PENGHENTIAN PELAKSANAAN TUGAS DAN PEKERDJAAN ANGGOTA DPR [1]
Djakarta, Kompas
Mr. Sartono, H. Zainul Arifin, Arudji Kartawinata dan H. Zainal Abidin Ahmad. Pada tanggal 23 Djuli 1959 para anggauta DPR mengangkat sumpah atau djandji anggauta.
Pembentukan DPRGR
TIBA2 pada tanggal 5 Maret tahun 1960 keluarlah Penetapan Presiden No.3 tahun 1960. Isinja penghentian pelaksanaan tugas dan pekerdjaan anggota2 DPR sekarang”, dan bahwa akan diadakan “pembaharuan susunan DPR berdasarkan UUD’ 45 dalam waktu singkat”.
Penpres tersebut menimbulkan berbagai tafsiran jang simpang-siur mengenai maksudnja. Dalam suatu rapat tertutup pada tanggal 7 Maret 1960, Pimpinan DPR mengumumkan Penpres tersebut dengan sekedar memberikan pendjelasan2 menurut interpretasinja sendiri. Kesimpulannja adalah bahwa DPR tidak “dibubarkan” melainkan hanja akan “diperbaharui” susunannja dengan mungkin mengurangi atau menambah djumlah anggautanja.
Jang merupakan tanda-tanja dan jang kurang difahami adalah pertimbangan dari Penpres tersebut. “DPR sedjak mulai bekerdja dalam rangka UUD’ 45 tidak menundjukkan tjukup good will untuk bekerdja-sama dengan Pemerintah sesuai dengan djiwa dan semangat UUD’ 45. Demokrasi Terpimpin dan Manipol, sehingga DPR menimbulkan suasana ketatanegaraan jang membahajakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa”.
Rapat tertutup DPR tanggal 7 Maret itu diachiri dengan menjanjikan lagu Kebangsaan Indonesia! Hidup Persatuan Nasional Indonesia! Itupun tidak bisa difahami oleh sebagian besar anggauta2 jang hadir, apalagi oleh masjarakat jang kemudian mendengarnja.
Dalam suasana serba membingungkan itu, pada tanggal 24 Djuni 1960 keluarlah Penpres No. A/1960 jang berisikan susunan Dewan Perwakilan Rakjat Gotong Rojong, jang sama sekali berlainan dengan susunan DPR lama.
Sehubungan dengan itu, maka pada tanggal 25 Djuli 1960 keluarlah Kepres2 No.155 dan No.156 jang berisikan pemberhentian semua anggauta DPR serta pengangkatan anggauta2 DPRGR jang terdiri dari 283 anggauta, 130 orang diantaranja mewakili 9 buah golongan politik/partai2 jang oleh Pemerintah dianggap memenuhi sjarat2 Penetapan Presiden No.7 /1959 tentang penjederhanaan partai2. 152 orang diantaranja mewakili 13 golongan karya ABRI dan non ABRI dan seorang wakil dari Irian Barat. Pada tanggal25 Djuni itu djuga mereka dilantik oleh Presiden.
Sedjak itu segala sesuatunja bersifat “mendukung tanpa reserve”. Mula2 diadakan penjederhanaan golongan. Dari 23 mendjadi 5 golongan, jakni Nasionalis, Islam, Kristen Katolik, Komunis dan Karya.
Susunan penggolongan diatas berlaku terus hingga Gestapu/PKI meletus jang mengachiri ekstensi PKI. Djuga didalam DPRGR.
Djaman ORBA
KINI suasana sudah berubah. Sedjak terdjadinja peristiwa Gestapu/PKI dan lebih2 setelah digulingkannja Ir. Sukarno dari kedudukannja sebagai Presiden, Pemerintah dan masjarakat ingin mengembalikan kewibawaan DPRGR pada proporsi jang sebenarnja.
Kaum mahasiswa jang besar sahamnja dalam menumbangkan kekuasaan ORLA diberi tempat dalam lembaga legislatip untuk wakil2nja. Kemudian diadakan redressing anggauta2 DPRGR pada bulan Februari 1968, sehingga DPRGR sekarang ini terdiri dari 13 Fraksi, termasuk Fraksi2 Karya Pembangunan A,B, dan C. Djumlah anggotanja dewasa ini 414 orang.
Dalam masa Orba ini, DPRGR seperti halnja Pemerintah, mengalami pertjobaan2 jang tjukup berat. Setelah ber-tahun2 merasakan ketidak-adilan dibidang politik, sosial maupun ekonomi, perwudjudan Orde Baru dibajangkan pasti akan tjemerlang dengan sendirinja.
Tentu sadja idealisasi itu tidak mungkin terdjadi. Apalagi setjara mendadak. Maka akibatnja timbullah keketjewaan2. Parahnja sarana ekonomi jang diwariskan Orde lama memaksa Pemerintah untuk mengambil tindakan2 jang tjukup drastis dibidang ekonomi. Kenaikan harga bensin, ongkos angkutan, harga beras dan sebagainja.
Keketjewaan itu disalurkan melalui demonstrasi2, jang rupa2nja telah merangsang kaum muda sebagai akibat dari demonstrasi2 dalam rangka mendjatuhkan pemerintahan ORLA. Jang mendjadi sasaran2 demonstrasi2 sekarang ini terutama DPRGR. Masjarakat, terutama kaum mudanja, telah lama merasakan ketidakmampuan DPRGR dimasa ORDE LAMA. Dalam hati ketjilnja, mereka ingin agar DPRGR lebih berwibawa. Mereka ingin agar perasaan hati mereka itu disalurkan setjara konstitusionil. Namun keinginan itu achirnja membuat mereka tidak sabar akan kelambanan2 DPRGR jang disebabkan djustru oleh sifat konstitusionil itu sendiri. Ini sulit diterima oleh masjarakat, terutama oleh kaum mudanja.
Wakil2 mahasiswa, sebelum menduduki kursi DPRGR terangsang djuga oleh ketidak-sabaran itu. Namun setelah mereka diangkat mendjadi anggauta DPR-GR, mau tak mau mereka harus mematuhi peraturan2 tata tertib jang berlaku. Peraturan2 tata-tertib jang merupakan unsur dari sifat konstitusionil.
Memang suasana jang bersifat konstitusionil djauh berbeda dengan suasana revolusioner. Bahkan bertolak-belakang 180 deradjat. Jang satu serba teratur dan lamban menurut hukum. Sedangkan satunja, mendadak dan serba tjepat.
Namun DPRGR sedjak mulainja djaman ORBA ini tidak berpangku tangan. Sedjak tahun 1966 sampai dengan tahun 1969 DPRGR telah menghasilkan 70 buah UU. Sehingga setjara keseluruhan, dari tahun 1945 hingga achir tahun 1969, parlemen Indonesia telah menghasilkan 636 buah UU. Belum lagi resolusi2 pernjataan2 dan lain2.
Bahwa DPRGR masih mempunjai kekurangan2 dan bahkan telah melakukan kesalahan2 adalah wadjar. Dalam menilai kekurangan2 itu, sewadjarnja pula kita terlebih dahulu melihat sebab2nja.
Apakah terdjadi karena ketidak mampuan atau kurang tingginja mentalita para anggautanja, atau disebabkan karena peraturan2 jang mendasari eksistensinja memaksa kesalahan2/kekurangan2 itu terdjadi.
Setelah mentjapai usia seperempat abad ini, kiranja sudah waktunja masjarakat, Pemerintah dari DPRGR sendiri memikirkan hal itu. Semoga hasil pemikiran dan renungan tersebut membawa manfaat bagi perkembangan parlementer Indonesia dalam seperempat abad jang akan datang dan dalam abad2 selandjutnja. (DTS)
Sumber: KOMPAS (13/08/1970)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 500-503.