Ujung Pandang, 1 Agustus 1998
Kepada
Yth. Bapak H. M. Soeharto (Mantan Presiden RI)
Jl. Cendana Jakarta Pusat
JANGAN LUPA TAHAJUD [1]
Dengan hormat,
Pertama-tama saya mohon maaf jika surat ini menyita waktu Bapak yang amat sibuk, walau sekarang tidak lagi sebagai Presiden.
Saya memanjatkan doa kepada Allah agar Bapak dan keluarga senantiasa diberi kesehatan dan ketabahan serta kekuatan iman.
Bapak adalah salah seorang yang saya kagumi dan saya cintai walaupun Bapak tidak mengenal saya. Saya berharap suatu saat dapat bertemu Bapak, tapi saya menyadari itu teramat sulit. Keinginan saya itu begitu menggebu hingga terbawa mimpi. Saya pernah bermimpi bertemu Bapak dan berpelukan sambil menangis.
Pada saat ini, saya menyadari Bapak dalam posisi sulit. Berbagai kalangan menyalahkan Bapak seolah Bapaklah yang menyebabkan keadaan seperti ini. Segala amal bakti Bapak kepada baugsa dan negara seolah tak pernah ada. Orang yang Bapak percayai sekarang, berbalik menyalahkan Bapak. Saya ikut sedih melihat ulah mereka. hingga tak sadar saya menangis.
Setelah Bapak tidak lagi menjadi Presiden, saya tidak pernah melihat Bapak di TV. Saya ingin tahu bagaimana keadaan Bapak Semoga sehat wal’afiat di bawah lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Saya hanya orang kampung Pak, yang tak tahu apa-apa, tapi penuh harapan agar Bapak senantiasa tabah menghadapi cobaan ini Tuhan pasti akan memberi jalan terbaik bagi kita semua.
Andaikata Bapak terbangun di tengah malam dan merasa sunyi jangan lupa shalat Tahajud sembari menyampaikan kepada Tuhan segala yang Bapak rasakan.
Tak ada satu kekuatan yang dapat menghalangi apa yang akan Tuhan kehendaki pada anak cucu Adam.
Demikian dulu surat saya, di lain waktu saya akan menyurat lagi. Salam hormatku pada Bapak dan seluruh keluarga, khususnya Mbak Tutut. (DTS)
Was salam
Fajar Syafruddin
Sulawesi Selatan
[1] Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 369-370. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto mengundurkan diri. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.