PERINTAH PRESIDEN SOEHARTO AREAL HPH YANG TERLANJUR BERADA DI HUTAN LINDUNG SEGERA DIPINDAHKAN

PERINTAH PRESIDEN SOEHARTO AREAL HPH YANG TERLANJUR BERADA DI HUTAN LINDUNG SEGERA DIPINDAHKAN

Presiden Soeharto memerintahkan agar areal HPH (Hak Pengusahaan Rutan) yang sudah terlanjur berada di daerah hutan lindung agar segera dipindahkan, demikian Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Emil Salim selesai menghadap Presiden Soeharto di Binagraha Rabu pagi bersama Menteri Pertanian Sudarsono.

Di samping itu digariskan pula apabila di dalam hutan lindung terdapat daerah pemukiman penduduk, penduduknya akan dimukimkan ke daerah baru yang dibuka diluar hutan lindung tsb.

Kepada Kepala Negara kedua pejabat itu melaporkan usaha dalam peningkatan pengelolaan hutan, mempertahankan peranan hutan sebagai penghambat erosi serta peningkatan kesuburan tanah dan juga usaha yang diarahkan untuk peningkatan mutu pengusahaan hutan.

Peningkatan Mutu

Yang dimaksud dengan peningkatan mutu pengusahaan hutan, menurut Menteri Pertanian mencakup empat hal. Artinya, peningkatan mutu dari pengusahaannya yaitu di mana pengusaha diwajibkan melaksanakan dengan sungguh2 kewajiban2 yang sudah digariskan pemerintah, peningkatan mutu dari hasil hutan, peningkatan mutu hutan itu sendiri serta peningkatan mutu hutan sebagai sumber pencaharian.

Menurut Sudarsono, dari 122 juta Ha hutan yang ada, sepertiga bagian ditentukan sebagai hutan lindung, sepertiga hutan produksi dan sepertiga lagi sebagai taman pelestarian alam dan hutan cadangan.

Menurut Emil perbandingan pengusahaan hutan seperti itu cukup bertanggung jawab. Hal ini dapat menjamin kelestarian hutan di Indonesia, katanya.

Tata Guna Hutan

Menteri Pertanian menambahkan sebagai dasar dalam pengelolaan hutan akan digunakan Tata Guna Hutan yang merupakan bagian dari Tata Guna Tanah. Namun diakui, penyusunan Tata Guna Hutan ini akan memakan waktu cukup lama yang diperkirakannya baru akan sempurna pada Pelita V. Padahal, demikian tambahnya, Tata Guna Hutan dewasa ini sudah sangat diperlukan.

Untuk mengisi kekosongan ini, sekarang sedang disiapkan apa yang dinamakan Tata Guna Rutan. Kesepakatan yang diharapkan akan selesai disusun akhir tahun. 1979.

Yang dimaksud dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan adalah pendataan hutan2 bersama instansi lainnya, terutama dengan pemerintah daerah dan rakyat setempat.

Hal ini untuk mencegah tetjadinya keributan kasus tanah maupun hutan seperti masa2 yang lalu. Pendataan ini baru selesai di 2 propinsi yaitu Lampung dan Bengkulu. Diharapkan dalam tahun 1980 seluruh propinsi di luar Jawa sudah terselesaikan.

Menteri Sudarsono mengemukakan juga, dari 122 juta Ha hutan yang ada 97 juta Ha hutan dipakai untuk hutan lindung (47juta Ha). 47 juta Ha hutan Produksi dan 10 juta Ha sebagai Pengaman Perlindungan Alam (PPA), 25 juta Hahutan cadangan, 7 juta Ha sebagai Taman Pelestarian Alam (TPA). Di pulau Jawa sendiri sekitar 5 juta Ha areal yang akan direboisasi dan dihutankan kembali.

Emil menambahkan, hutan di samping sebagai penghasil (mempunyai nilai ekonomi) juga harus diperhatikan masalah yang berkaitan dengan kelestarian alam. (DTS)

Jakarta, Sinar Harapan

Sumber: SINAR HARAPAN (22/08/1979)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 460-462.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.