ANTARA DAERAH MAKMUR DAN KURANG MAKMUR [1]
Jakarta, Merdeka
Presiden Soeharto dalam pidato upacara peresmianjalan raya Balikpapan Samarinda menerangkan pada rakyat bahwa daerah2 yang tingkat sarananya sudah tinggi akan berkembang lebih cepat daripada daerah yang tingkat sarananya masih rendah.
Ungkapan itu justru dikemukakan dalam peresmian sebuah jalan raya modern di Kalimantan bagian timur yang luasnya saja melebihi Jerman Barat, Belgia dan Belanda, tetapi jumlah penduduknya belum sepertiga dari tiga negara Eropa tadi itu. Dapat dimengerti sebagai bahan penelaahan terdapat kondisi nyata bahwa memang di negara kita ada daerah2 yang jauh dari ibukota masih sunyi dari kegiatan pembangunan.
Hal itu kita maklumi sebagai fakta bahwa negara kita tidak terdiri dari Pulau Jawa saja, dan bahwa pembangunan yang harus dilaksanakan tidak bisa hanya dipusatkan di Jawa. Alasannya di Jawa terdapat dua-per-tiga dari penduduk Indonesia. Tidak terdapat alasan2 bahwa pesatnya pembangunan hanya dilakukan di Jawa, karena tingkat sarananya sudah amat tinggi dibanding dengan lain2 pulau besar maupun kecil dinusantara kita.
Kita dapat membenarkan kata2 Presiden Soeharto sebagai Kepala Pemerintahan, bahwasanya daerah yang tingkat kemampuannya sudah tinggi, sekaligus memudahkan membangun proyek2 lain karena sarana2 penting sudah terpenuhi, sudah ada. Apa yang tak ada di pulau Jawa? Mulai dari jalan pedesaan, jalan antar-kota, jalan kereta-api, jalur penerbangan dan seterusnya cukup baik. Sebaliknya, karena kepadatan penduduk dari Jawa, faktor tinggi nilai kemampuan tadi itu, tidak banyak menolong untuk mentrapkan pembangunan yang padat-karya, atau pembangunan2 yang sifatnya “labour incentive”.
Masalah daerah yang sudah makmur dan daerah yang belum makmur, atau daerah yang kemampuannya sudah tinggi dan daerah yang belum tinggi, akan merupakan masalah yang selalu mendapat perhatian justru oleh masyarakat dari daerah2 dimana kemampuannya belum tinggi. Mula2 rencana pembangunan terlampau banyak di ombang-ambingkan oleh partai2 politik, yang kemudian menelorkan pelbagai macam ungkapan rasa tak puas, dan dalam masa yang lalu ada yang menyebabkan pemberontakan2.
Setidaknya telah memudahkan rasa tak puas itu ditunggangi oleh politisi secara subjektip, dalam menghadapi pemerintah pusat. Diantaranya telah terlontar bahwa minyak berasal daerah2 luar Jawa yang terbanyak di export, tetapi mengapa justru devisa banyak dipergunakan untuk aktivitas pemerintah pusat yang berkedudukan di Jawa. Itu masalah dahulu.
‘Walaupun pembangunan sudah berjalan dalam tahap besar kedua dari Rencana Pembangunan Lima Tahun, tentunya masih banyak daerah yang kemudahannya belumlah tinggi, bahkan masih ada daerah2 yang belum tersentuh. Karena demikian luasnya pembangunan itu sehingga tidaklah mungkin semua daerah secara sekaligus bisa menikmati proyek2 pembangunan (sebagai idam2an) dilaksanakan lewat draping dana dari pemerintah pusat.
Bagaimana dapatnya daerah2 yang sarananya rendah ditingkatkan. Pertama lewat pelaksanaan pembuatan highway atau jalan2 lintas Kalimantan, jalan lintas Sulawesi, Halmahera, Irian Jaya dst. Ini sekaligus merupakan proyek2 padat-karya, tetapi juga menelan bermilyar2 rupiah dan ratusan juta dolar untuk itu, kiranya dananya tidak ada. Tinggallah dipergunakan pancingan pada dunia internasional bahwa di daerah2 tertentu terdapat mineral2 penting. Dan karenanya, modal asing akan tertarik dan menuangkan modalnya, membuat jalan2 raya dan lain2 sarana perhubungan. Akhirnya baru pemerintah nanti melaksanakan pembuatan sarana perhubungannya sendiri untuk kepentingan pemerintahan.
Ini terjadi di Kalimantan dimana sesungguhnya kayu2 besar ditebang untuk di export (dan banyak lagi ditebang walaupun tak boleh di ditebang, dan dibiarkan di tengah rimbanya) kemudian barulah menyusul pembuatan jalan raya yang setelah diselesaikan, dan telah diresmikan oleh Kepala Negara.
Jelas perencanaan dari jalan itu sudah puluhan tahun, bahkan sejak zaman kolonial karena perhubungan itu mengandung arti strategis untuk daerah. Masalahnya sekarang ini adalah mengisi dan menghilangkan kehampaan daerah dari kebutuhan sarana-sarana tadi itu, dan untuk itu pemerintah harus dapat merencanakan proyek2 jauh lebih banyak, yaitu proyek2 yang berjenis padat-karya, sehingga sekaligus daerah2 hampa itupun diisi dengan penduduk. (DTS)
Sumber: MERDEKA (22/07/1977)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IV (1976-1978), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 476-477.