LAKUKAN LANGKAH KONKRIT, JIKA INGIN HUBUNGAN SERASI DENGAN ASEAN
Jika Vietnam masih menginginkan terpeliharanya keserasian hubungan dengan negara-negara ASEAN, hendaknya Vietnam melakukan langkah-langkah lebih konkrit dalam mengatasi soal pengungsi. Demikian penegasan Presiden Soeharto, ketika membuka sidang tahunan para Menlu ASEAN ke-XII di Pertamina Cottage, Kuta, Bali, Kamis kemarin.
Sekaligus Presiden Soeharto meminta masyarakat dunia untuk memberi perhatian dan juga langkah konkrit yang lebih besar. Karena masalah pengungsi ini memang gawat.
“Kita sekarang telah merasa, bahwa implikasi-implikasi keadaan ini dapat berakibat negatif terhadap kestabilan wilayah kita, yang sangat diperlukan dalam usaha-usaha pembangunan yang tengah dilakukan.”
Di hadapan lima Menlu negara ASEAN (RI, Singapura, Malaysia, Muangthai dan Pilipina) serta Wakil PM. Menlu Papua Nugini yang hadir menunjuk perkembangan Asia Tenggara yang dinilainya sebagai “sangat memprihatinkan”, yaitu kemelut bersenjata di Indocina dan arus pengungsi yang membanjir ke negara-negara tetangganya.
Berbuat Banyak
Dikatakan, negara-negara ASEAN sungguh-sungguh mencoba memberi jasa baik untuk penyelesaian kemelut bersenjata di lndocina itu, dengan Pertanyaan Jakarta 9 Januari 1978. Pernyataan Bangkok 12 Januari dan 19 Februari, yang merupakan inti resolusi Dewan Keamanan PBB, ”yang sayang sekali tidak mendapat persetujuan hanya karena adanya hak veto.” (oleh Uni Soviet, red).
Presiden mengatakan, terhadap masalah pengungsi, negara-negara ASEAN malah telah berbuat lebih banyak lagi. Bukan hanya lewat jasa-jasa baik, tapi ikut menanganinya secara konkrit. Memberi penampungan sementara dan menyediakan tempat untuk pusat pemrosesan dalam menuju ke pemukiman di negara-negara lain, bekerjasama dengan UNHCR.
Tapi Presiden menunjuk, bahwa akhir-akhir ini ternyata arus pengungsi demikian meningkatnya, “sehingga kita merasa tidak mampu lagi untuk memikul bebannya.” Dikatakan, negara-negara ASEAN telah mengulurkan tangan perikemanusiaan bagi ratusan ribu orang lanjut usia, laki-laki dan wanita, remaja dan anak-anak, bahkan bayi-bayi tanpa dosa. Semua itu demi sesama manusia dan kemanusiaan yang mungkin dan terpikul pundak kita.
“Tapi adalah adil, bahwa uluran tangan tadi terpaksa harus kita hentikan, jika akhirnya tidak mungkin lagi kita pikul, sehingga memberatkan rakyat kita dan ketenteramannya,” demikian Presiden Soeharto.
Tagih Vietnam
Seraya menunjukkan bahwa keadaan itu kini dapat berakibat negatif terhadap kestabilan wilayah ASEAN, Presiden mengingatkan bahwa dalam pertemuan Jakarta 14-15 Mei yang lalu, Pemerintah Vietnam sendiripun telah menyatakan kesediaan untuk bekerjasama mencari penyelesaian yang baik mengatasi masalah pengungsi.
“Kepada Pemerintah Vietnam, saya harapkan agar dapat mengambil langkahlangkah lebih konkrit seperti apa yang pemah dinyatakan bulan lalu diperlukan, demi terpeliharanya keserasian hubungan antara negara-negara ASEAN dengan Vietnam!” demikian Presiden Soeharto.
“ASEAN kini sedang melintas lorong gelap dalam hidupnya,” demikian Romulo.
Pertama karena bahaya limpahan konflik Vietnam – Kamboja, kedua masalah pengungsi Indocina. Masalah pertama adalah soal mempertahankan kedamaian. Berarti juga, kedamaian suatu anggota ASEAN tergantung pada kelangsungan stabilitas ASEAN sebagai keseluruhan, kata Romulo,
“Filipina tidak bisa dan tidak akan kebal (insensitive) terhadap apapun yang terjadi di suatu negara ASEAN lainnya”
Mengenai soal pengungsi, Romulo menunjuk dimensi politiknya yang semakin menonjol. Pengungsi Indocina bukan masalah regional saja, kata Romulo. Filipina mendukung gagasan konperensi pengungsi internasional, yang hendaknya jadi arena untuk secara sopan menolak tanggungjawab.
”Vietnam harus mengakui bagian tanggungjawabnya atas tragedi manusia ini,”kata Romulo, “dan karena itu menjalankan kewajibannya sebagai keluarga bangsabangsa.”
Romulo kemudian menyebutkan kedurjanaan (holocaust) kamar gas Auschwitz dan Buchenwald adalah warisan tidak berperi-kemanusiaan kepada manusia, yang akan selalu tercetak selama sejarah peradaban berlangsung.
“Siapa nyana empat dekade kemudian, suatu ketidak manusiawian yang sama besar dan sama rendahnya, terjadi lagi di tengah kehidupan kita? !” seru Romulo.
Rithauddeen: Sumbernya di Kamboja
Terlebih dulu Menlu Malaysia Tengku Ahmad Rithauddeen menyatakan puas atas kemajuan ASEAN, serta semakin kuatnya kesatuan antara anggotanya dalam menghadapi tantangan dan pelbagai masalah. Dasar ASEAN telah kokoh, karena itu kita bisa lebih baik menjawab tantangan akibat situasi Indocina, tanpa harus mengorbankan prinsip kita, katanya.
Rithauddeen mengakui, ketegangan dan konflik Indocina terus jadi faktor destabilises di Asia Tenggara yang menghambat ASEAN. Dan adalah penting ASEAN dalam menghadapinya, tetap konsisten dengan prinsip Deklarasi Menlu ASEAN di Bangkok Januari 1979 maupun yang kemudian.
Sumber ketidakstabilan di lndocina terletak pada intervensi bersenjata Vietnam di Kamboja, katanya.
“Hanya Kamboja yang netral dan bebas dengan hak menentukan nasib sendiri, rakyatnya bisa menciptakan kondisi cocok untuk mewujudkan tujuan ZOPFAN!” Karena itu, Menlu Malaysia menyatakan penyelesaian politik soal Kamboja atas dasar Zopfan akan memudahkan penerimaan konsep Zopfan oleh semua negara-negara besar.
Tentang soal pengungsi lndocina, Rithauddeen menunjuk, sumber masalahnya adalah Vietnam. Karena itu penting sekali masyarakat dunia mengakui dan mendesak Vietnam sebagai sumber masalah, harus paling utama menanggung tanggungjawab dan memainkan peranan menentukan dalam penyelesaian masalah ini.
Upadit: Tarik Dari Perbatasan
Dengan nada yang tetap lunak seperti yang sudah, Menlu Muangthai Upadit Parhariyangkun menekankan pada situasi di Kamboja maupun pengungsi Indocina.
Setelah mengeluhkan memburuknya situasi Indocina, serta kemungkinan menjalarnya perang ke kawasan ASEAN. Upadit menggarisbawahi beban yang harus dipikulnya mengurus lebih 200.000 pengungsi, maupun adanya 10 divisi pasukan Vietnam-Heng Samrin di Kamboja.
“Berapapun besar tantangan, kami bertekad membela keutuhan kedaulatan maupun wilayah kami,” kata Upadit. “Tapi kami juga tetap netral penuh, dan tidak melibatkan diri dalam konflik di Indocina.”
Ia lalu bersyukur atasj aminan dari rekan di ASEAN yang akan membantunya pada saat diperlukan. Tapi kemudian terdengar nada “tidak mau ribut”, dengan mengetengahkan lagi janji PM Vietnam Pham Van Dong, baik langsung maupun melalui fihak ketiga.
“Kami menyambut baik jaminan dan janji itu,” katanya. “Tapi kami akan sangat gembira kalau Vietnam menunjukkan sikap positif terhadap Muangthai dengan menarik pasukannya dari daerah perbatasan Thai-Kamboja.”
Pernyataan Upadit itu berbeda jauh dengan sikap bersama. ASEAN bulan Januari 1979, yang menyerukan penarikan mundur semua pasukan asing dari wilayah Kamboja. Mengenai pengungsi, Upadit meminta perhatian terhadap pelarian dan imigran-gelap di Muangthai yang masuk melalui daratan. Ia menekankan, bahwa masalah manusia daratan ini juga memerlukan pemecahan tuntas pada sumbernya, yaitu Kamboja.
Ia lalu mengajukan usul pemecahan tiga pasal. Pertama, penghentian segera permusuhan di Indocina, disusul penarikan semua pasukan asing dari situ, hingga memungkinkan penduduknya menentukan nasibnya sendiri. (lni sesuai dengan pernyataan ASEAN di Bangkok Januari 1979, tapi berlawanan dengan ucapan Upadit tadi. Red).
Kedua, menegakkan hak-azasi manusia secara umum serta melindungi kelompok-kelompok minoritas di setiap negara Indocina.
Ketiga, setelah kedua tahap pertama tadi selesai, lebih banyak bantuan internasional disalurkan ke ketiga negara tadi.
Mochtar: Ragukan Program 7 – Pasal
Sebagai ketua Konperensi dan juga ketua komite tetap, pidato Menlu Mochtar Kusumaatmadja “sederhana saja” dan lebih banyak bersifat laporan singkat.
Mengenai masalah membanjirnya pengungsi Indocina, Mochtar menekankan soal itu harus dilihat tidak saja dari sudut kemanusiaan, tetapi juga aspek-aspek politik, ekonomi dan keamanan.
Ia lalu mengemukakan upaya penyelesaian terbatas dari Indonesia dengan mengajukan konsep pusat pemrosesan pengungsi di Pulau Galang, sambil menunjuk sumbangan serupa dari Filipina dengan memberikan Pulau Tara.
Menlu Mochtar juga menyatakan, penyelesaian secara efektif adalah dengan mencari penyelesaian pada sumbernya.
“Vietnam harus dibuat mengakui tanggungjawabnya,” kata Mochtar.
Ia kemudian melaporkan, dalam pembicaraan dengan pihak Vietnam di Jakarta awal pekan ini, Indonesia mencatat adanya Program 7-pasal yang disetujui RSV dan UNHCR.
Indonesia berharap program itu tidak berakibat merugikan kecepatan resettlement pengungsi yang ada di negara-negara ASEAN.
“Kami juga tidak percaya kesepakatan pengaturan antara UNHCR dan RSV itu dengan sendirinya akan menyetop aliran keluar pelarian dari Vietnam,” kata Mochtar.
Ia mengemukakan dukungan Indonesia terhadap gagasan Inggeris, agar PBB menyelenggarakan konperensi internasional soal pengungsi. (DTS)
…
Denpasar, Kompas
Sumber: KOMPAS (29/06/1979)
—