Tak Ada Yang Sempurna

Pekanbaru, 16 Juni 1998

Kepada

Yth. Bapak Soeharto

Jl. Cendana 6

Jakarta

TAK ADA YANG SEMPURNA [1]

 

Assalamu’alaikum wr. wb.

Saya sangat mengagumi dan mencintai Bapak sejak dulu sampai sekarang dan Insya Allah tidak akan berubah sampai kapanpun. Di saat Bapak masih menjabat Presiden Republik Indonesia, tidak pernah terlintas di hati saya untuk menulis surat kepada Bapak apalagi untuk berkunjung, karena saya tahu Bapak selalu dikelilingi orang-orang yang punya kepentingan. Saya tidak mengerti sesudah Bapak menjadi orang biasa timbul keinginan luar biasa untuk menulis surat ini. Bahkan sewaktu Bapak menyatakan “berhenti” jadi Presiden, kepada beberapa teman saya sampaikan bahwa saya sangat ingin sowan dan bersilaturahmi dengan Bapak.

Jauh di tahun 1982, saya waktu itu masih menjadi aktivis HMI di Yogya. Saya mengikuti Pendidikan Politik Kader Bangsa yang diadakan SOKSI. Pada acara penutupan Pak Suhardiman menyampaikan salam hangat dari Bapak kepada kami peserta latihan, saya pribadi merasa senang luar biasa. Sejak saat itu, dengan penuh kesadaran, tanpa mengharap imbalan apa-apa, saya selalu membela Bapak terhadap orang-orang yang mengkritik Bapak, semampu saya. Menjelang sidang umum yang lalu, saya sangat cemas terhadap dorongan yang begitu besar kepada Bapak untuk menjadi Presiden kembali. Saya bilang kepada teman-teman, betapa berat tugas dan tanggung jawab Pak Harto untuk memimpin negara ini. Apalagi Bapak sudah tidak ada pendamping, anggota kabinet tidak ada lagi yang seusia dengan Bapak, untuk dapat Bapak berdialog dari hati ke hati. Yang ada hanyalah orang selalu mohon petunjuk, apa yang Bapak sampaikan seolah menjadi wahyu bagi mereka. Namun takdir mengharuskan lain, Bapak harus kembali memikul tugas dan tanggung jawab tersebut.

Banyak orang mengkritik putra-putri Bapak yang berbisnis. Saya sampaikan kepada pengritik tersebut, “Kalian ini bagaimana, maunya putra Pak Harto itu sebagai apa? Jadi walikota, gubernur, menteri nggak boleh. Jadi anggota DPR nggak boleh, semua nggak boleh. Terus apa harus miskin?” Begitu juga dengan Group usaha anak-anak Bapak, saya sampaikan bahwa yang namanya group usaha itu ibarat gurita, setiap tangan akan berusaha untuk mencari keuntungannya, jadi nggak bisa disalahkan ke Pak Harto.

Pak Harto yang terhormat, begitu terjadi peristiwa Trisakti yang diikuti penjarahan dan pembakaran yang disiarkan secara langsung di seluruh TV, saya berpikir dan berharap Bapak akan mengambil tindakan keras terhadap demonstran.

Begitu juga melihat gedung DPR diduduki mahasiswa. Tapi Bapak tidak bertindak. Sewaktu Bapak Harmoko meminta Bapak untuk turun, saya dan isteri merasa sangat sedih, isteri saya sampai menangis terharu. Dia bilang perasaannya sama dengan sewaktu Lady Di meninggal. Malamnya saya kembali senang dengan pernyataan Bapak Wiranto diikuti oleh pernyataan Bapak Yusril, Nurcholis Madjid, Kyai Ali Yafi, dll.

Tapi besoknya saya begitu terpengaruh dan terharu menyaksikan Bapak “berhenti”. Pak Harto yang dimuliakan Allah, sekarang banyak orang yang tidak senang dengan Bapak, yang mengatasnamakan rakyat, saya tidak mengerti rakyat yang mana. Paling kurang, bagi saya, Bapak tetap tokoh bangsa yang sangat saya kagumi. Tidak ada manusia yang sempurna di muka bumi ini. Betul kata pepatah, dalam politik tidak kawan dan lawan, yang ada hanya kepentingan.

Terakhir mungkin surat ini tidak sempat Bapak baca. Tapi paling kurang saya sebagai rakyat yang tidak mempunyai vesed interest dengan Bapak, sudah mengeluarkan isi hati saya.

Saya berdo’a semoga Bapak sekeluarga selalu dalam ketabahan, ketenangan dan kebahagiaan, Amin.

Terlebih terkurang saya mohon maaf,

Billahi taufiq wal hidayah,

Wassalamu’alaikum wr. wb. (DTS)

Noviar Zein

Pekanbaru

[1]       Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 530-531. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat  yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto mengundurkan diri. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.