MUI INDONESIA TIDAK DIDASARKAN AGAMA TERTENTU

Presiden buka Munas

MUI INDONESIA TIDAK DIDASARKAN AGAMA TERTENTU

Negara kita jelas bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler yang mengabaikan agama. Demikian Presiden Soeharto dalam amanatnya pada pembukaan Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia ke-2 di lstana Negara kemarin pagi.

Selanjutnya Presiden menjelaskan, sebagai negara yang bukan negara agama, Indonesia tidak didasarkan pada suatu agama tertentu.

Ini sesuai dengan keadaan masyarakat kita yang serba majemuk; yang terdiri dari berbagai suku, yang memiliki aneka ragam adat dan kebiasaan, yang memeluk agama yang berbeda-beda.

"Sikap rukun dan bersatu eli antara golongan masyarakat yang berbeda-beda itu adalah salah satu ciri dari kepribadian kita yang kuat dan perlu kita pelihara bersama," katanya.

Tetapi negara kita juga bukan negara sekuler yang mengabaikan agama. "Negara sekuler tidak sesuai dengan pola budaya bangsa kita yang sangat kuat rasa keagamaan dan kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa," kata Presiden tegas.

Presiden juga mengajak umat beragama untuk mensyukuri segala kemajuan yang telah dicapai dan tetap tawakal terhadap semua kekurangan dan cobaan yang masih harus diatasi.

Dalam hubungan ini, Presiden mengutip Al-Qur’ an yang berbunyi: ”Kalau kamu syukuri yang telah ada, pastilah akan ditambah untuk mu oleh Tuhan, tetapi jika kamu memungkiri semuanya itu, maka siksaan Tuhan amatlah kejam".

“Amar Ma’ruf Nahi Mungkar"

Menurut Presiden, kedudukan dan fungsi Ulama bukan saja mengandung tanggungjawab moral tetapi juga tanggungjawab sosial yang besar dan luas, yang mencakup segenap bidang kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, para Ulama memegang peranan penting dalam rangka pembinaan umat dan bangsa.

Meskipun demikian, Presiden juga mengingatkan bahwa sebagai pemimpin masyarakat, para Ulama harus peka dan tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat.

Karena adalah kewajiban luhur dari para Ulama untuk melakukan "amar ma’ruf nahi mungkar", yang dalam hal ini berarti "mengajak masyarakat untuk melakukan perbuatan baik dan mencegah masyarakat dari perbuatan tidak baik".

”Kalau hal ini tidak dilakukan maka para Ulama akan kehilangan fungsi utama sebagai pemimpin masyarakat yang membangun," kata Presiden.

Dalam masyarakat yang sedang membangun dan berubah, tentu ada perbedaan pendapat mengenai hal-hal tertentu. Tetapi itu tidak harus menjadikan kita saling memusuhi dan menjauhi.

"Selama kita saling mempercayai akan itikad baik masing­masing dan saling menyadari dan menghormati batas-batas kedudukan dan tanggung jawab masing-masing perbedaan di antara kita, justru akan memperindah kehidupan masyarakat kita," kata Kepala Negara.

Tidak ada orang yang sempurna dan bebas dari kekhilafan. Dalam hubungan ini kita harus saling mengisi dan mengokohkan, saling mengingatkan dan membenarkan. Namun harus

"kita gunakan cara-cara yang baik, cara-cara sopan yang diajarkan oleh budaya bangsa kita. Dan juga diajarkan oleh Islam," demikian Presiden.

Mengakhiri amanatnya Presiden mengajak untuk menggalang persatuan di antara kita. "Sebab sesungguhnya dengan terwujudnya persatuan berarti kita sudah mendapatkan separoh hasil" katanya.

Mawas Diri

Menteri Agama Alamsyah dalam pengarahannya di hadapan peserta Munas MUI menyatakan, umat Islam sebenarnya harus menjadi cermin Islam dan hakekatnya umat Islam menjadi alat untuk memahami Islam. Bukan sebaliknya, Islam dijadikan alat untuk perorangan Islam, untuk tujuan tertentu dan terkadang di dalamnya terselip rasa dendam kesumat.

Oleh karena itu, untuk memperoleh gambaran yang baik dan tepat tentang Islam sebagai ajaran agama, maka ummat Islam sendiri harus mampu menterjemahkan tentang Islam dalam berbagai aspek.

Kemampuan ini bergantung pada ummat Islam sendiriyang harus selalu membina dirinya menjadi ”ummatan wassitha” dan risalah yang dijunjungnya menjadi ‘rohmatan lilalamin", kata Menteri.

Dalam masa pembangunan sekarang ini Menteri mengajak umat Islam untuk mawas diri terhadap usaha yang dilakukan selama ini. Dalam pembangunan ini para ulama berdiri paling depan di antara anggota masyarakat masih terdapat persoalan yang perlu diperangi. Persoalan yang menjadi musuh pembangunan itu adalah fanatik buta, kebodohan, kemiskinan dan perpecahan, tambahnya.

Khusus tentang fanatik buta, Menteri menjelaskan, bentuk kefanatikan tersebut tercermin dalam kehidupan keagamaan, Fanatisme ini melahirkan kelompok masyarakat penganut agama yang berpikiran sempit dan hanya mementingkan faham dan golongannya karena pengetahuannya hanya itu2 saja dan tidak mendalam.

Prihatin

Khusus menyinggung tentang ‘penilaian’ ummat Islam di lembaga perwakilan Menteri menyatakan, beberapa orang dalam Islam berpendirian bahwa kalau seseorang bukan dari parpol Islam, tidak dianggap sebagai tokoh yang mewakili mereka dalam badan eksekutif. Tokoh2 Islam, kiai, ulama dan Golkar misalnya, acap kali di mata sebagian politisi Islam tidak dianggap dapat mewakili "Islam”.

Menurut Menteri, anggapan yang demikian tidak seluruhnya benar sebab ke­Islaman seseorang bukanlah partai atau golongan, tetapi iman, taqwa dan tindakannya.

Menteri prihatin melihat kecenderungan sikap seperti ini, karena tidak jarang dikaitkan dengan tebal tipisnya iman seseorang.

”Seakan2 mereka yang Parpol Islam bukanlah muslim. Saya kira gejala ini perlu mendapat perhatian kita khususnya Majelis Ulama. Kita wajib menyadarkan mereka," tambahnya.

Dalam kesempatan kemarin, Menteri juga membeberkan berbagai isu yang meresahkan masyarakat. Isu kristenisasi beberapa waktu lalu didramatisir oleh media massa di luar negeri terutama negara2 di Timur Tengah.

Pemerintah Orde Baru di anggapnya sebagai pemerintah "orang Kristen" dan umat Islam tidak diberi kesempatan untuk berperan. "Namun ketika saya sebagai Menteri Agama pertama kali ke negara2 TimurTengah, dengan susah payah saya menyakinkan mereka bahwa apa yang disebut sebagai gerakan Kristenisasi di Indonesia adalah tidak benar," Ujarnya.

"Demikian pula isu kebangkitan Islam model Iran sering kita dengar belakangan ini. Isu tersebut kadang2 sengaja dilontarkan oleh pihak tertentu untuk memojokkan Islam, atau menjebak umat islam agar menjadi kelompok ekstrim. Oleh karena itu kita harus waspada sehingga tidak terpancing oleh jebakan2 demikian."

300 Peserta

Sementara itu Ketua Umum MUI Prof. Buya Hamka dalam sambutannya mengatakan, musyawarah tersebut bertema: "Meningkatkan peranan Ulama dan partisipasi umat untukmensukseskan pembangunan dalam rangka Stabilisasi Nasional menuju Masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 45".

Musyawarah yang berlangsung dua hari di Hotel Sahid Jaya itu diikuti 300 peserta dari Pusat dan Daerah serta peninjau dari dalam negeri dan luar negeri. Akan memberikan pengarahan antara lain Menteri Agama Alamsyah, Menteri PPLH Emil Salim dan Menteri Nakertrans Harun Zein. (DTS)

Jakarta, Suara Karya

Sumber: SUARA KARYA (28/05/1980)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 882-885.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.