PRESIDEN AKAN KELUARKAN KEPPRES: BUPATI DIBERI WEWENANG ATUR PERSAWAHAN BARU

PRESIDEN AKAN KELUARKAN KEPPRES:

BUPATI DIBERI WEWENANG ATUR PERSAWAHAN BARU

Presiden Soeharto memutuskan, tanah-tanah di daerah yang ditetapkan untuk usaha pencetakan sawah baru, apabila pemiliknya menolak atau tidak ada di tempat, dapat diambil alih oleh bupati dan diserahkan kepada petani yang bersedia menggarap dengan hak pakai.

Hal itu dikemukakan Menteri Pertanian Sudarsono Hadisaputro di Bina Graha Selasa siang. Kebijaksanaan pencetakan sawah baru adalah bagian dari kebijaksanaan peningkatan produksi pangan.

Tanah-tanah tersebut yang berada di daerah yang ditetapkan dalam pencetakan sawah baru, dan akan diairi oleh saluran tersier, apabila tidak dijadikan sawah, akan merupakan penghalang. Karena tanah tersebut bisa menjadi sumber hama dan penyakit, kata Sudarsono.

Dijelaskan, petani penggarap nantinya akan menanda-tangani perjanjian bagi hasil, sedang pemilikan tanahnya tetap berada pada pemilik semula. Petani penggarap juga bertanggungjawab terhadap pengembalian kredit yang digunakan untuk mencetak sawah itu. Lama berlakunya hak pakai berkisar antara 5 sampai 6 tahun. Bila pemiliknya ingin mengambil sawah itu, kepadanya dimintakan ganti rugi.

Dalam rangka ini, Presiden akan mengeluarkan Keppres yang menetapkan, bupati diberi wewenang mengambil tanah-tanah untuk keperluan itu, dan memberikannya kepada petani yang bersedia menggarap dengan hak pakai dan bagi hasil, kata Menteri.

Sesuai UUPA (Undang-undang Pokok Agraria), jika tanah itu masih dikuasai Pemda maka bagi hasil itu diberikan kepada Pemda. Dan jika telah diambil pemiliknya, maka kepada pemiliknya bagi hasil itu diberikan, tutur Sudarsono.

Ditambahkan, sasaran rencana pencetakan sawah baru itu, tersebar di 19 propinsi, dan dilakukan secara bertahap. Tahap pertama, tahun 1979/1980 sasarannya sebanyak 40.000 hektar, dan tahap kedua tahun 1980/1981 seluas 60.000 hektar.

Dari sasaran tahap pertama, yang dimulai sejak Desember tahun lalu sampai 30 April 1980, sudah dicetak 8000 hektar, dan sekarang sedang digarap pencetakan seluas 18.000 hektar. Biaya yang dibutuhkan untuk keperluan kredit pencetakan sawah sawah baru, sebesar Rp 3,7 milyar.

Dikatakan, besar kredit, sesuai dengan perkiraan biaya pencetakan sawah itu, untuk tanah tegalan yang pernah ditanami palawija sebesar Rp 197.000, tanah alang­alang Rp 221.000, hutan ringan Rp 291.000 dan hutan berat sebesar Rp 361.000 per hektar.

Pengembalian kreditnya, untuk tanah tegalan selama 6 tahun, tanah alang alang 7 tahun, hutan ringan 10 tahun, hutan berat 14 tahun. Semuanya dengan masa tenggang waktu sdama 2 tahun, kata Menteri.

Proyek pencetakan sawah baru ini ditangani dengan sungguh-sungguh. Dan bagi daerah transmigrasi, apabila memang dimungkinkan, kepada petani di daerah itu juga dimungkinkan memperoleh kredit pencetakan sawah baru, katanya.

Pukat Hariman

Presiden Soeharto, menurut Menteri Sudharsono, juga menginstruksikan untuk mengambil langkah mengurangi jumlah trawl (pukat harimau), dari jumlah sekarang 3300 menjadi 1000 buah pada akhir Pelita III.

Kebijaksanaan ini diambil karena dikhawatirkan akan kurang terjaminnya sumber ikan, dan karena operasi trawl di daerah-daerah pantai, meresahkan para nelayan tradisional.

Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, dimulai dari pantai selatan Pulau Jawa, seperti di Cilacap dan Pangandaran yang banyak nelayan tradisionalnya, kemudian pantai timur Sumatera Utara.

Tahap selanjutnya, pukat harimau juga dilarang beroperasi di antara Pulau Jawa serta sebelah timur Sumatera, dan sebagian perairan Kalimantan, kata Menteri.

Dijelaskan, untuk perairan Irian Jaya, Maluku dan sebagian Kalimantan, di mana nelayan tradisional masih sedikit, pukat-pukat harimau masih diberi kesempatan beroperasi. Pukat harimau itu nantinya di daerah yang dilarang akan dialihkan menjadi kapal perikanan biasa, diperlengkapi dengan alat bukan trawl.

Apabila pemiliknya tidak bersedia, akan diambil-alih Pemerintah untuk kemudian diberikan kepada koperasi koperasi nelayan, dengan menggunakan alat non-trawl. Untuk itu, Pemerintah menyediakan kredit untuk memungkinkan koperasi-koperasi membeli alat alat non trawl.

Peningkatan Udang

Sejalan dengan kebijaksanaan mengenai pukat ini, Pemerintah juga berusaha meningkatkan produksi udang. Produksi tahun lalu, 150.000 ton yang dihasilkan dari penangkapan pukat harimau 38.000 ton, dari tambak sebanyak 21.000 ton dan selebihnya dari nelayan tradisional. Yang diekspor sebesar 34.200 ton, sebanyak 17.000 ton dari pukat harimau besar, selebihnya hasil tangkapan pukat kecil, tambak dan alat tradisional.

Dijelaskan, dalam soal pukat tadi, kepada pemilik pukat harimau yang dilarang operasi, diberikan kesempatan untukmengusahakan kapal-kapal yang lebih besar, agar dapat menangkap ikan di samudera, turut memanfaatkan lautan 200 mil (zone eco ­ nomic exclusive).

Dengan pengurangan daerah operasi pukat itu, nelayan-nelayan tradisional bisa menangkap udang lebih banyak dan bisa memperoleh harga lebih baik, serta tidak mengkhawatirkan kelestarian udang. Nelayan tradisional juga dimungkinkan memperoleh kredit untuk memiliki perahu bermotor, tuturnya.

Dalam waktu dekat, Pemerintah akan keluarkan peraturan, dan kepada para pengusaha pukat harimau (trawl) diberi kesempatan selama 6 bulan, untuk merobah atau menyerahkan kepada Pemerintah. Apabila melanggar, ijin pengoperasian pukat harimau akan dicabut.

Ditambahkan, dewasa ini hasil penangkapan udang adalah sekitar 20% dari jumlah tangkapan di laut. Sedang peminat udang semakin meningkat. Pemerintah dalam hal ini berusaha meningkatkan produksi udang, dengan melakukan pembibitan­pembibitan, dan memeliharanya di tambak tambak. (DTS)

Jakarta, Merdeka

Sumber: MERDEKA (04/06/1980)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 778-781.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.