PRESIDEN : KOMUNIKASI DUA ARAH DAN KEPEMIMPINAN SOSIAL MERUPAKAN PELAKSANAAN AZAS DEMOKRASI PANCASILA [1]
Jakarta, Antara
Komunikasi dua arah dan kepemimpinan sosial seperti dicanangkan beberapa kali oleh Presiden Soeharto diwaktu2 lampau, tetap akan dilanjutkan, karena hal itu menurut kepala negara dalam suatu keterangannya hari Rabu di Jakarta merupakan pelaksanaan dari pada azas demokrasi Pancasila.
Presiden Soeharto yang berbicara pada pembukaan rapat kerja gubernur kepala daerah seluruh Indonesia di Istana Negara mengemukakan bahwa dalam kehidupan demokrasi Pancasila tetap ada tempat yang terhormat bagi hak. untuk menyampaikan pendapat dan berbeda pendapat. “Akan tetapi” kata Kepala Negara,” diberikan tempat yang sarna terhormatnya bagi tanggungjawab”. Presiden Soeharto mengemukakan hal itu ketika ia menyinggung apa yang dikenal dengan peristiwa “15 Januari” di Jakarta dimana demonstrasi2 anti Jepang pada pertengahan bulan yg tak dapat dikendalikan lagi sehingga terjadi pembakaran2 dan pengrusakan2 harta benda.
“Sekiranya ada kebijaksanaan dan langkah2 yang tampaknya keras demikian dikemukakan lebih lanjut dalam hubungan dengan peristiwa tersebut, “seperti membatasi dan menertibkan sifat dan cara penggunaan hak kebebasan dan hak demokrasi, maka tujuannya adalah justru untuk menyelamatkan kehidupan konstitusionil, memberi nafas yang lebih segar kepada kehidupan demokrasi dan untuk menjamin kewibawaan hukum”.
Peristiwa 15 Januari itu dinilai Presiden sebagai sentakan mundur selangkah kebelakang. “Tetapi kita jangan gentar”, kata Kepala Negara, “kita malahan harus bertekad untuk memperbaiki kembali keadaan dengan melangkah ke depan lebih cepat dan tepat”.
Oleh Presiden diberitahukan juga bahwa ia telah menginstruksikan kepada alat2 keamanan negara dan alat2 penegak hukum untuk mengusut dan menindak tegas sumber penyulut kerusakan itu.
Tetapi oleh Presiden dijamin bahwa tindakan itu semata2 dilakukan demi keselamatan rakyat, keutuhan negara dan kelanjutan pembangunan dan bahwa mereka yang tidak bersalah tak perlu takut atau was2.
“Sebagai mandataris saya dibebani tugas dan kewajiban untuk melaksanakan pembangunan untuk meluruskan kehidupan konstitusionil, untuk menumbuhkan demokrasi dan untuk menegakkan hukum dan kebijaksanaan serta tindakan yang saya ambil harus tetap berjalan diatas jalur itu, malahan jalur itulah yang harus kita tempuh bersama tanpa kecuali,” demikian ditambahkan.
Perbedaan Boleh
Presiden Soeharto mengemukakan bahwa perbedaan boleh beradu dengan alasan, akan tetapi hendaknya jangan dengan beradu kekuatan.
Dalam hubungan ini ditunjuk adanya wadah penyalur pendapat rakyat seperti lembaga2 perwakilan rakyat pada tingkat nasional dan tingkat daerah.
“Disanalah hendaknya semua keinginan, hasrat dan tuntutan disalurkan dan dalam rangka inilah kita serta harus bertekad untuk memantapkan hubungan ketjasama antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan wewenang, hak dan rasa hubungan yang sesuai dengan semangat dan ketentuan Undang2 Dasar,” kata Kepala Negara.
Olehnya diketengahkan pula bahwa penyampaian pendapat atau tuntutan dari masyarakat tidak perlu dilakukan dengan cara2 yang dapat memancing keonaran dan kekacauan seperti demonstrasi. “Demonstrasi”, kata Presiden, “bukanlah satu2nya wajah demokrasi, lebih2 demontrasi yang tidak digunakan dengan hati2 yang malahan pengundang huru-hara”.
“Hak2 demokrasi yang lain seperti kebebasan pers, kebebasan mimbar, kebebasan mengeluarkan pendapat dan sebagainya dijamin sepanjang hak2 itu digunakan secara wajar dan disertai rasa tanggungjawab”, demikian ditambahkan.
Oleh Kepala Negara diketengahkan juga bahwa hak2 azasi harus berjalan seiring dengan tanggung jawab, karena hak2 azasi tanpa tanggung jawab azasi akan mendatangkan kekacauan, sedang sebaliknya tanggungjawab azasi tanpa hak2 azasi akan menimbulkan kebekuan.
“Dengan kekacauan terang tidak mungkin pembangunan dilaksanakan dan dengan kebekuan jelas tidak akan ada gerak pembangunan”, kata Presiden. (DTS)
SUMBER : ANTARA (06/02/ 1974)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku III (1972-1975), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 406-408.