Sepucuk Surat Dan Puisi

Jakarta, 15 Juni 1998

Kepada

Yth. Bapak H. M. Soeharto

di tempat

SEPUCUK SURAT DAN PUISI [1]

Selamat malam,

Dengan segala kerendahan hati dan kejujuran yang karni miliki. Hati nurani kami sebagai salah satu di antara jutaan anak kandung dari ibu pertiwi Nusantara, menggerakkan tangan kami untuk berani menuliskan surat dari ekspresi jiwa kami.

Pertama-tama, Kami sebagai warga negara Republik Indonesia, ingin menyatakan rasa keprihatinan kami terhadap situasi yang berlangsung di negeri ini. Atas nama pribadi dengan segala kekerdilan jiwa, ingin menghaturkan mohon maaf lahir dan bathin sebesar-besarnya. Karena pada dasarnya kami diajari dan mengerti bahwa hal ini tidak akan terjadi bila kita menjunjung tinggi penyempurnaan rasa-karsa-cipta-karya manusia Indonesia seutuhnya.

Kedua, kami memohon kepada Bapak, untuk tidak membenci saudara-saudaraku yang lain, yang berada di pelosok dari ujung Sabang sampai Merauke. Karena, kami diajari dan mengerti arti dan makna legenda Malin Kundang. Janganlah membenci kami semua, janganlah memarahi kami semua, Pak, janganlah keluarkan kutuk atas diri kami, kami meminta, kami mohon, doakanlah jiwa kami, sehingga kami dapat melanjutkan perjalanan zaman ini dengan restu dari Bapak yang kami tauladani.

Ketiga, terima kasih sebesar-besarnya kami sampaikan atas kepemimpinan Bapak selama ini atas negara Republik Indonesia dan sumbangsih Bapak atas negeri ini.

Saya bangga pernah punya presiden yang punya nyali tanpa gentar tidak memakai rompi saat ke Serbia dan pernah mengundang pengamen jalanan untuk bernyanyi di Cendana serta menyediakan waktu ke alam dengan memancing ke laut.

Terima kasih Bapak, karena telah memberikan negara ini rasa aman sehingga dapat menyelesaikan studi kami di Arsitektur Lensekap dan sekarang belajar untuk mandiri sebagai seorang Insinyur.

Kami tetap mengharapkan seulas senyum dari Bapak, meskipun cuma lihat di koran dan televisi, supaya kami bisa tetap melihat semangat kami, yang perlu bagi jiwa kami untuk mempersembahkan dharma bhakti sumbangsih jiwa raga kami bagi persada bumi nusantara ini.

Bapak tetap pahlawan di hati kami seperti pahlawan-pahlawan yang lainnya, disebabkan jasa Bapak, kami sudah dapat memiliki tiket pesawat yang akan tinggal landas. Karena kami diajari dan mengerti tentang arti dan makna pepatah “Tiada gading yang tak retak”.

Akhir kata, mohon maaf atas kelancangan kami bertutur kata dalam surat ini, karena kami tidak cakap dalam mengatur kalimat seperti budayawan. Kami tidak bisa memberikan bintang perpisahan yang terbaik buat Bapak sebagai tanda ungkapan hadiah terbaik untuk rasa hormat kami.

Hanya seuntai paisi, kami persembahkan yang mengalir dari lubuk hati yang terdalam, jauh dari angkara murka korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sampai sekarang kami belum mengerti arti dan maknanya.

Dan selamat Ulang tahun dan panjang umur selalu. Kami secara pribadi bersumpah untuk melanjutkan nilai luhur dari Amukti Palapa. Karena kami diajari dan mengerti tentang nenek moyang kami dan kami tahu bahwa sumpah Mahapatih Gajahmada belum dicabut. Dan warisan pusaka berupa “rasa kesatuan dan persatuan serta kebenaran tidak bermuka dua”. Harus dilestarikan. (DTS)

Kawan setia

Gubahan : Ir. John F. Papilaya

Petani tua selalu setia

Pergi ke ladang

Tanamkan benih di tanah negerimu

Kau yang selalu setia

[1]     Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 764-765. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat  yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto menyatakan berhenti dari kursi Kepresidenan. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.