PAK HARTO ADALAH MILIK RAKYATNYA
Oleh Ayip Bakar
Dalam majalah "Reader’s Digest" tahun 1972 halaman 54 muncul sebuah tulisan manis tentang Presiden Soeharto, yang ditulis oleh Ruth Sheldon Knowles, dengan judul "Soeharto: the leader who listens." Kenapa kok tidak pakai judul lain, misalnya "The leader who commands" atau "The leader who speaks"? Oh, tidak. Sebab yang ditulis oleh nona Ruth bukan seorang presiden dalam legalitas diri dan status formalnya, tapi seorang pemimpin yang mengerti, bahwa memimpin bukanlah berarti memberi komando atau pidato. Memimpin ialah juga mendengar apa kata rakyat.
Ruth Sheldon Knowles antara lain menulis: "Soeharto knew the depth of the people s frustration and despair, the empty rice bowls, the rampant inflation and the corruption". Drama derita rakyat ini tidak selain dapat diketahui oleh mereka yang bemama pemimpin. Itulah sebabnya yang dicatat nona Ruth, ialah ketika Pak Harto berada di tengah petani kecil di Jawa Tengah, atau ketika Pak Harto sedang berada di daerah transmigrasi di Kalimantan. Ini adalah dialog.
Sekian tahun kemudian ketika Pak Harto menyampaikan pidato sumpah jabatan, yang kebetulan masih dihadiri oleh almarhum Bung Hatta, antara lain Pak Harto berkata:
"Saya mendengarkan dengan tekun, memasukkan baik-baik dalam hati, menyaring dalam pikiran apa yang disuarakan dengan keras dan lantang, apa yang disampaikan dengan lemah-lembut danhalus. Saya jugamendengarkan apa yang tidak terucapkan, sebab semua itu membantu saya memahami segala pikiran dan keinginan rakyat yang berkembang dalam majelis ini".
Memang satu hal yang dikehendaki oleh pemimpin ialah, bahwa dia bukan saja dapat menangkap apa yang tersurat, tapi juga menangkap apa yang tersirat.
Dari mulai presiden pertama Amerika yang bernama George Washington (1732-1799) sampai dengan Ronald Reagan, kalau tidak salah, maka Amerika sudah mempunyai 40 presiden terpilih. Dalam beberapa hal para presiden Amerika mungkin saja mempunyai pandangan dan pendapat yang berbeda, tetapi dalam satu hal mereka mempunyai pendapat yang sama. Presiden ialah abdi dan pelayan rakyat!
Kita ikut tergugah memperhatikan, bahwa semakin dekat pada Pemilu, semakin gencar datang suara mendukung Pak Harto, termasuk memberi gelar pengakuan Pak Harto sebagai Bapak Pembangunan. Suara itu kini semakin gencar dan membahana, datang dari berbagai kelompok sosial, badan, instansi dan organisasi.
Bisa kita pastikan, suara mendukung itu akan kian santer dan gencar. Sampai pada suatu titik puncak, dan suara itu akan membludak secara total. Lantas, siapa yang tidak ikut mendukung?
Nah, ini adalah ukuran samar dari kadar dukungan yang non verbal. Semua suara dilepas dengan resmi dan serta merta. Yang kita persoalkan bukan lagi dukungan itu sendiri, tapi kesan psikologis seolah-olah Pak Harto diklaim menjadi milik dan tumpuannya sendiri. Sebab kalau suara itu sudah menderu dari seluruh penjuru angin, yang belum memberikan suara dukungan mungkin saja merasa tersudut dan rikuh.
Kenapa rikuh? Sebab dalam struktur politik, di mana tradisi politik belum berakar kuat, permainan dengan suara bukan tidak boleh jadi menjurus pada apa yang bernama "the vocalized political exploitation". Metode dan taktik begini pernah subur membudaya pada masa rezim 100 menteri di zaman Orla.
Saya bisa pastikan, berjuta rakyat masih cinta pada Pak Harto. Tapi suara mereka ini non vokal, sebab kalau rasa cinta dan simpati rakyat harus direkam dengan alat yang resmi, tolok pembanding yang obyektip terletak pada hubungan jiwa antara Pak Harto dan rakyatnya.
Dipertanyakan sekang, nilai penyidikan apa yang terkandung dalam lomba suara dukungan ini? Kita percaya, Pak Harto tidak akan begitu mudah tenggelam dalam gelombang dukungan yang gencar. Identitas Pak Harto sebagai "the leader who listens," akan terus menukik langsung pada kepentingan rakyat yang berjuta.
Ambil saja contoh surat Pak Harto kepada seluruh camat di Indonesia. Pak Harto minta kepada para camat, supaya membuat laporan keadaan yang benar. Pak Harto lebih senang membaca laporan yang benar sekalipun pahit, dan pada laporan yang tampaknya benar tapi salah.
Jiwa mendukung pada seorang pemimpin harus dikembangkan dalam interaksi hubungan yang lebih terbuka dan fair. Sebab kalau misalnya kelaparan atau musibah lambat dilaporkan, seluruh formalitas dukungan tidak punya arti yang mendasar. Mendukung Pak Harto tidak boleh berarti mendukung segolongan, sebab Pak Harto bukan milik segolongan.
Yang lebih tidak lugas ialah, kalau dukungan itu bersifat pengkultusan yang kharismatik, padahal Pak Harto sendiri tidak ingin dikultuskan. Kita harus kembali belajar dari proses politik yang menumbangkan Sukarno dulu.
Soekarno tidak secara pribadi minta dijadikan presiden seumur hidup. Tapi ada lingkaran yang bernama "kingsmen policy" dan mereka inilah yang menata, mengatur dan menyodorkan alternatif politik yang sesat. Karena kita adalah penumbang Orde Lama dan sekaligus pencipta Orde Baru, marilah kita terus terbuka bagi koreksi sejarah.
Karena politik bukanlah sama dengan kegiatan kumpulan arisan, maka bisa kita mengerti, kenapa dalam politik ada interest Kita ingin melihat permainan politik yang segar. Kita ingin melihat prakarsa dan pikiran dinamis yang tampil.
Sungguh mati, siapa yang menang dalam Pemilu bukanlah kepentingan kita yang tunggal. Sebab lewat kepentingan mana pun kita tampil, cakrawala terakhir masih tetap berkait dengan nasib berjuta rakyat. Kalau kita masih merasa terlihat dengan berjuta rakyat, yang notabene masih miskin dan dungu, bukankah kemenangan Pemilu malah harus lebih dirasakan sebagai tantangan?
Mereka yang sejak sekarang sudah membikin ancang-ancang untuk merebut kemenangan, silakan membikin estimasi sejarah yang wajar. Politisi sejak sekarang sebaiknya membikin semacam forecasting outlook, melihat jauh ke muka, apakah pembangunan berhasil seeara sistematik melepaskan penderitaan rakyat yang berjuta. Proses pemerataan, apakah ini dapat kita andalkan hanya pada rencana, aksara dan angka semata-mata?
Dukungan yang bersifat populis tidak usah dimekanisir dalam bentuk sikap yang formal. Kita setuju dan ikut mendukung pendapat, bahwa perubahan sosial di Indonesia tidak usah terjadi seperti di luar negeri. Kemiskinan dan perut lapar sudah begitu akrab dengan penghidupan cilik.
Tentang gotong-royong Ruth Sheldon Knowles menulis "Soeharto has revitalized the ancient Indonesia philosophical principle of mutual assistance". Kenapa kok ada istilah revitalisasi? Sebab nilai gotong-royong pun ikut cemar. Kalau suara dukungan sama dengan semacam gotong-royong dalam politik, maka Pak Harto lebih suka dukungan mental dan hati nurani yang bersih, ketimbang suara yang meledak tapi keruh.
Pak Harto, saya percaya, tidak perlu dukungan yang bersifat verbalis dan formal. Sebab Pak Harto sendiri adalah pelayan rakyat, bukan direktur utama Rl sejak negara ini adalah milik yang sah dari 147 juta lebih rakyat.
Dukungan, boleh sajalah. Sebab mereka yang begitu gencar mendukung Pak Harto, pada akhirnya akan masih dimintadukungan lebih jauh Apa misalnya? Misalnya kesadaran, bahwa kita bukan sedang mumpung-mumpung menyiapkan jaminan hidup untuk tujuh turunan, bukan! Tapi berukir sambil bekerja, bahwa kita adalah bagian tak terpisahkan dari berjuta rakyat yang masih miskin dan dungu. Apakah yang begini bukan dukungan jiwa yang relevan? (DTS)
…
Jakarta, Kompas
Sumber: KOMPAS (01/10/1981)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VI (1981-1982), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 158-161.