAH SUARA MERDEKA [1]

Assalamu’alaikum wr. wb.

Nuansa pemberitaan dengan tujuan promosi oknum wartawan Anda yang bernama Wahyurudanto untuk sebuah buku MENTERTAWAKAN ORDE BARU yang berisi berbagai anekdot (masih menurut Visi berita anda) dengan sasaran figur keluarga Bapak Soeharto dan beberapa figur mantan-mantan Menteri, walaupun saya belum membaca dan melihat bahkan insya Allah tidak akan membeli, harap direnungkan kembali dengan rambu – rambu sebagai seorang yang mengaku beragama/ber-Tuhan dan meyakini bahwa di dunia fana ini merupakan alam beramal baik dalam rangka memperoleh ridlo Allah di akhirat kelak.

Sebagai amar ma’ruf saya menyarankan:

  1. Mengajak tumbuhnya banyak kalangan berfikir yang positif itu akan lebih bermanfaat dibandingkan mendorong mereka ke martabat rendah insan kamilnya. Coba anda bayangkan, setiap manusia jika membaca buku tersebut, bagaimana tingkah mereka saat tertawa, pasti hatinya semakin tumbuh kebencian terhadap figur nama orang yang ditertawakan.
  2. Pertanyaan yang perlu dijawab anda antara lain:
  • Seberapa besar kontribusi anda menistakan bangsa ini?
  • Seberapa jauh akibat semakin tidak santunnya generasi muda kita terhadap sesepuh yang telah berjasa banyak memajukan keluarganya, masyarakatnya dan bangsanya?
  • Seberapa jauh akidah agama yang diyakininya mampu membendung slogan fasik yang akan tertanam dalam kalbunya jika buku tersebut laris di kalangan masyarakat luas?
  • Seberapa jauh kemampuan seseorang yang jiwanya teracuni kebencian untuk mampu mengartikan bahwa justru pada figur manusia itulah letaknya kelemahan, kesalahan, kekhilafan, sehingga timbul sikap timbal balik memaafkan yang diajarkan dalam setiap kitab suci agamanya?
  • Seberapa jauh anda menanamkan sikap arogan kepada wartawan anda untuk melariskan koran Suara Merdeka dengan cara mencari dan mengumpulkan berita untuk menghancur leburkan perasaan, fikiran, nalar mantan tokoh bangsa ini hanya didorong hitungan matematis keuntungan menjual koran?

3. Hidup di dunia fana ini perlu keseimbangan dengan orientasi banyaknya amal kebaikan akan menempelkan derajat ketaqwaannya kepada Allah Swt, sehingga memperoleh kebahagiaan di akhirat kelak dalam surganya, bukan sebaliknya orientasi keseimbangannya dalam kontek memuat berita jelek toh ada kesempatan hak jawab bagi pihak yang diberitakan jelek sebagaimana kode etik jurnalistik anda. Dalam kontek inipun berbagai pihak sudah menyuarakan belum cukup, apakah anda sempat merenungkan hal demikian?

4. Tidak perlu gegeden sirah (kemaki) walaupun semua rakyat tidak akan pernah memidanakan anda/wartawan anda jika terfitnah atas nuansa pemuatan berita koran anda yang sangat tendensius mencemarkan nama baiknya, sebab sudah disadari di negeri Pancasila ini hanya kelompok anda yang kebal hukum dengan dalih kode etik.

5. Kebal hukum menurut versi saya, tidak akan terlepas catatan malaikat Roqib dan Atid sebab keduanya tidak akan membedakan anda wartawan, anda pemimpin redaksi, atau siapapun, sebab semua penglihatan, pendengaran dan hati kita akan dimintai pertanggung­jawaban oleh Allah Swt setelah mati dari dunia fana ini, anda yakin itu?

Insya Allah anda dan wartawan anda semuanya masih digolongkan orang yang mau dan diterima taubatnya, namun jika sengaja berulang sikap dan perilaku tidak baiknya, mudharot itu datangnya dari tingkahnya sendiri, bukan dan jangan dipandang sebagai azab/siksaan Allah Swt.

Banyak kalangan berujar, entah kelompok intelektual/profesi apa saja membaca dan membaca berita koran ada yang merasakan tambah bingung, semakin tidak mengerti arah negara ini akan tertawa ke arah mapan/semrawut dan tidak “maregi weteng”.

Rakyat kecil hanya berdoa semoga Bapak Presiden BJ Habibie diberkahi keimanan/ketaqwaan dan amal solehnya dalam memimpin bangsa/negara tercinta. Terhadap figur Bapak Soeharto, apabila diedarkan angket secara emosional masih lengket dengan rakyat kecil, kalaupun tidak menyenangi hanyalah kelompok kepentingan intelektual muda setaraf mahasiswa dan beberapa dosen saja, tidak lebih dari 10 juta anak manusia. Akhirnya saya mengingatkan, Allah kita satu, Bapak kita asalnya satu (ADAM), marilah kita wening/jernih selalu mengembangkan positif thingking. (DTS)

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Hormat kami,

Ahmad Mashudi

Tembusan: Bapak Soeharto

di Jalan Cendana – Jakarta

[1]       Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 260-262. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat  yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto mengundurkan diri. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.