PRESIDEN HARAPKAN USKUP DAN PEMUKA AGAMA KRISTEN KATOLIK IKUT AMBIL BAGIAN MENANAMKAN PENGERTIAN MENGENAI PANCASILA
Presiden Soeharto mengharapkan para uskup dan pemuka agama Kristen Katholik Indonesia ikut mengambil bagian dalam menanamkan pengertian yang sedalam-dalamnya mengenai Pancasila dalam melaksanakan pendidikan politik bagi setiap warga negara Indonesia.
Ketika memberikan petunjuk dan nasihat di depan para uskup dari seluruh Indonesia yang menghadiri sidang tahunan Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis pagi, Kepala Negara menegaskan bahwa pengertian yang sedalam-dalamnya itu mengenai dasar-negara Pancasila mutlak harus ditanamkan kepada seluruh rakyat Indonesia.
Presiden menyatakan keyakinannya bahwa sebagai bangsa yang memiliki dasar negara Pancasila peranan, para rohaniawan amat penting dalam turut memupuk semangat rakyat untuk ikut-serta menyelesaikan tahap perjuangan mengisi kemerdekaan sekarang ini, dengan melaksanakan pembangunan dengan tujuan menciptakan masyarakat adil makmur dan sejahtera serta berkeadilan sosial dan berdasarkan Pancasila.
Pembangunan kata Presiden harus dilaksanakan demi untuk mencapai cita-cita bangsa tersebut dan demi untuk mempertahankan kemerdekaan dan negara kesatuan Republik Indonesia sebagaimana telah disepakati para pendiri bangsa ini di masa lampau.
Presiden menegaskan bahwa semua warga negara Indonesia harus mengambil bagian dalam tahap perjuangan mengisi kemerdekaan ini dan untuk menggerakkan semangat rakyat untuk mengambil bagian itu, para rohaniawan dapat pula mengambil peranannya.
Presiden menegaskan bahwa semua warga negara Indonesia harus mengambil bagian dalam tahap perjuangan mengisi kemerdekaan ini dan untuk menggerakkan
semangat rakyat untuk mengambil bagian itu, para rohaniawan dapat pula mengambil peranannya.
Presiden juga meminta kepada para uskup dan pemuka agama Katolik itu untuk menanggapi kesimpang-siuran penafsiran mengenai berbagai masalah sekarang.
Dalam rangka ini harus diusahakan untuk meningkatkan kesadaran politik yang belum dimiliki seluruh warga negara Indonesia seperti kesadaran bemegara kesadaran berbangsa dan kesadaran berpemerintahan.
Pendidikan politik yang harus dilaksanakan, kata Presiden, bukan politik praktis tapi pendidikan untuk meningkatkan kesadaran bernegara, berbangsa dan berpemerintahan tersebut.
Bagi bangsa Indonesia kesadaran bernegara tidak lain daripada kesadaran bahwa mereka sudah memiliki negara kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Harus Mengerti Mengenai Pancasila
Kesadaran berbangsa bahkan sudah diikrarkan para Pemuda sejak tahun 1928 bahwa bangsa Indonesia berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia. Kesadaran berpemerintahan ditanamkan karena pemerintah itu diperlukan untuk melaksanakan segala sesuatu yang menjadi aspirasi dan cita-cita seluruh bangsa.
Kesadaran memiliki negara Republik Indonesia yang diproklamasikan dalam tahun 1945 dan berdasarkan Pancasila harus berarti bahwa sebagai Bangsa Indonesia harus memilih ideologi Pancasila dan sadar bahwa bangsa Indonesia sudah memilih Pancasila sebagai pedoman hidupnya.
Dalam usaha mencapai tujuan itulah Pemerintah Orde Baru atas kehendak rakyat melaksanakan berbagai penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P-4 dan penataran mengenai UUD 45 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Rakyat harus mengerti mengenai Pancasila karena Pancasila merupakan ideologi serta falsafah dasar negara dan merupakan pula pedoman hidup bangsa Indonesia. Rakyat harus mengetahui UUD 45 karena UUD 45 adalah konstitusi dan merupakan pedoman aturan permainan dalam mencapai cita-cita perjuangan bangsa.
Rakyat harus mengerti GBHN karena dalam GBHN itulah diatur mekanisme dalam melaksanakan dan mencapai cita-cita perjuangan.
Telah pula dirumuskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, sesuai dengan sila ke empat Pancasila, kedaulatan rakyat yang didasarkan hikmah kebijaksanaan dan permusyawaratan, rakyat menjalankan kedaulatannya melalui wakil-wakilnya disusun dari anggota DPR, ditambah wakil daerah dan wakil golongan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
MPR lah yang memilih Presiden dan Wakil Presiden sebagai pembantu Presiden, demikian Presiden mengatakan.
Keputusan MPR ini kalau sudah diambil harus dipikul oleh seluruh rakyat Indonesia. Dalam melaksanakan mekanisme kepemimpinan nasional sekali dalam lima tahun rakyat hams memilih wakil-wakilnya yang akan duduk dalam MPR.
Ini dapat dilaksanakan, kalau seluruh rakyat Indonesia betul-betul memiliki kesadaran bernegara, berbangsa dan berpemerintahan. Lebih-lebih lagi mengingat rakyat sudah menerima Pancasila sebagai ideologi, falsafah negara dan pedoman hidupnya. Oleh karena itu pengertian mengenai Pancasila mutlak harus ditanamkan sedalam-dalamnya kepada rakyat, demikian Presiden Soeharto mengatakan.
Presiden menyatakan penghargaan atas sidang MAWI yang diselenggarakan di Jakarta dari 9 sampai 19 November itu dengan tema pembahasan pokok "Hubungan antara Gereja dan Negara".
Presiden yakin bahwa keputusan yang diambil dalam sidang MAWI tesebut berharga dan bermanfaat bagi rakyat Indonesia pada umumnya, khususnya umat Katolik di Indonesia untuk turut mengambil bagian dalam tahap perjuangan mengisi kemerdekaan sekarang ini.
Dalam sidang tahunan MAWI tahun 1981 ini, para uskup merumuskan pandangannya mengenai negara pada umumnya dan negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila khususnya, mengenai agama pada umumnya dan hakekat gereja serta misinya di tengah-tengah masyarakat dan pandangan mengenai hubungan antara Gereja Katolik dan Negara Republik Indonesia.
Dari sejumlah uskup yang hadiri dalam pertemuan tatap muka dengan Presiden Soeharto di Istana Merdeka itu, hadir segenap unsur pimpinan MAWI. (DTS)
…
Jakarta, Antara
Sumber: ANTARA (19/11/1981)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VI (1981-1982), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 511-513.