KESAN2 MENGIKUTI KUNJUNGAN PRESIDEN KE PAKISTAN INDIA (l)
Andaikata India dan Pakistan tetap satu…..
Laporan: Sjamsul Basri
“APAKAH tuan-tuan capek?”. Pertanyaan itu dilontarkan Presiden Pakistan Zia ul-Hag kepada kami, lima wartawan Indonesia yang ikut dalam rombongan Presiden Soeharto, ketika mengadakan wawancara khusus di kediaman orang kuat Pakistan itu di Rawalpindi, pada hari kedua kunjungan kenegaraan Presiden Soeharto tanggal 28 Nopember 1 Desember lalu.
Pertanyaan itu cukup beralasan. Sebab sejak menginjakkan kaki di lapangan terbang Lahore kurang lebih jam 14.30 waktu setempat di hari pertama kunjungan kenegaraan, Presiden dan Ibu Tien Soeharto beserta rombongan memang mempunyai acara yang padat. Sore dan malam hari pertama itu juga Presiden Soeharto beserta rombongan harus menghadiri dua acara.
Satu setengah jam setelah kedatangan, menghadiri “civic reception” atau acara sambutan oleh Walikota Lahore Mian Shujaur Rahman beserta pemimpin-pemimpin terkemuka kota itu bertempat di Tanian Mughal (Muphal Garden). Kemudian pada malam harinya, resepsi kenegaraan yang diadakan Presiden Zia-ul-Haq untuk menghormati Presiden Soeharto di Shish Mahal, Benteng Lahore.
Sambutan masyarakat kota Lahore mulai dari lapangan terbang, sampai ke resepsi di Taman Mughal dan resepsi kenegaraan di Benteng Lahore memang menggambarkan kehangatan sambutan tuan rumah atas kunjungan Presiden Soeharto.
“Kita ingin kunjungan Presiden Soeharto mulai di Lahore,” kata Presiden Zia kepada pers Pakistan sebelum kedatangan rombongan. “Sebab sambutan di Lahore yang merupakan tempat penting di samping kota historis, menandai rasa hormat kita kepada tamu terhormat itu,” kata Presiden Zia.
Memang selama kunjungan di Pakistan, Presiden Zia selalu mendampingi Presiden Soeharto sekali pun ada Menteri pendamping.
Jam 9.30 di pagi hari kedua kunjungan, pesawat Boeing 720 PIA (Pakistan International Airways) membawa rombongan beserta tuan rumah, termasuk Presiden dan Nyonya Zia yang juga selalu mendampingi Ibu Tien Soeharto, ke Islambad, ibukota Pakistan.
Orang Pakistan menamakan Islamabad “Kota perdamaian”. Sejarah kelahiran kota ini sebagai ibukota sementara pecahan dari India Karachi dianggap sebagai ibukota sementara. Di awal tahun 1959 dibentuk Komisi 8 orang untuk mempelajari
kemungkinan dibangun atau ditunjukkan ibukota Pakistan yang permanen. Tugas komisi, meinpelajari dan mempertimbangkan tepat tidaknya Karachi dijadikan ibukota tetap kalau Karachi temyata tidak tepat, komisi diminta mengusulkan suatu tempat lain untuk dijadikan ibukota.
Hasil komisi inilah yang kemudian melahirkan Islamabad di sebuah daerah dekat Rawalpindi yang bukan saja mempunyai hawa sejuk, banyak sumber air dan kaya panorama alam, juga merupakan dataran tinggi yang amat, strategi terletak di kaki gunung Murrce di Pegunungan Himalaya
Kota yang dibangun sejak pertama diletakkan 17 tahun lalu itu memang tampak berkembang terus, kantor-kantor pusat pemerintahan Pakistan berada di kota itu. Juga kantor-kantor perwakilan asing. Tapi Presiden Zia UI Hag masih tetap tinggal di Rawalpindi tidak begitu jauh dari markas CMLA (Chief Martial Law Administration) atau kepala Pemerintahan dalam keadaan darurat.
SETELAH penerbangan Lahore Rawa pindi kurang lebih setengah jam, kedua Presiden mengadakan pembicaraan empat mata di markas besar CMLA. Di ruangan dimana pembicaraan empatmata berlangsung, menunggu masing-masing delegasi yang akan melanjutkan dan mengisi pembicaraan empat mata itu dengan pembicaraan yang lebih terperinci dan terarah. Dari pihak Indonesia pembicaraan selanjutnya di bidang politik dipimpin Menteri Luar negeri Mochtar Kusumaatmadja dan di bidang ekonomi dipimpin Menteri Ekuin Widjojo Nitisastro.
Sedang di pihak Pakistan masing-masing dipimpin Menteri Luar negeri Agha Shahi dan Menteri Keuangan, Perencanaan dan Kordinasi, Ghulam Eshaq Khan. Pembicaraan antara lain menyangkut hubungan bilateral kedua negara, masalah regional dan internasional. Oleh karena pembicaraan lebih banyak menyangkut masalah prinsip yang secara teknis akan didalami oleh para ahli masing-masing, maka pembicaraan berjalan lancar.
Dalam waktu kurang lebih dua jam, pembicaraan resmi selesai termasuk pembicaraan empat mata Soeharto-Zia-ul-Haq yang kemudian disusul dengan kunjungan ke bendungan Tarbela, kurang lebih 75 KM Barat-Laut Islamabad.
Bendungan Tarbela merupakan proyek serba guna. Namun kelahirannya tampaknya juga mempunyai aspek politis sebagai akibat pembagian India yang sewaktu penjajahan Inggris merupakan satu negara, menjadi India dan Pakistan setelah kemerdekaan di tahun 1947.
Sepanjang sejarah umat manusia, sungai memang memegang peranan penting. Dari masa ke masa, sepanjang lembah yang dilaluinya lahir dan mekar tempat-tempat pemukiman, mulai dari dusun sampai kota-kota kecil dan besar yang langsung memperoleh manfaat dari sungai yang dengan setia mengalirkan airnya dari hulu ke muara.
Bagi rakyat di anak benua India, sungai Indus yang dikenal sebagai The Abbasin (Ayah sungai-sungai) mempunyai kedudukan tersendiri dalam kehidupan mereka. Karena itu pula sejak terjadinya pemisahan Pakistan dari India, tampaknya sungai Indus yg tadinya dianggap sebagai sumber kesejahteraan, justru berubah menjadi salah satu sumber sengketa. Kedua negara saling membutuhkan airnya, hingga tidak jarang benturan kepentingan untuk pengairan menimbulkan ketegangan.
Dalam rangka pemecahan masalah yang menahun itulah dibangun bendungan Tarbela dengan bantuan Bank Dunia. Dengan menggunakan jasa baik Bank Dunia di tahun 1960 sengketa penggunaan air sungai Indus yang terdiri dari sungai Sutlej, Bcas dan Ravi itu berhasil diselesaikan melalui Indus Waters Treaty 1960.Dan Bank Dunia menerima rencana Bendungan Tarbela yang kapasitas penampungan airnya kurang lebih tiga kali bendungan Jatiluhur dengan empat generator pembangkit tenaga listrik masing-masing berkapasitas 175 MW.
Bendungan Tarbela dibangun dan dikelola oleh WAPDA (Water and Power Development Authority) Pakistan atau Otoritas Pembangunan Air dan Tenaga Pakistan.
BICARA tentang Pakistan sebagai negara pertama yang dikunjungi Presiden Soeharto dan rombongan dalam lawatan muhibah ini yang kemudian disusul dengan kunjungan ke India, agaknya akan sulit mendapat gambaran yang cukup tentang posisi negara itu tanpa menyinggung hubungannya dengan India. Setelah perang yang akhirnya memisahkan Pakistan Barat dan Timur yang kemudian melahirkan Bangladesh, hubungan Pakistan-India dapat dikatakan berkembang baik dan cukup bersahabat. Bahkan dengan terpilihnya kembali Indira Gandhi sebagai Perdana Menteri India, Januari 1980, Presiden Zia-ul-Haq mengucapkan selamat penuh kehangatan. Terimalah salam hangat saya, kata Presiden Zia, untuk kesehatan dan kebahagiaan anda dan untuk kemajuan dan kemakmuran rakyat India.
Dengan latar belakang sejarah yang demikian itulah sebenarnya posisi rombongan Presiden Indonesia sebagai tamu kedua negara cukup rumit. Dalam arti, bisa menimbulkan kesan yang mengurangi rasa persahabatan di masing-masing pihak tuan rumah bila tamu “keliru menempatkan diri”.
Sebegitu jauh saya tidak memonitor kesan-kesan yang kurang menyenangkan itu, baik dari pihak Pakistan maupun India, sekali pun dalam langgam dan acara penerimaan memang terlihat perbedaan. Namun semua itu tampaknya disesuaikan dengan sikap dan kepribadian masing-masing bangsa yang sedikit banyak mempunyai perbedaan, seperti juga tercermin dalam pandangan dan pelaksanaan politik luar negerinya sesuai dengan kepentingan nasional masing-masing negara.
Kedua negara memang menjadi anggota gerakan non blok. Namun politik luar negerinya masing-masing mempunyai ciri dan tekanan yang sedikit banyak berbeda.
Letak geo-politis dan geostrategis Pakistan rnisalnya, tampaknya mengharuskan negara itu menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Republik Rakyat Cina sebagai akibat dari kemungkinan bahaya dari Rusia.
Dengan meletusnya sengketa Afganistan, kemungkinan itu tampaknya makin mendekati kenyataan. Bahkan sebanyak hampir satu setengah juta pengungsi Afganistan kini terpaksa menjadi beban Pakistan karena campur tangan militer Rusia di negara yang langsung berbatasan dengan Pakistan itu. Untuk menampung pengungsi, kabarnya Pakistan harus mengeluarkan biaya tidak kurang dari US$ 5 juta tiap hari.
Sebaliknya letak geo-politis dan geo-strategis India tampaknya mengharuskan pula negara itu lebih berbaikan dengan Rusia. Karena sengketa perbatasan yang sering terjadi dengan RRC dengan pelbagai kemungkinannya menyebabkan negara itu menjalin hubungan yang cukup erat dengan lawan RRC.
Situasi yang sebenarnya mungkin tidak sesederhana seperti yang digambarkan secara sepintas. Namun di antara kedua negara yang berasal dari satu sumber, sedikit banyak tercerrnin perbedaan sikap dan pandangan yang mungkin lahir dari faktor-faktor obyektif.
Tapi andai kata tidak terjadi perpisahan dan India dan Pakistan tetap merupakan satu negara, perkembangan di Asia khususnya dibagian Asia diluar RRC bukan mustahil akan lain dari sekarang. Sebab dengan wilayahnya yang hampir sama dengan RRC serta penduduknya sekitar 500 juta jiwa, India dan Pakistan yang satu agaknya akan mampu berperan jauh lebih menentukan dari apa yang bisa dilakukan masingmasing sekarang ini.
Selanjutnya dengan posisi dan potensi yang demikian itu, sebuah negara besar yang bersatu di anak benua India, akan dapat memainkan peranan yang lebih besar dalam menentukan hari depan Asia. (DTS)
…
Pakistan, Suara Karya
Sumber: SUARA KARYA (10/12/1980)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 703-706.