ISSUE RE-UNIE PNI SUATU “LELUTJON” POLITIK

Tadjuk Rentjana:

ISSUE RE-UNIE PNI SUATU “LELUTJON” POLITIK [1]

 

Djakarta, Suluh Marhaen

Amat banjak orang senang terhadap lelutjon2 akan tetapi suatu ”Telur politik” sulit membuat orang lain tertawa, demikianlah sementara surat kabar ibukota “Kami” dan “Sinar Harapan”, menjiarkan sebuah berita beberapa hari jang lalu jang al. akan diadakan reuni (persatuan kembali. red) antara tokoh2 PNI.

Memang issue seperti re-unie ini agak tepat dikatakan sebagai lelutjon oleh karena setiap orang atau masjarakat politik kita sekarang tahu betul bahwa PNI adalah tetap satu. Chususnja sedjak kongres Persatuan Kesatuan di Bandung jang diprakarsai oleh Djenderal Soeharto tahun 1966 maka sedjak itu tidak pernah ada lagi apa jang dibilang PNI Osa Usep dan PNI lainnja. Apalagi setelah kongres Semarang beberapa waktu jang lalu seperti didjelaskan Ketua I DPP PNI Mh. Isnaeni dibagian lain harian ini, maka persatuan dalam tubuh PNI tsb. djustru lebih diperkokoh jakni dengan adanja kesatuan tafsir tentang azas PNI/Marhaenis sebagaimana jang tertjantum dalam Yudhis Pratidina Marhaenis.

Ini adalah kenjataan jang terbuka, tiada ada seorangpun jang bisa membuktikan bahwa tubuh PNI sekarang ini “kojak kojak” terpetjah belah hingga ia harus terpaksa mengadakan re-unie. Kalaupun ada pihak2 jang mengatakan demikian maka tiada lain kita menilai bahwa hal itu belaka. Hanjalah suatu “lelutjon politik” belaka. Orang jang demikian itu ingin bertjanda dengan kenjataan karena ia begitu bernafsu untuk mengexpose sesuatu pemberitaan jang sama sekali salah tentang, PNI. Bahwa terdjadi adanja perbedaan pendapat antara intern dalam tubuh partai maka ini adalah hal jang logis dimana2. Bukankah suatu pepatah mengatakan “pohon bambu itu, karena tumbuh berdekatan maka sesekali ia akan bergeseran satu sama lain apabila tertiup angin” Demikianlah adanja. tapi satu hal djelas bahwa tempatnja berdiri tidak akan bergeser seudjung rambutpun dari kelompoknja itu.

Perumpamaan diatas kita anggap tepat PNI sedjak 1927 adalah partai politik jang senantiasa konstitusionil dan menetrapkan prinsip2 demokrasi jang dianutnja bukan hanja keluar, akan tetapi djuga didalam tubuhnja sendiri, sesama orang PNI setjara boleh tarik2an urat, boleh berdebat terhadap sesuatu kebidjaksanaan jang akan diambil umpannja, tapi orang kuat hendaknja djangan lupa bahwa betapa tadjam perbuatan itu, maka tetap orang PNI. Mereka tetap ingin berada dalam satu kandung keluarga besar partai ini.

Bolehlah dibilang hanja satu dua orang sadja jang bemental sested interest jang saking berambisinja suka lantjang mengexpose persoalan intern keluarga keluar pagar. Tentu orang sematjam ini kurang loyalitas terhadap partai setjara ideologi barangkali djuga bisa diragukan karena dia begitu sampai hati membuka soal rumah tangga kepada orang luar. Amat sulit sekali kita menghargai type2 politikus sematjam ini, dan masalah seperti ini bukanlah hanja masalah PNI. Hal ini terdjadi djuga ditempat2 lain sebagai suatu “noda hitam” dalam dunia politik dengan profitoersnja.

Oleh sebab itu betapapun ada hudjan ketjaman terhadap PNI dan pimpinannja2 dewasa ini sebagai suatu kegiatan negatip untuk mendiskriditkan partai bear ini, memang tiada perlu kita melantjarkan suatu “antikritik”. Djawaban jang paling benar adalah terus mempekokoh persatuan jang telah ada, baik persatuan formil organisatoris maupun persatuan dan kesatuan ttg azas2 ideologis partai jakni Marhaenisme.

ltulah sekarang jang mendjadi tekad segenap keluarga besar PNI dan ormas2nja oleh sebab itu issue2 seperti re-unie tokoh2 PNI di Bandung tsb. tidak kurang dan tidak lebih pasti ditanggapi hanja sebagai lelutjon sadja dari pihak2 jang rupanja sudah kehabisan tenaga untuk “melotot keras” menghadapi PNI.

Kafilah PNI/massa marhaen sekarang akan berdjalan terus kokoh satu untuk mensukseskan pemilu. Biarlah mereka merongrong sesuka hati. (DTS)

Sumber: SULUH MARHAEN (19/03/1971)

 

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 651-653.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.