TAJ MAHAL, MONUMEN CINTA ABADI

TAJ MAHAL, MONUMEN CINTA ABADI

Kesan2 Mengikuti Kunjungan Presiden ke Pakistan – India (4)

Laporan: Sjamsul Basri

TIDAK ada yang paling menyakitkan hati orang India daripada laporan pers Barat menggambarkan India sebagai negara dengan rakyat yang penuh kemiskinan, tempat perburuan harimau dan istana para Maharaja serta ular-ular kobra menari-nari.

Demikian tulis Sunder Rajan dalam suatu brosur yang saya terima dari bagian publisitas Departemen Luar Negeri India. Saya tidak tahu siapa Sunder Rajan yang menulis brosur berjudul: "India Realitas industri dalam suatu negeri legenda” itu. Hanya dalam kata pengantar antara lain disebutkan, penulis melacak wajah India yang sedang berubah di bawah pemerintahan kedua lndira Gandhi.

Rencana Lima Tahun yang baru saja dikeluarkan, dikatakan menggambarkan usaha spektakuler India untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan industrinya ke arah pemenuhan kebutuhan sendiri. Pertumbuhan ekspor mendapat prioritas tinggi. Produksi mobil dan motor diharapkan mendapat pasaran yang makin membengkak di luar negeri.

Saya tertarik sekali untuk melihat apa yang ditulis dalam brosur itu. Tapi dengan kunjungan Presiden Suharto selama kurang lebih hanya 70 jam 15 menit tentu tidak mungkin melakukan hal itu. Apalagi acara yang padat antara hotel Ashok tempat mondok anggota rombongan dengan Kashtrapati Bhavan, Istana Negara dimana Presiden dan lbu Tien Soeharto menginap serta kunjungan ke Institut Penelitian Pertanian India dan Taj Mahal yang terkenal itu, kunjungan yang hanya puluhan jam pasti tidak memberi kemungkinan untuk melihat India cukup memadai dalam pelbagai aspek.

Namun brosur yang diberikan bagian penerbitan Departemen Luar negeri India itu sedikit banyak memberi gambaran tentang apa yang berhasil dicapai negara itu dengan pembangunan yang dilakukannya sejak Rencana Pembangunan Lima Tahun pertama 30 tahun lalu.

Menurut brosur itu, sekalipun citra tentang Maharaja-King Cobra masih ada, namun keadaan sudah amat berlainan.

Ketika mengikuti sebuah seminar komunikasi di Amerika Serikat tahun lalu, T. Gopalkrishnan, editor "Free Press Journal" dari Bombay pernah mengatakan kepada saya, India sekarang menjadi negara industri ke sepuluh besarnya di dunia.

Saya tidak tahu waktu itu, bagaimana seharusnya menanggapi ucapan penuh kebanggaan disampaikan rekan dari Bombay itu. Apalagi Atlas Bank Dunia menyebutkan, GNP (Pendapatan Nasional Kotor) per kepala India di tahun 1977 masih sekitar US$ 160 dengan tingkat pertumbuhan 1970-1977 rata-rata 1,1 persen setahun.

Sewaktu wartawan-wartawan Indonesia yang ikut rombongan Presiden dijamu makan malam oleh Departemen Luar negeri India, seorang pejabat yang pernah bertugas di kedutaan besar India di Indonesia memang mengatakan, GNP per kepala negaranya tidak jauh berbeda dengan apa yang dicantumkan dalam Atlas Bank Dunia. Dan menurut brosur yang saya kutip tadi, GNP per kepala India sekarang sudah mencapai US$ 167.

Menurut survei yang dilakukan pemerintah India baru-baru ini, lebih dari 350 juta dari 660 juta penduduk India masih hidup di bawah apa yang dinamakan "garis kemiskinan". Dengan perkataan lain, lebih dari separo penduduk negara itu masih berpenghasilan kurang dari satu Rupee sehari.

Menurut Sunder Rajan, sejak tahun 1950-an serangkaian luas industri baru telah dibangun. Dan sekarang India menghasilkan kebutuhan semennya sendiri, alat-alat pembangunan, barang-barang elektronik dan permesinan, pupuk, lokomotif, reaktor nuklir, kertas, plastik, obat-obatan, mobil dan kapal. Bahkan India, katanya, sudah dalam posisi untuk membuat pabrik komplit untuk industri baja, semen, gula, tekstil dan lain-lain.

Memberi gambaran tentang pertumbuhan industri dikatakan, India kini memiliki 55 unit pabrik semen, 26 unit pabrik pupuk, menghasilkan 13 juta ton minyak yang merupakan hampir tiga-per lima kebutuhannya.

Negara itu juga membuat kapal barang dan penumpang ukuran samudra, dan kini merupakan salah satu dari negara yang paling maju dalam eksploitasi energi atom untuk perdamaian.

Dari data yang dikemukakan itu agaknya beralasan kebanggaan rekan wartawan dari Bombay seperti saya kutip tadi. Tapi dibandingkan dengan tingkat GNP per kepala US$ 167 serta masih lebih dari separo rakyat India hidup di bawah garis kemiskinan, sepintas lalu mungkin terasa kemajuan yang dicapai negara itu dalam bidang industri sebagai paradox dibandingkan kemajuan yang dicapai dalam meningkatkan kehidupan sosial-ekonomi rakyatnya.

Dengan sumber-sumber terbatas, dalam pembangunan yang dilakukan suatu negara memang perlu dilakukan pilihan yang biasanya amat berat. Antara pemberian prioritas kepada sektor industri dengan resiko memperlambat perbaikan mutu kehidupan rakyat banyak di satu pihak. Atau memprioritaskan perbaiki mutu kehidupan rakyat dengan memperlambat pertumbuhan industri di lain pihak.

India tampaknya mengambil pilihan kedua dengan dukungan rakyatnya seperti tercermin antara lain dari dukungan yang mereka berikan atas kepemimpinan Indira Gandhi dengan Partai Kongres-nya. Dan dukungan itu makin diperkuat dengan tertanam kuatnya semangat Swadeshi yang diajarkan Mahatma Gandhi, sehingga yang berseliweran di jalan-jalan misalnya, sebagian besar memang mobil-mobil buatan India, sedang yang dipakai rakyatnya tekstil buatan sendiri.

DENGAN kemajuan industri yang demikian itu, maka dalam pembicaraan tingkat Menteri yang dilakukan antara Indonesia-India dalam kunjungan kenegaraan Presiden Soeharto, tampaknya cukup banyak disinggung kemungkinan kerjasama.

Dalam bidang perdagangan misalnya, India memerlukan kelapa sawit, pupuk urea dan semen yang bisa disuplai Indonesia. Saya tidak tahu kenapa India masih mau mengimpor semen dan pupuk dari Indonesia. Sebab, menurut brosur yang saya kutip tadi negara itu sudah mempunyai 55 unit pabrik semen dan 26 unit pabrik pupuk.

Sepanjang menyangkut kebutuhan Indonesia, menurut Menko Ekuin Widjojo Nitisastro, dicapai kesepakatan secara prinsip untuk mendatangkan pabrik semen untuk perluasan pabrik semen lndarung IIl B. Sedang lndarung Ill Amenggunakan teknologi Barat.

Selain itu juga disepakati kerjasama dalam proyek industri kecil dan proyek baja. Mengenai penanaman gandum disepakati kerjasama dalam pengembangan gandum di tanah beriklim tropis yang sudah menjadi pengalaman India. Sedang mengenai minyak, Indonesia mengundang India untuk ikut menanam modal dalam industri minyak melalui pola yang berlaku.

AGAKNYA cukup menarik juga bila laporan ini saya lengkapi dengan kesan­kesan tentang kunjungan ke-Taj Mahal yang dikenal sebagai salah satu keajaiban dunia itu. Taj Mahal terletak di Agra, 201 KM dari New Delhi. Taj Mahal yang merupakan mausoleum itu dibangun oleh Syah Jehan sebagai peringatan untuk permaisurinya Mumtaz Mahal yang sangat dicintainya. Mausoleum di mana sekarang terdapat kuburan Syah Jehan sendiri dan permaisurinya didirikan antara tahun 1630-1652.

Sebelum permaisurinya meninggal, Maharaja Moghul ini berjanji kepada Mumtaz Mahal untuk membangun monumen yang dinamakan Taj Mahal agar dunia selalu ingat kepada cinta besar dan abadi antara kedua umat manusia itu.

Namun lepas dari apa pun motif pembangunan monumen itu, Taj Mahal memang semacam keajaiban, baik dipandang dari segi keindahan mau pun teknik pembangunan.

Monumen yang seluruhnya terdiri dari batu marmer itu bila dibangun dengan teknologi yang ada sekarang barangkali tidak ada masalah. Tapi membangunnya justru pada waktu lebih dari tiga abad lalu, mau tak mau menimbulkan kesan betapa tingginya kebudayaan India masa itu, Kesan yang sama akan timbul bila kita melihat candi Borobudur misalnya.

Di samping Taj Mahal, India juga mempunyai obyek turisme peninggalan lama yang keindahan dan latar belakang sejarahnya tidak kalah menarik dari monumen cinta Syah Jehan. Dan negara ini tampaknya cukup tanggap menggunakan kekayaan masa lampau untuk kepentingan turisme yang pada gilirannya merupakan daya tarik bangsa itu bagi dunia luar. Saya tidak berhasil memperoleh angka berapa pendapatan negara itu dari sector turisme. Tapi dari tamu yang berlalu lalang di hotel yang kami inapi timbul kesan lalu-lintas pelancong tampaknya cukup ramai.

Namun salah satu "kebiasaan" yang cukup menjengkelkan, sikap pelayan hotel yang terasa memaksa dalam meminta tip. Mungkin kejadian-kejadian kecil seperti ini tidak banyak berpengaruh. Tapi bagi pendatang yang ingin mendapat layanan sebaik­baiknya, sikap seperti ini pasti bukan merupakan promosi yang menguntungkan. (DTS)

New Delhi, Suara Karya

Sumber: SUARA KARYA (13/12/1980)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 736-739.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.