Isteri Saya Menangis

Bongas, 12 Juni 1998

Kepada

Yth. Bapak H. Muhammad Soeharto

Jalan Cendana No.8

Jakarta

ISTERI SAYA MENANGIS [1]

 

Assalamu’alaikum wr. wb.

Walaupun telah terlambat, ijinkanlah kami sekeluarga dengan hati yang tulus dan ikhlas mengucapkan “Selamat Hari Ulang Tahun Bapak Haji Muhammad Suharto”. Semoga Allah Swt selalu menjaga kesehatan Bapak hingga akhir hayat, diparingi usia panjang, dan juga Bapak selalu diparingi sabar dan tawakal dalam menghadapi semua cobaan­Nya. Amin.

Terus terang saja Pak Haji! isteri saya menangis ngringsek, ketika Bapak diiringi Ibu Hj. Siti Hardianti Rukmana, turun dari Istana Merdeka setelah lengser keprabon. Seisi rumah merasa terharu dan merasa terpukul atas ulah dari segelintir manusia atau golongan, yang haus akan kedudukan lupa diri bahwa biasanya Negara Republik Indonesia bisa maju dan segalanya serba kecukupan atas bimbingan dan binaan atau kepemimpinan Bapak H. Muhammad Suharto. Walaupun kami belum pernah mendapat sumbangan atau perhatian secara langsung dari Bapak, akan tetapi bisa merasakan betapa bedanya negara yang kami cintai ini, sebelum dan sesudah Bapak pimpin.

Dulu, ketika jaman Orde Lama, keluarga kami sempat makan bulgur, tidur tidak nyenyak karena di pedesaan selalu dihantui penggarongan, pakaian lesperinggo, teles dipepe garing dienggo, alias hanya itu-itunya. Akan tetapi setelah Orde Baru, makan nasi beneran, tidur selalu pulas karena keamanan terjamin, pakaian tinggal pilih, segalanya serba ada, yang penting wekel, mau bekerja mencari rejeki.

Anak-anak bebas memilih sekolah hingga menjadi mahasiswa, walau ada yang mau digerakkan oleh tangan-tangan kotor yang konon mewakili masyarakat. Reformasi di segala bidang. Tapi kenyataannya di jaman reformasi ini, kami rakyat pedesaan merasakan segalanya serba mahal. Maaf ya Pak ngelantur. Semoga orang-orang yang berniat menghancurkan keluarga Bapak Haji Muhammad Suharto dan bangsa Indonesia, diparingi eling dan menyesali perbuatannya, sehingga Republik Indonesia kembali sejahtera. Amin.

Selain daripada itu, yang bener-bener penuh perhatian pada keluarga Cendana ialah cucu saya nama Ririn Arini Eka Suprilestari lahir tanggal 23 lanuari 1992, sekarang Ririn sudah kelas I SD Inpres Bongas lamban, Kecamatan Bongas, Kabupaten Indramayu dan ngajinya sudah Ikro 4. Ketika berumur dua tahun selalu mengajak ingin ketemu dengan Almarhumah Ibu Hajah Tien. Malah ketika diumumkan melalui TVRI bahwa Ibu Hj. Tien telah wafat, sempat berucap “wah Ririn dereng silaturahmi kalian Ibu Tien, dereng kepanggih, sampun pejah nggih Madeng.” (Madeng artinya Mbah Kakung). Setelah itu, bila malam Jum’at suka kirim do’a buat Ibu Hj. Tien Suharto.

Semoga Almarhumah diparingi dan diampuni semua dosa-dosanya dan diterima di sisi-Nya. Amin.

Tetapi semuanya ini sebetulnya saya takut untuk berkirim surat pada Bapak, maklum kami rakyat kecil yang tinggal di pedesaan, dan kali ini kami memberanikan diri untuk berkirim surat. Untuk itu kami mohon maaf yang seagung-agungnya, apabila surat kami kurang berkenan di hati Bapak, juga keluarga Bapak.

Sekali lagi mohon maaf. Dan terakhir, kami mendo’akan kepada Bapak H. Muhammad Suharto beserta keluarga. Mugaha selalu ditayungkan Ku Gusti Anu Maha Welas Asih.

Amin, amin ya robbal’alamin. (DTS)

Sekian.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Kaspin Suta beserta keluarga

Kabupaten Indramayu

Propinsi Jawa Barat

[1]     Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 448-449. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat  yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto mengundurkan diri. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.