“ZINDABAD! ZINDABAD! ZINDABAD!”

Dari Kunjungan Presiden ke Pakistan dan India (1):

"ZINDABAD! ZINDABAD! ZINDABAD!"

Oleh: Threes Nio

"ZINDABAD" artinya "Hidup" Hidup! Hidup Presiden Soeharto! Hidup persahabatan Indonesia-Pakistan Hidup solidaritas rakyat Islam! Demikian Pakistan menyambut kedatangan Presiden Soeharto di negara itu Di Karachi, di Islamabad, di Lahore.

Di setiap tempat yang dikunjungi Kepala Negara terdengar seruan "Zindabad !”,terpancang spanduk-spanduk dengan ucapan selamat datang. Memang bukan cara penyambutan ala Bung Karno atau Pangeran Norodom Sihanouk, dengan ratusan ribu massa rakyat yang dikerahkan dan dijemur di sepanjang jalan. Bukan. Sambutan di Pakistan jauh, jauh lebih sederhana daripada itu. Sekalipun demikian terasa benar kehangatannya.

Sebab utama yang membuat suasana penyambutan itu terasa hangat dan akrab adalah sikap tuan rumah terhadap tamunya. Selama Presiden Soeharto berada di Pakistan, Presiden dan Begum Zia-ul-Haq praktis berada terus di sisi Kepala dan Ibu Negara.

Apakah itu acara jamuan makan malam kenegaraan, acara ziarah ke makam Bapak Pakistan Ali Jinnah, ataukah acara meninjau Bendungan Tarbela, Jenderal dan Begum Zia selalu mendampingi.

Apakah Presiden Soeharto berkunjung ke Lahore, atau ke Islamabad, atau ke Karachi, Jenderal dan Begum Zia selalu ikut serta mengantar. Sekalipun Begum yang berperawakan gemuk itu kadang-kadang sudah nampak lelah sekali.

Bahkan penyambutan terhadap Presiden Soeharto itu menyimpang dari kebiasaan. Presiden dan rombongan tidak disambut di ibukota Islamabad yang kecil dan "tidak punya apa-apa", melainkan di kota Lahore. Ini adalah untuk pertama kalinya seorang Kepala Negara yang mengadakan kunjungan kenegaraan memasuki Pakistan lewat Lahore. Dan hal tersebut bukannya tidak menimbulkan banyak kesulitan. Misalnya saja para duta besar negara-negara asing yang jumlahnya sekitar 50 orang itu, terpaksa harus beriring-iringan mengendarai mobil mereka, menempuh jarak Islamabad-Lahore selama 4 jam lebih.

Kepada pers setempat, Jenderal Zia menerangkan bahwa ia ingin menyatakan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada tamunya dari Indonesia. Lahore, yang merupakan ibukota Propinsi Punjab, adalah kota yang sangat penting dan besar sekali artinya bagi Pakistan.

Kota bersejarah yang juga merupakan pusat kebudayaan Pakistan dianggap sebagai "hati" negara tersebut. Dengan memasuki Lahore, Presiden Soeharto diterima di dalam hati rakyat Pakistan.

Tidak hanya itu saja. Dalam sambutannya pada upacara peninjauan ke Pusat Nuklir Pembangkit Tenaga Listrik di Karachi, Jenderal Zia-ul-Haq mengatakan bahwa sebagai tanda persahabatan, ia menyediakan semua teknologi yang dimiliki Pakistan kepada Indonesia.

Presiden Soeharto sebelumnya belum pernah bertemu muka dengan Jenderal Zia-ul-Haq. Dan pada awal kunjungan, pihak Indonesia sebenarnya tidak mengharapkan suatu hasil yang istimewa dari kunjungan ini. Kecuali sebagai sesama negara berkembang, sesama anggota Kelompok-77 dan Organisasi Konperensi Islam, Pakistan tidak terlalu penting artinya bagi Indonesia. Paling tidak kalah penting jika dibandingkan dengap India. Dalam bidang politik, hubungan antara kedua negara tidak mempunyai masalah. Di bidang ekonomi, kedua negarakurang mengenal potensi masing-masing.

Memang antara kedua negara itu terdapat wadah kerjasarna dalam bentuk IPECC (Indonesia-Pakistan Economic and Cultural Cooperation-Kerjasama Ekonomi dan Kebudayaan Indonesia-Pakistan). Akan tetapi dari pihak Indonesia, IPECC tidak pemah dianggap penting. ("Apa sih yang dapat kita peroleh dari Pakistan?").

Sebaliknya dari pihak Pakistan sendiri, maksud pembentukan IPECC semula adalah karena alasan politik. Pada waktu IPECC didirikan (1965), Pakistan masih terdiri dari dua bagian Pakistan Barat dan Pakistan Timur (yang sekarang menjadi Bangladesh). Karena pada waktu itu diadakan kerjasama regional di bidang pembangunan dengan Iran dan Turki (Regional Cooperation for Development) maka untuk mengimbanginya, Pakistan menganggap perlu untuk mengadakan ketjasama dengan salah satu negara Asia Tenggara.

Oleh karena itu kunjungan Presiden Soeharto ke Pakistan terutama hanya dimaksudkan sebagai kunjungan muhibah. Kecuali sebagai kunjungan balasan, kunjungan tersebut menurut Presiden sendiri, adalah untuk "meningkatkan tali persahabatan dan persaudaraan". Sikap Presiden pun semula biasa saja. Pada waktu keluar dan menuruni tangga pesawat di Lahore, Presiden Soeharto bersikap serius (Nyonya Tien Soeharto seperti biasa tersenyum). Bahkan dari bawah nampak sangat serius, tanpa senyum sedikitpun di bibir.

Namun sambutan hangat yang diterimanya cepat menimbulkan senyumnya. Begitu turun dari tangga pesawat, Jenderal Zia segera merangkulnya dengan mesra. Senyum Presiden bertambah Iebar ketika Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Pakistan, Peyra, menyambutnya dalam bahasa Indonesia yang fasih: ”Selamat datang, Tuan Presiden!"

Pada waktu diadakan acara penyambutan masyarakat Lahore di kebun Mughal, beberapa jam setelah mendarat, Presiden Soeharto sudah nampak lebih santai. Akan tetapi yang membuat hubungan menjadi akrab, rupa-rupanya adalah burung gagak.

Di kebun Mughal itu banyak terdapat burung gagak yang berterbangan mengeluarkan suara. Presiden Soeharto pada suatu saat nampak memberikan komentar mengenai burung-burung itu. Entah apajawab Jenderal Zia. Yang jelas setelah acara di kebun Mughal itu suasana kaku atau "belum saling mengenal” antara kedua Kepala Negara itu nampak hilang sama sekali.

PRESIDEN Soeharto rupa-rupanya sangat terkesan oleh sambutan yang diterimanya. Meminjam kata-kata seorang pejabat, Presiden "benar-benar termakan" oleh suasana sambutan yang ramah dan hangat itu.

Pada malam itu misalnya, kepada Presiden Soeharto ditanyakan apakah Presiden

berkenan untuk meninjau kamp pengungsi Afghanistan? Dan Presiden Soeharto segera menjawab: ”Ya”.Langsung diputuskan malam itu juga, setelah jamuan makan malam. Dan dilaksanakan keesokan harinya. Padahal di dalam acara resmi, yang telah dirundingkan dan diatur oleh protokol kedua negara selama berminggu-minggu, sama sekali tidak dicantumkan acara untuk meninjau kamp pengungsi Afghanistan!

Suatu hal lain yang menunjukkan bahwa Kepala Negara "berkenan" ialah kunjungannya ke KANUPP, yaitu sebuah pusat nuklir yang digunakan untuk membangkitkan tenaga listrik yang terletak di dekat Karachi.

Memang, Presiden Soeharto selama kunjungan selalu menunjukkan perhatian yang sangat besar kepada proyek-proyek pembangunan semacam ini. Namun di KANUPP ia nampaknya sangat terkesan, sehingga tinggal di situ lebih lama dari pada rencana semula.

Menanggapi tawaran Jenderal Zia yang mengatakan bahwa semua tehnologi yang dimiliki Pakistan tersedia bagi Indonesia, Presiden Soeharto segera menjawab bahwa Indonesia dalam melaksanakan rencananya untuk membangun pusat nuklir tahun depan, tidak perlu melihat ke negara Barat atau Timur. Melainkan dapat memanfaatkan pengalaman serta keahlian yang telah diperoleh Pakistan.

Akan tetapi, yang paling mengejutkan para pejabat tinggi RI, ialah tawaran Presiden Soeharto di dalam pembicaraan resmi antara RI dan Pakistan, untuk mendayagunakan wadah kerjasama IPECC. Menurut beberapa pejabat, hal ini tidak diduga semula. Memang RI selalu bersedia, bahkan membuka pintu lebar-lebar untuk meningkatkan kerjasama dengan Pakistan. Akan tetapi di samping itu, pihak Indonesia juga sangat hati-hati untuk memberikan komitmen begitu saja.

Presiden Zia-ul-Haq memang mendapat kesempatan yang banyak sekali untuk mengadakan pembicaraan dari hati ke hati dengan Presiden Soeharto. Dan kesempatan itu memang dimanfaatkannya. Pembicaraan resmi di bawah empat mata antara kedua Kepala Negara itu hanya berlangsung sekitar 30 menit saja. Namun di luar pembicaraan resmi, kedua Kepala Negara juga nampak banyak "berbicara", misalnya dalam perjalanan pesawat antara Lahore-Islamabad- Karachi. Belum lagi pada waktu bersama-sama naik satu mobil, menuju acara-acara.

Oleh karena itu, pada waktu diadakan pembicaraan resmi antara pihak RI dan pihak Pakistan, nampaknya di antara kedua Kepala Negara itu telah terdapat "under­ standing". Dan pembicaraan resmi itu sedikit banyak hanya menjadi formalitas saja. Presiden Zia membuka pertemuan.

Presiden Soeharto memberikan pendapatnya mengenai berbagai hal, antara lain bagaimana RI melaksanakan konsep ketahanan nasional, bagaimana kerjasama antara RI dan Pakistan dapat ditingkatkan melalui IPECC, dan lain-lain. Sementara itu para Menteri kedua belah pihak beserta staf tidak hanya ikut bicara.

Pakistan akhir-akhir ini memang nampak berminat untuk meningkatkan kerjasamanya dengan Indonesia. Baik di bidang ekonomi maupun di bidang lain.

Oleh karena itu tawaran Presiden Soeharto untuk memanfaatkan IPECC guna meningkatkan kerjasama antara kedua pihak, langsung disambut oleh Jenderal Zia dengan mengatakan bahwa Pakistan dalam waktu dekat akan mengirimkan sebuah misi ke Indonesia, dalam rangka persiapan konperensi IPECC tahun depan di Pakistan.

Jika antara kedua Kepala Negara itu selama kunjungan terjalin hubungan yang akrab, tidak demikianlah halnya dengan para Menteri. Hubungan antara para Menteri kedua belah pihak, menurut sumber-sumber yang mengetahui, nampak sangat kaku. Nampaknya di antara mereka tidak banyak terdapat kesempatan untuk saling mengenal selama acara-acara yang sangat padat itu.

BAGI Jenderal Zia-ul-Haq, kunjungan Presiden Soeharto ke Pakistan ini sangat penting artinya. Terutama dalam rangka memperbaiki atau meningkatkan kredibilitas dan citranya. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Karena Jenderal Zia khususnya dan rakyat Pakistan pada umumnya, menganggap Indonesia sebagai negara Islam terbesar di dunia.

Hal ini nampak jelas sekali dari sambutan-sambutan Presiden Zia sendiri, maupun dari spanduk-spanduk yang terpancang di jalan-jalan. Tekanan semuanya diletakkan pada "solidaritas negara Islam" dan "solidaritas rakyat Islam".

Menanggapi suasana yang demikian, pihak RI nampak sangat hati-hati. Presiden Soeharto dalam sambutan­sambutannya memang beberapa kali menyebutkan bahwa sebagai "sesama umat Islam, kita adalah saudara". Namun di luar itu, Presiden-pun nampak hati-hati, untuk tidak memberikan kesan memberikan komitmen tertentu. ”Karena kita memang bukan negara Islam (Moslem State)," kata seorang pejabat.

DILIHAT secara keseluruhan, kunjungan kenegaraan ke Pakistan ini dapat dikatakan berhasil. Sebagai kunjungan muhibah yang tujuannya meningkatkan tali persahabatan dan persaudaraan, kunjungan ini berhasil menciptakan suasana yang akrab antara kedua Kepala Negara. Suatu hal yang penting sekali untuk meningkatkan kerjasama yang lebih baik.

Kecuali itu, kunjungan Presiden Soehartojuga memberi kesempatan untuk saling mengenal. Baik mengenai masalah-masalah yang dihadapi oleh kedua negara diwilayahnya .masing-masing, maupun mengenai program pembangunan serta potensi masing-masing.

Dalam hubungan ini,ada beberapa hasil konkrit yang dapat kita peroleh di bidang kerjasama tehnik. Misalnya saja, dalam waktu yang akan datang akan diadakan pertemuan antara ahli-ahli kedua negara untuk merumuskan kerjasama tehnik dibidang pengembangan tanaman kapas serta pembangunan pusat nuklir untuk membangkitkan tenaga listrik. (DTS)

Jakarta, Kompas

Sumber: KOMPAS (06/12/1980)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 684-688.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.