PRESIDEN PERINTAHKAN PEMBANGUNAN RUMAH “MURAH YANG LEBIH MURAH” [1]
Jakarta, Antara
Presiden Soeharto memerintahkan Menteri Penertiban Aparatur Negara Sumarlin untuk menjajagi kemungkinan pembangunan rumah yang lebih murah dari jenis rumah murah yang telah dibangun sekarang sehingga sewanya bisa dijangkau oleh rakyat kecil
“Rumah murah yang dibangun sekarang ini belum semuanya bisa dijangkau oleh rakyat”, kata Sumarlin kepada para wartawan setelah ia diterima Presiden Soeharto di Cendana, Selasa pagi.
Akan dipelajari kemungkinan pembangunan rumah yang sewanya dibawah Rp. 2.500 per bulan seperti yang sekarang ini dikenakan bagi rumah type T36, katanya menjelaskan.
Rumah murah yang lebih murah itu pada prinsipnya masih memenuhi prinsip “rumah dan sehat” dimana penyediaan air bersih dan listrik terjamin, ia menambahkan.
Sasaran yang akan dijangkau oleh pembangunan rumah tersebut adalah pedagang kecil, tukang sapu dan orang2 yang selama ini bermukim di sepanjang pinggiran rel kereta api.
Pembangunan rumah tersebut juga dimaksudkan untuk menanggulangi akibat2 urbanisasi.
Sumarlin belum bersedia mengutarakan konsepnya, tetapi dikatakannya bahwa pembangunan rumah tersebut diharapkan akan bisa terwujud mulai tahun depan.
Menurut Sumarlin, yang harus dipikirkan dalam pembangunan rumah murah tersebut & antara lain ialah lokasinya: apakah di dalam kota atau di pinggiran kota. Pertimbangan lokasi ini dipikirkan dengan maksud agar pegawai2 kecil itu masih bisa bekerja di dalam kota.
Ditanya kemungkinan pembangunan flat, Sumarlin menjawab:
“Hal itu masih terlalu mahal, disamping rakyat kita belum terbiasa”.
Tentang pengikutsertaan pengusaha tanah dan bangunan (Real estate) dalam pembangunan rumah tersebut, ia hanya mengatakan:
“Akan dipelajari dulu”.
Korupsi Bukan Kebudayaan
Menteri Sumarlin mengemukakan bahwa stafnya sekarang juga ikut dalam operasi penertiban pungutan liar yang kini dilancarkan di bawah kordinasi Kas Kopkamtib.
Ketika ditanya apakahkorupsi dan pungutan liar sudah membudaya di Indonesia, Sumarlin menjawab:
“Lho kalau kebudayaan itu artinya sesuatu karya manusia yang bisa diapresiasikan, kan begitu itu. Jadi kalau pungutan dan korupsi itu dianggap budaya, kan kita malu”.
“Tapi itu seni lho pak”, seorang wartawan berucap. Mendengar ucapan itu, Sumarlin segera membalas: Tapi kan tidak bisa dinikmati ?”.
“Bisa pak, hasilnya itu”, jawab seorang wartawan tak kalah cepat pula.
“Kita sebagai bangsa malu kalau ada kebudayaan korupsi”, kata Sumarlin menegaskan. Debat mengenai definisi kebudayaan korupsi itu membuat Sumarlin dan para wartawan tertawa ter-bahak2.
Ditanya apakah ia yakin operasi pemberantasan pungutan liar itu akan berhasil, ia menjawab
“harus yakin”.
Dijelaskannya sasaran operasi tertib yang dikordinir Kas Kopkamtib itu adalah penegakkan hukum (law enforcement).
“Sasaran yang kecil2 ya pak ?”,tanya wartawan. “Ya besar, menengah dan kecil”, katanya menjawab.
“Tapi prioritas yang kecil Pak ya ?”, tanya wartawan lagi. Sumarlin menjawab sambil tertawa “Mana yang dijumpai dulu”.
Mengenai keterangan Ketua Team Walisongo, Slamet Danudirjo, beberapa waktu yang lalu, Sumarlin menjelaskan kerja team tersebut ditujukan untuk menghapus pungutan liar dan menertibkan prosedur pelabuhan.
Ketika ditanya apakah Slamet Danudirjo akan di dubeskan karena ucapannya yang mengakui kegagalan team Wali Songo, Sumarlin menjawab:
“Ah, nggak ada”.
Dana Pengganti SPP
Sumarlin menerangkan ia kini masih mengadakan penyelidikan mengenai letak tersangkutnya dana pengganti SPP (Sumbangan Pembangunan Pendidikan).
Untuk itu Sumarlin Selasa siang mengadakan pembicaraan dengan tiga instansi yang bersangkutan dengan penyaluran dana pengganti SPP, yakni Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri dan Departemen P & K.
Sumarlin juga melaporkan perkembangan sidang tiga hari menteri2 ekonomi ASEAN di Singapura mulai hari Senin yang lalu.
Tentang sidang tersebut, ia hanya menerangkan:
“Berjalan cukup lancar”. (DTS)
Sumber: ANTARA (28/06/1977)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IV (1976-1978), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 593-595.