UNSUR2 STABILISASI POLITIK

Tadjuk Rentjana

UNSUR2 STABILISASI POLITIK [1]

 

Djakarta, Kompas

DALAM peristilahan politik disebut djuga “pressure groups”. Artinja, kelompok – kelompok jang tidak duduk dalam lembaga2 perwakilan (parlemen) tapi mempunjai kemampuan untuk mempengaruhi djalannja pemerintahan.

Dinegara manapun, kekuatan didalam parlemen dan kekuatan diluar parlemen selalu ada. Bagi Indonesia, menarik djuga perkembangan dan hubungan antara kekuatan kembar itu.

BISA dikatakan, kekuatan diluar parlemen dinegeri kita selalu amat berarti peranannja. Ambillah misalnja periode 1930 – 1959. Tidaklah bisa disebutkan, peristiwa 17 Oktober 1952 adalah puntjak dari tekanan kekuatan diluar parlemen? Lantas peri ode 1959 – 1965 ! Dalam periode itu, kekuatan diluar parlemen, diluar lembaga – lembaga resmi berpola dua.

Pertama, kekuatan eksekutif jang disentralisir pada diri almarhum Bung Karno. Kita disebut kekuatan ini diluar lembaga resmi, sebab Bung Karno kuat waktu itu bukan karena ia Presiden, tapi karena Presidennja Bung Karno (Kultus Individu).

Itu pola pertama. Pola kekuatan diluar lembaga resmi jang kedua, kekuatan massal jang digerakan dgn diarahkan oleh PKI. Memang beberapa politiknja kemudian dirumuskan dan disepakati parlemen, tapi parlemen sekedar berfungsi sebagai stempel. Prakarsa, pengarah dan penekanannja adalah PKI.

Kemudian dalam periode setelah 1965 pun, kekuatan diluar parlemen tetap memegang gerakan mahasiswa dan mahasiswa – peladjar setjara sporadis setelah 1968.

DIHUBUNGKAN dengan pemilihan umum peladjaran apa hendak ditarik dari pola politik jang kita lukiskan diatas? Temanja sama sadja dengan persoalan jang berhari – hari ini kita mintakan perhatian.

Djangan salah hitung dan djangan salah konsepsi tentang stabilitas politik setelah pemilihan umum. Djaminannja bukan sekedar djumlah suara formil dalam lembaga ­ lembaga resmi. Djaminannja djuga adanja korespondensi antara djumlah kursi dalam parlemen dan kekuatan social – politik di luar parlemen.

Atau dengan kata lain, harus diusahakan korespondensi diusahakan harmoni, diusahakan ”feedback”, dukungan riil (bukan hanja nominal) antara kekuatan dalam parlemen dan diluar parlemen.

PEMILIHAN umum ini mengandung motif pembaruan, perobahan. Setiap perobahan biarpun arahnja madju, ada jang untung, ada jang rugi setjara sektoral. Maka timbullah ketidakpuasan dari jang merasa dirugikan.

Bukan itu sadja. Pemilihan umum mengandung unsur kompetisi, lomba tjari menang. Biarpun sudah ada aturan main, dalam praktek terdjadinja sebutlah ekses, ketjurangan, main kaju ini, Ini bisa semakin memarahkan rasa ketjewa.

Kita mesti djudjur, rasa ketjewa itu sudah mulai kita dengar. Rasa ketjewa jang meluas, jang tak bisa disalurkan kedalam lembaga-lembaga resmi, akan berproses mendjadi kekuatan tak puas diluar lembaga2 resmi itu tjukup besar dan tidak berkorespondensi dengan kekuatan – kekuatan didalam lembaga2 resmi, maka stabilitas politik akan terganggu.

BAGAIMANA mengatasinja? Djuga dalam pemilihan umum ini, rasa keadilan harus sedjauh mungkin diwudjudkan. Betapapun kita hendak menilai tarap pengetahuan politik massa pemilih, namun respek terhadap pemilih sebagai subjek jang otonom mesti dipegang teguh.

Konsentrasi djangan hanja pada penegasan “machinary” pemilihan, tapi diperlukan benar, identifikasi sehingga biarpun orang-orang setjara sektoral merasa dirugikan, tapi rakjat banjak setjara keseluruhan merasakan keuntungannja merasa hasratnja akan perbaikan nasib dipenuhi. (DTS)

Sumber: KOMPAS (19/03/1971)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 647-648.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.