HADISUBENO, WADJAH BARU DALAM PANGGUNG POLITIK INDONESIA

HADISUBENO, WADJAH BARU DALAM PANGGUNG POLITIK INDONESIA [1]

Oleh : Eki Sjachrudin

 

Djakarta, Harian Kami

KETIKA Hadisubeno berhasil dimenangkan oleh penguasa dalam Kongres PNI di Semarang tempoh hari maka orang berkesimpulan bahwa hadirnja tokoh Hadisubeno dalam tjerita politik orba hanja akan memperbanjak deretan nama tokoh2 yesmen sadja. Dugaan orang tentang tokoh baru ini ternjata kemudian diikuti oleh berita2 jang menjatakan PNI menjambut dengan gembira dwifungsi ABRI dan sanggup membantu pelaksanaan Permen 12, jang ketika itu kedua issue tsb. masih dalam tahap diperbintjangkan dipasaran politik kita. Sikap PNI terhadap dua issue tsb. bagi orang banjak djelas merupakan pertanda kebenaran dugaan2 mereka tentang ke-­yesmenan tokoh baru tsb.

Para penonton sudah ketjewa terhadap para promotor, sutradara dan para pemain lakon politik orba. Mereka sudah berkesimpulan bahwa lakon jang sedang mereka tonton pasti tidak ramai, mereka tidak melihat adegan2 seru seperti misalnja adegan dimana kekuatan masjarakat jang tersalur dalam partai2 politik akan merupakan kekuatan jang mampu mendjuruskan kegiatan penguasa kearah jang disetudjui bersama atau setidak2nja mampu menjetop kegiatan penguasa jang njata2 bertentangan dengan kehendak umum.

Mereka tidak melihat suatu partai berkemampuan mendjuruskan kegiatan penguasa, jang kelak diharapkan matang baginja untuk menggantikan penguasa dengan harapan dia bisa memerintah lebih baik.

Pokoknja tjerita2 tentang check and balance jang bisa mengakibatkan tertjegahnja power tend to corrupt atau tjerita transfer of authority jang demokratis demi terhindarnja hal2 sematjam revolusi, tidak bisa mereka lihat dan nikmati. Penguasa tidak mendapatkan sparring partner jang tangguh, tidak ada apa jang disebut counter elite terhadap siapa penguasa patut berhati-hati dalam mengurus negri sebab si counter elite tsb. akan menggantikan kedudukannja (dengan dukungan rakjat, apabila si penguasa sekarang dianggap kurang baik dalam mendjalankan kekuasaannja). Pokoknja lakon orba ini menurut istilah anak Djakarta engga seru.

Didalam suasana ke-yesmen-an dan kelesuan itu tiba2 muntjullah Hadisubeno jang dulu dianggap yesmen tarnpil menentang penguasa dalam soal Bung Karno.

Penguasa melalui Pangkopkamtib mengeluarkan instruksi jang melarang disiarkannja adjaran2 Bung Karno, bahkan sebelumnja oleh penguasa pernah diberitakan bahwa Bung Karno akan diadjukan kedepan pengadilan. Bung Karno dan adjaran2nja buat kalangan PNI merupakan njawa partai tsb, jang tanpa itu PNI tidak mempunjai arti apa2.

Menjadari hal ini Hadisubeno tidak bisa berdiam diri dan setjara berani mengatakan siapa penggali Pantja Sila dan siapa pula jang mengembalikan kita ke UUD 45, tidak lain Bung Karno dan itulah tokoh kita.

Kemudian setelah melalui serentetan kegiatan memperkokoh posisinja, maka sebagai klimaknja tokoh jang diduga yesmen itu berkata kalau adjaran2 Bung Karno dilarang oleh penguasa lebih baik bubarkan sadja PNI. Dan ternjata sampai saat ini PNI tidak dibubarkan. Bagi keluarga PNI satu soal besar jang sangat fundamentil telah mampu diselesaikan oleh ketuanja Hadisubeno.

Kalangan PNI setjara bathiniah oleh tindakan Hadisubeno ini telah dipersatukan kembali. Mereka kini lupa bahwa dulu ketua mereka itu diangkat dengan bantuan tangan2 penguasa. Dan orang2 luar PNI dengan kaget melihat betapa beraninja Hadisubeno sekarang. Kenapa, begitulah kira2 pertanjaan orang banjak.

Buat kalangan non PNI dilegalisirnja kembali ketokohan dan adjaran2 Bung Karno djelas merupakan hal jang mengganggu pikiran. Tapi keberaniannja menentang penguasa untuk menampilkan kembali ketokohan dan adjaran2 Bung Karno benar2 merupakan surprise dan setjara diam2 memberikan respekt terhadapnja.

Setelah masalah idiil ini mampu diselesaikan oleh Hadisubeno kemudian ia meningkat mengadakan expansi kemasalah power structure, jaitu mulai melakukan jab2 ringan kepada Golkar, jang ternjata tjukup membingungkan pimpinan2 Golkar baik Amir Machmud ataupun Djenderal Sokowati. Berkatalah Hadisubeno tentang masalah Golkar ini bahwa ada rasa kedongkolan dikalangan rakjat luas terhadap pemerintah berhubung adanja paksaan kepada katjawan Departemen Dalam Negeri untuk masuk Kokar mendagri, bahkan banjak Bupati2 jang shock berhubung keadaan ini.

Terhadap pernjataan2 ketua PNI ini Djenderal Amir Machmud berkata pada penutupan musjawarah antar Kotapradja : wahai para Walikota, djanganlah saudara2 takut terhadap gertak sambalnja Hadisubeno. Malahan Menteri kita itu menambahkan bahwa utjapan2 Hadisubeno achir achir ini sudah keterlaluan. Lampiaskanlah kemarahan2mu kepada saja dan djangan kepada para Gubernur, Bupati dan Walikota karena sajalah jang menjuruh mereka.

Saja, kata Menteri tidak pernah memaksa pegawai2 negri untuk masuk Kokar mendagri, tidak benar itu utjapan Hadisubeno, tapi statement politik Amir Machmud masih ditambahi embel2 jang djustru disini kelemahannja: kepada mereka jang tidak mau Kokarmendagri diberi kebebasan untuk mengundurkan diri dari Departemen Dalam Negeri. (Sinar H 10/2).

Dengan keterangan embel2nja ini djustru terbukti bahwa ia memaksa katjawan2 Departemen Dalam Negeri untuk masuk Kokarmendagri, sebab kalau tidak mereka terpaksa harus meninggalkan pekerdjaannja. Jabs ringan Hadisubeno masuk.

Dengan keterangan Amir Machmud itu timbul kesan dikalangan umum bahwa memerintah itu artinja memiliki sekaligus Departemen dan pegawai2nja.

Kalau ini dianggap berlaku sebagai ketentuan, bagaimana nasib pegawai2 negeri di Republik ini kalau nanti suatu waktu PNI berkuasa kemudian NU berkuasa, pastilah negeri ini akan katjau, Tapi toech Amir Machmud mengadjukan djuga konsep jang katjau itu.

Disini Hadisubeno berhasil memantjing Menteri. Walaupun menurut umum Hadisubeno menang atas Amir Machmud walaupun menurut Amir sendiri Hadisubeno telah berbohong dan keterlaluan, walaupun Hadisubeno berani berkata setjara tidak langsung pada Amir dengan utjapan: laknatlah mereka jang merugikan kaum marhaen tapi ini semua telah diachiri dengan minum2 teh dan kue2 lemper serta kroket di ruangan Menteri Amir machmud. Ketawalah Hadisubeno.

Rupanja Hadisubeno pemain jg agresip, setelah selesai memberikan jabs terarah kerahang Golkar, kini ia meningkat mau mengambil kedudukan wakil Presiden. Oleh statemen itu ketua Golkar Sokowati berkata bahwa djabatan wakil Presiden bukan buat orang Djawa (tgl. 2 Pebruari dalam briefing didepan Wanita Golkar).

Untuk sementara tampaknja djawaban Sokowati terhadap jabs Hadisubeno sangat indah. Sebab menurut pikiran orang banjak Presiden kita sudah dipegang oleh orang Djawa maka wadjarlah kalau wakil Presiden dipegang oleh orang dari luar Djawa dan sangat serakahlah apabila orang Djawa masih mau djuga kedudukan tsb.

Dengan djawaban Sokowati serta pikiran orang banjak jang membenarkannja itu maka ketua Golkar Sokowati selain mampu menggalakkan jabs Hadi mampu djuga memasukkan book kanannja kerahang Hadisubeno. Untuk sementara pukulan hook Djenderal kita itu telah membikin Hadi knock down. Sementara hilanglah djawaban Wakil Presiden. Tapi belum habis hitungan sampai sepuluh pemain kawakan Hadisubeno bangkit lagi dan berkata bahwa buat seorang nasionalis sedjati tidak dikenal istilah kesukuan.

Buat nasionalis sedjati Wakil Presiden boleh dipegang oleh siapa sadja jang tjakap. Dengan djawaban itu orang berpendapat kalau pikiran pak Sokowati itu dilandjutkan bisa berakibat bahwa untuk djabatan2 penting dinegri ini pertimbangan kesukuanlah jg. nomor satu, kalau ini jang dipegang sebagai ukuran habislah kemungkinan buat orang luar Djawa untuk mendjadi Presiden. Kalau toch patutnja orang2 dari Luar Djawa sekedar djabatan Wakil Presiden, maka soal kemudian jang timbul adalah suku luar Djawa jang mana?

Ini akan membawa kita kealam kejamuknja sukuisme dan daerahisme, begitulah logika orang berkata. Dengan djawaban itu Hadisubeno berhasil dalam dua hal pertama memberikan kesa bahwa ketua Golkar Sokowati menghendaki pola sukuis dan dia a-nasionalis dan kedua memberikan peluang kembali padanya untik tampil mengambil kedudukan wakil presiden.

Sebetulnja apa jang disebut Sokowati dalam kenjataannja akan berdjalan djuga tjuma karena pengutaraannja setjara semantik telah meluntjurkan dia ke lubang sukuisme/daerahisme maka disini Sokowati tergelintjir.

Demikianlah setjara sekilas apa jang kita lihat tentang tokoh Hadisubeno. Mungkin tokoh ini mengikuti pola di Pakistan. Seperti kita ketahui kaum militer disana pun ikut terdjun dalam pemilu dan langsung dipimpin oleh Presidennja Djenderal Yahya Khan bersama aparat Liga Muslimin sebagai Golkarnja. Tapi ternjata walau dengan segala fasilitas jang dipujinja dan issue pembangunan ekonomi, tidak marnpu mengatasi kekuatan opposisi Mujjiburachman dan Ali Bhutto. Ali Bhuto menentang politik damai Yahya Khan dalam soal Kasjmir dan Mujjiburrachman menuntut otonomi luas untuk Pakistan Timur.

Tampaknja hanja dua orang itulah jang tampil sebagai counter elitenja penguasa di Pakistan, Ali Bhuto dengan issue garis keras dalam soal Kasjmir dan ekonomi jang sosialis Islamis berhasil menarik massa di Pakistan Barat dan dengan issue otonomi dan ekonomi jang djuga Islamis – Sosialis Mujjiburrachman menang setjara mutlak di Pakistan Timur.

Dengan melihat Pakistan sebagai bandingan djelaslah bahwa kemenangan dalam suatu pemilu tidak tjukup dengan fasilitas sadja, ia harus diikuti oleh kemampuan untuk menampilkan issue2 sentral jang sesuai dengan selera rakjat. Ali Bhuto dan Mujjiburrachman telah menang dalam pemilu di Pakistan, karena mereka berdua itulah jang tampil sebagai faktor check and balance dalam panggung politik di Pakistan.

Didalam panggung politik Orba kita sekarang ini mentjatat beberapa nama jang tampaknja mempunjai keberanian untuk menjadi factor counter elite ataupun faktor check and balance dari penguasa sekarang jaitu Hadisubeno Sabchan Z.E. (sudah lebih dulu), Jusuf Helmi dan kabarnja djuga Sabam sirait.

Dugaan kita setjara terburu2 menundjukkan bahwa empat orang itulah jang rupanja mempunjai kebebasan untuk menempati kedudukan sebagai pemain dalam panggung politik kita dan bukan sebagai jang dipermainkan.

Saja menduga hadisubeno dan kawan2nja bertiga berikutnja patut memperoleh sharing kekuasaan setelah pemilu jang akan datang, karena mereka bukan yesmen. (DTS)

Sumber : HARIAN KAMI (19/03/1971)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 656-659.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.