Reformasi : Kenapa Indonesia Malah Hancur

Klaten, 5 Juni 1998

Kepada

Yth. Bapak H. Muh. Soeharto

di Jl. Cendana No. 8

Jakarta

REFORMASI: KENAPA INDONESIA MALAH

HANCUR. [1]

Assalamu’ alaikum wr. wb.

Bapak H. M. Soeharto yang saya hormati, sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kelancangan saya menulis surat kepada Bapak. Surat ini saya tulis sebagai wujud rasa simpati, sekaligus rasa keprihatinan saya atas tindakan sewenang-wenang mereka memaksa Bapak untuk turun dari jabatan presiden Republik Indonesia yang sama ­sama kita cintai ini. Saya hanyalah rakyat kecil, namun benar-benar telah dapat merasakan hasil pembangunan di negara ini. Saya sangat kagum kepemimpinan Bapak. Semua telah kami rasakan, semua telah mengakui tujuan pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD ’45 semakin nyata!!

Saya sangat prihatin, sedih, dan takut kenapa pembangunan di segala bidang yang bertahun-tahun dirintis, dirusak oleh oknum-oknum yang menamakan dirinya pelopor reformasi, yang tidak lain hanyalah mengetengahkan, mementingkan diri sendiri dengan memperalat orang lain, tindakan brutal dan sewenang-wenang tidak sesuai dengan kepribadian budaya Indonesia, tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita, yang disayangkan kenapa justru perlakuan itu terjadi pada sesama muslim sesama orang Islam, padahal dalam hadits Rasulullah bersabda: “Orang mukmin itu seperti tubuh yang satu (satu badan) ketika kepalanya sakit maka seluruh tubuh merasakan sakitnya. Ketika matanya sakit, sakitlah seluruh tubuhuya.

Kalau merujuk ajaran Rasulullah SAW di atas tentu seharusnya tidak perlu terjadi seperti apa yang dilakukan terhadap Bapak saat ini. Itu patut dapat ditanyakan sejauh mana & setebal apa keimanan mereka. Kata mereka maka amar ma’ruf nahi munkar, mana amar ma’rufnya? Bapak H. Soeharto yang saya cintai, bagaimanapun juga kita tidak boleh terpancing dengan menanggapinya secara emosi sebagai orang Islam, kita harus sadar bahwa tidak ada kejadian (baik maupun jelek) di muka bumi ini yang di luar kehendak-Nya. Kita hanyalah wayang, Allahlah dalangnya.

“Tidak ada suatu musibah itu terjadi kecuali karena izin-Nya/kehendak Allah, barangsiapa yakin (iman) kepada Allah (percaya Qadar) Allah akan memberi petunjuk pada hati orang tersebut.

Di sinilah letak perbedaan antara orang yang beriman dengan yang tidak beriman. Orang iman selalu ridlo dengan Qodar dan kita yakin semua ini adalah kehendaknya, kita sedang diuji oleh Allah SWT.

Bagi orang iman ujian dari Allah merupakan bukti kecintaan-Nya pada umat-Nya, seperti hadits di bawah ini. Artinya: Besar kecilnya pahala itu tergantung besar kecilnya cobaan. Apabila orang itu ridlo maka Allah senang pada orang itu, tapi jika orang itu tidak ridlo dengan cobaan yang diberikan maka Allah lebih murka pada orang itu.

Ketika Allah mencintai umatnya pasti Allah memberikan cobaan. Untuk itu kita harus yakin bahwa semua kejadian ini hanyalah riak kecil. Peringatan dari Allah pada umat yang dikasihi yang dicintai agar lebih mendekatkan diri pada-Nya, memperbanyak dzikir, tahmid, dan takbir. Kita harus menyadari betapa kecilnya manusia, betapa rapuhnya manusia jika kita bandingkan kekuasaan-Nya. Derajat, pangkat, kekayaan tidak ada artinya di hadapan Allah tanpa didukung keimanan. Dunia hanyalah sebuah mainan seperti firman Allah dalam surat Al Ankabut ayat 64 di bawah ini: “Tidak ada kehidupan di dunia ini kecuali lahan (sesuatu yang tidak berguna) dan hanyalah mainan (dolanan).

Oleh karena itu sekalipun pahit perlakukan mereka terhadap Bapak, dan keluarga Bapak harus diterima dengan ridlo orang yang dianiaya justru lebih dekat dengan Allah dan doanya mustajab (diijabahi) oleh Allah, seperti sabda Rasulullah SAW: “Takutlah kamu pada doanya orang yang dianiaya sebab doanya itu mustajab, tidak ada penghalang (langsung diterima) antara doa dengan Allah walaupun doanya orang kafir sekalipun. Berdasarkan hadits di atas, orang kafir pun doanya diijabahi oleh Allah ketika orang itu teraniaya.

Apalagi doanya orang iman yang teraniaya, tentu lebih mustajab, sebagai orang Islam kita tidak boleh mendoakan orang lain dengan doa yang jelek, menjatuhkan, sekalipun kita teraniaya, sekalipun kita disakiti.

Tapi sebaliknya kita hendaknya mendoakan mereka yang memusuhi Bapak dengan doa yang baik. Semoga dia diberi kesadaran bahwa menghujat orang lain (apalagi sesama muslim) itu dosa besar. Dan mohon Bapak berdoa untuk persatuan dan kesatuan bangsa yang sama-sama kita cintai ini, terhindar dari perpecahan yang dapat merugikan semua pihak. Ini ciri orang yang beriman, yaitu sabar, dan berbahagialah orang yang diberi kenikmatan yang diberikan kepada umatnya, maka sebaik-baiknya pemberian adalah sifat sabar: “Barangsiapa berbuat untuk menjadi orang sabar, maka Allah memberi kesabaran, dan tidak ada pemberian Allah yang terbaik pada umatnya kecuali sifat sabar.

Dari lubuk hati yang dalam, didasarkan pada sesama muslim, kita diwajibkan saling menasihati (amar ma’ruf) itulah kiranya yang mendorong keberanian saya menulis surat ini kepada Bapak.

Marilah kita sama-sama berintrospeksi, melihat ke dalam diri kita masing­-masing. Sudah seberapa banyak amal ibadah kita kepada-Nya, seperti yang diingatkan Allah kepada kita: “Hai orang-orang yang beriman melihatlah kedalam dirimu (berintrospeksi) tentang barang -barang yang telah kamu perbuat (amal ibadah) untuk hari esok (Akherat) bertaqwalah pada Allah sebab sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui.”

Dengan penuh rasa hormat, saya cukupkan sekian dulu semoga Bapak berkenan, dan tidak lupa jika kelancangan saya ini dianggap salah, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. (DTS)

Wassalamu’ alaikum wr. wb.

Hormat saya,

Cahyo Bambang, PW.

Surakarta

 NB. Suatu kebahagian yang tak ternilai bagi saya jika Bapak tidak berkeberatan membalasnya.

 

 

[1]     Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 735-737. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat  yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto menyatakan berhenti dari kursi Kepresidenan. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.