KEKUATAN PELAKSANAAN KONSTITUSI TENTUKAN KEBERHASILAN PEMBANGUNAN [1]
Jakarta, Antara
Keberhasilan pembangunan negara dan bangsa ditentukan oleh kekuatan pelaksanaan konstitusi, Undang-undang Dasar 1945.
Tegaknya konstitusi dan tumbuhnya demokrasi antara lain merupakan sasaran perjuangan Orde Baru.
Di dalamnya terkandung pula usaha untuk melaksanakan dan memantapkan mekanisme kepemimpinan nasional, yaitu mekanisme atau tata-cara dasar mengenai bagaimana kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita bina dan atur pada puncak pengendalian kehidupan bangsa dan negara ini berdasarkan UUD 1945.
Demikian Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraannya menyambut Hari Proklamasi RI ke-32 di depan Sidang Paripurna DPR-RI di Jakarta, Selasa malam.
Ia mengatakan, selama 11 tahun menegakkan Orde Baru, kehidupan konstitusionil dan demokrasi diusahakan bersama-sama dengan sepenuh tekad dan kemauan.
Rangkaian tonggak pelaksanaan demokrasi dan konstitusi mulai dari Pemilihan Umum, pembentukan MPR hasil Pemilu, Sidang Umum-MPR bagi penilaian pertanggungan-jawab Presiden atas pelaksanaan GBHN, penetapan GBHN, memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk lima tahun berikutnya, merupakan putaran atau siklus mekanisme kepemimpinan nasional yang harus kita tegakkan bersama-sama.
“Apabila dalam bulan Maret 1978 MPR hasil Pemilu 1977 berhasil melaksanakan tugas tersebut seperti yang ditetapkan UUD 1945,maka untuk pertama kalinya bulatlah sudah putaran atau siklus mekanisme kepemimpinan nasional dan mulai tali siklus mekanisme kepemimpinan nasional periode lima tahun berikutnya dan seterusnya”.
Sehubungan dengan itu, Presiden mengulang kembali penegasannya bahwa Pemilu 1977 merupakan prestasi besar dalam menegakkan kehidupan konstitusionil dan menumbuhkan demokrasi.
Penerangan Ketentuan UUD
Kepala Negara mengatakan, selanjutnya usaha menegakkan dan melaksanakan mekanisme kepemimpinan nasional, Orde Baru telah berhasil menetapkan dalam praktek ketentuan konstitusi, khususnya dalam hubungan tugas antara Pemerintah dan DPR.
Sejak kelahiran Orde Baru, Pemerintah setiap tahun mengajukan Rancangan Anggaran Belanja kepada DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan.
“Ini adalah ketentuan Undang-Undang Dasar yang sangat penting yang harus kita tegakkan bersama,” demikian ditegaskan.
Demikian pula dalam membuat Undang-Undang Pemerintah Orde Baru selalu memperhatikan ketentuan UUD dan perundangan lainnya.
“Menegakkan kehidupan Orde Baru yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah identik dengan menegakkan kehidupan yang demokratis,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa wawasan Indonesia mengenai demokrasi haruslah berpangkal dan kepribadian dan kebutuhan bangsa sendiri. Sama halnya dengan pembangunan, maka tidak ada satu model demokrasi pun yang dapat ditetapkan begitu saja untuk semua bangsa.
Ia menegaskan kembali bahwa dalam demokrasi Pancasila sama sekali tidak berarti perbedaan pendapat harus dilenyapkan.
“Selain melawan kodrat, maka matinya perbedaan pendapat berarti macetnya pikiran segar untuk perbaikan. Persoalannya adalah bahwa perbedaan pendapat itu tidak harus diperuncingkan, lebih-lebih untuk menekan atau mengancam fihak lain,” katanya.
Presiden mengingatkan, sebagai bangsa yang besar yang mengandung berbagai kemajemukan dan kebinekaan,
“kita tidak boleh tergelincir pada keruncingan perbedaan diantara kita.”
“Bila hal ini terjadi maka cepat atau lambat ia akan mengganggu dan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa kita”.
Ia mengajak untuk menyadari bahwa perbedaan itu bukan untuk dipertentangkan atau diperlawankan, melainkan untuk diperdekatkan dan dipertemukan secara musyawarah dan mufakat.
“Dalam musyawarah dan mufakat yang menang adalah akal sehat dan kepentingan bersama,” demikian ditambahkan.
Kembangkan Jalur Demokrasi
Kepala Negara menekankan keharusan mengembangkan jalur demokrasi yang lain. Meskipun lembaga-lembaga perwakilan rakyat telah ditempatkan sebagai sarana demokrasi yang penting.
“Dalam hal ini sangat penting tumbuhnya pers yang bebas dan bertanggungjawab,” katanya.
Dalam hal ini, ia melihat pers Indonesia menikmati kebebasan yang cukup longgar. Setidak-tidaknya bukan tergolong buruk di kawasan Asia dan dalam deretan negaranegara yang sedang membangun lainnya.
“Tidak jemu-jemunya saya menekankan agar kebebasan yang dimiliki pers itu benar-benar digunakan secara bertanggung-jawab. Warga pers agar terus mengadakan introspeksi atas kelemahan-kelemahannya dan terus berusaha untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilannya,” demikian ditegaskan.
Ketika berbicara tentang kebebasan mengeluarkan pendapat, ia menunjuk pada suara-suara lantang yang akhir-akhir ini ditujukan kepada Pemerintah sebagai
“bukti bahwa demokrasi di negara ini tidak mati”.
Ia mengingatkan kepada mereka yang mendengungkan suara bahwa di negeri ini tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat dan demokrasi bahwa “suara itu dapat mereka dengungkan justru karena kebebasan dan demokrasi tetap tumbuh di sini.”
”Namun apabila suara-suara ini hanya merupakan tabir asap untuk tujuan-tujuan lain yang merusak, maka adalah tugas Pemerintah untuk meneliti dan menertibkannya”.
Presiden menegaskan, demokrasi Indonesia menempatkan kebebasan sama pentingnya dengan tanggung-jawab. Kebebasan tanpa tanggung-jawab sama saja dengan mengundang kekacauan.
“Karena itu adalah kepentingan kita semua apabila lembaga-lembaga perwakilan rakyat dapat berfungsi sebaik-baiknya sebagai saluran terpenting pelaksana demokrasi. Justru karena lembaga-lembaga perwakilan rakyat inilah yang mewakili seluruh rakyat Indonesia”, kata Kepala Negara. (DTS)
Sumber : ANTARA (17/08/1977)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IV (1976-1978), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 364-366.