Jakarta, 15 Juni 1998
Kepada
Yth. Bapak H. M. Soeharto
di Jl. Cendana No. 8
Jakarta Pusat
TERIMA KASIH SUPERSEMAR [1]
Assalamu’alaikum wr. wb.
Pertama-tama perkenankanlah saya: Abdul Ban Azed, S.H, M.H. staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, melalui surat ini menyampaikan ucapan Selamat Ulang Tahun yang ke-77, tanggal 6 Juni yang baru lalu ke hadapan Bapak, semoga Allah SWT, senantiasa memberikan kekuatan lahir dan bathin di dalam Bapak menghadapi hari-hari mendatang ini setelah “Lengser Keprabon” tanggal 21 Mei 1998 yang baru lalu.
Belum sampai satu bulan Bapak resmi berhenti sebagai presiden RI, nampaknya kondisi ekonomi rakyat semakin terpuruk, harga-harga terus menaik sehingga tidak terjangkau rakyat kecil. Terjadi PHK di mana-mana, perdagangan lesu, kegiatan ekonomi rakyat terhenti dan lesu. Saya teringat ucapan Bapak tersebut, di mana Bapak masih tetap bertanggung jawab terhadap kelangsungan dan nasib negara Republik Indonesia tercinta ini.
Sebelumnya Bapak menawarkan pembentukan Komite Reformasi dengan mengundang sembilan tokoh ke Istana Negara, namun dari tokoh-tokoh tersebut tidak ada yang bersedia duduk di Komite Reformasi, selanjutnya 14 menteri menyatakan mundur sebelum Kabinet Reshuffle dibentuk. Sungguh suatu keadaan yang tragis dan tercatat dalam sejarah bangsa ini. Bahwa Bapak menawarkan suatu pemecahan masalah, namun tidak ditanggapi oleh sejumlah “tokoh” tersebut, bahkan ditawarkan duduk di Komite, mereka semua menolak. Persoalannya di sini soal politik, harus menentukan pilihan, bisa saja Bapak waktu itu menawarkan soal tersebut ke pihak lain, dan tentu saja akan disambut secara baik dan responsif.
Kemudian mereka ramai-ramai menghujat Bapak sampai ke persoalan harta kekayaan, termasuk perusahaan yang dikelola putra putri Bapak. Sungguh sangat tepat Bapak sudah mengangkat seorang Konsultan Hukum menghadapi tuntutan mengenai soal harta kekayaan ini. Tim ini mudah-mudahan dapat bekerja dengan baik dan membela kepentingan keluarga cendana. Saya sungguh sangat trenyuh, di mana melalui Tim Konsultan Cendana (TKC) dinyatakan Bapak tidak mempunyai apa-apa.
Sungguh sangat kejam “kelompok” yang akhir-akhir ini sangat gencar menghantam Bapak dan keluarga. Padahal mereka dahulunya sebagai pembantu Bapak yang sudah dipercaya menjadi pejabat, sangat tega menghujat Bapak, kasihan para mahasiswa yang memang menghendaki reformasi. Tetapi terhadap tokoh oposisi, ditawarkan duduk di Komite Reformasi (seperti kata Prof. Yusril, kolega saya di FH-UI, jurusan Hukum Tata Negara) seperti Amien Rais, Ali Sadikin, Megawati, dll, tidak pada mau duduk menyampaikan konsep solusi penyelesaian permasalahan negara dan rakyat kita.
Namun hingga kini, masih berdebat soal sah atau tidaknya B.J. Habibie atau mendesak Sidang Istimewa MPR. Sementara rakyat kecil semakin menderita. Bantuan IMF tidak kunjung turun, rupiah semakin melorot, kebutuhan bahan pokok semakin mahal dan berkurang.
Saya masih menghormati Bapak sebagai pemimpin, terbukti foto gambar saya bersalaman dengan Bapak di Istana Negara tahun 1994 masih terpajang di ruang tamu dan ruang kerja. Di samping sebagai dosen tetap di FH-UI, saya dengan teman-teman juga membuka Kantor Konsultan Hukum kecil-kecilan, bernama Kantor Hukum LAWINA. Dan saya berniat mengambil program S3 (Doktor) kesulitan dana, apalagi situasi moneter saat ini, niat tersebut, terpaksa “tertunda”.
Semasa kuliah dahulu, pada saat tugas akhir (skripsi) saya memperoleh beasiswa Supersemar. Untuk itu melalui surat ini saya menghaturkan terima kasih ke hadapan selaku Ketua Yayasan Supersemar tersebut yang memberikan bantuan beasiswa Supersemar melalui UI (th 1975).
Demikianlah surat saya ini atas perkenan Bapak membacanya dihaturkan terima kasih. (DTS)
Wassalam dan hormat saya,
Abdul Bari Azed
Jakarta Utara
[1] Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 862-863. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto menyatakan berhenti dari kursi Kepresidenan. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.