ROHANIAWAN AGAR TURUT MENUNTUN RAKYAT INDONESIA MENGHAYATI PANCASILA
Para Uskup Merumuskan Pandangan Hubungan Gereja dan Negara
Presiden Soeharto rninta kepada para pemuka agama dan rohaniawan Katolik khususnya, agar turut serta menggerakkan umatnya untuk menyelesaikan cita-cita perjuangan bangsa.
Kepala Negara mengemukakan hal itu ketika menerima 34 orang uskup Katolik, termasuk Kardinal Justinus Darmojuwono di Istana Merdeka, Kamis kemarin.
Kunjungan kehormatan kepada Kepala Negara yang dipimpin oleh Ketua MAWI (Majelis Agung Wali gereja Indonesia) Mgr. F.X Hadisumarta O. Carm dilakukan sehubungan berakhirnya sidang tahunan MAWI.Sidang itu berlangsung di Jakarta dari tanggal 9 November hingga 19 November.
Dalam sidang itu para uskup menegaskan, Gereja Katolik sebagai pranata sosial mendukung semua upaya mempertahankan dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan bangsa. Para uskup menekankan hak partisipasi semua warga negara dalam menentukan hidup kenegaraan, serta usaha “merakyatkan” negara.
Peranan Rohaniawan
Berbicara tanpa teks, Presiden menekankan, sangat besar peranan rohaniawan dalam membentuk sikap mental masyarakat menuju persatuan dan melakukan pembangunan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
“Setidak-tidaknya kita harus berusaha untuk meningkatkan kesadaran bernegara, kesadaran berbangsa dan berpemerintah, yang belum dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia. Semuanya bisa, disimpulkan sebagai kesadaran berpolitik,” kata Presiden Soeharto.
Kesadaran bernegara, menurut Kepala Negara, tidak lain ialah kesadaran bernegara Republik Indonesia yang diproklamirkan dan mempunyai dasar negaranya ialah Pancasila.
Untuk itulah dalam Orde Baru ini dilakukan penataran-penataran, baik penataran P4, penataran UUD 45, maupun penataran GBHN.” Karena rakyat betul betul harus mengerti akan Pancasila, akan UUD 45, sebab itu merupakan aturan permainan untuk mencapai cita-cita perjuangan kita.”
“Saya betul-betul mengharapkan kepada romo sekalian untuk turut serta mengambil bagian sehingga tidak ada keragu-raguan sedikit pun bagi rakyat kita untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila,” pinta Presiden kepada para uskup.
Tidak Dengan Teori
Untuk menyadarkan akan hal inipada rakyat kita yang masih sederhana, menurut Presiden, tentunya tidak mungkin dengan teori-teori ideologi dan lain sebagainya. Tetapi hendaknya dengan melihat pada kehidupan manusia itu sendiri sebagai makhluk Tuhan yang Maha Kuasa berdasarkan kelengkapan-kelengkapan yang ada dalam dirinya serta berdasarkan iman dan keyakinan masing-masing.
Kata Presiden, menjadi kewajiban bagi setiap pemimpin, terutama para rohaniawan, untuk dapat menuntun rakyat Indonesia yang ber-Pancasila ini untuk dapat menghayati dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
“Kalau ini dilaksanakan maka tidak akan jauh berbeda dengan tugas misi yang dipikul oleh para ulama, pemimpin agama, apakah itu Islam, Protestan, Katolik, Budha maupun Hindu di dalam membawa manusia kepada cita-cita hidupnya untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan di akhirat”.
Menurut Presiden, kebanyakan manusia seakan hanya memikirkan kebahagiaannya di dunia dan melupakan kehidupan di akhirat. Padahal kebahagiaan di akhirat itu hanya bisa dicapai, tergantung pada apa yang kita lakukan di dunia ini.
“Ini yang perlu kita renungkan kepada rakyat kita yang berdasarkan Pancasila, terutama Berketuhanan Yang Maha Esa.”
Selesai memberikan pesan-pesannya, Presiden Soeharto beramah-tamah dengan para uskup. Dalam kesempatan tersebut para uskup secara pribadi berdialog dari hati ke hati dengan Kepala Negara.
Uskup dari daerah transmigrasi Lampung dan Riau misalnya, menyampaikan masih adanya kesulitan beribadah oleh sementara transmigran yang beragama Katolik. Sementara uskup dari Timor-Timur meminta perhatian lebih besar dari pemerintah atas kesulitan pangan dan pengobatan rakyat Timor-Timur saat ini.
Mgr. F.X. Hadisumarta dalam kesempatan kemarin mengucapkan terima kasih kepada pemerintah sekaligus memperkenalkan Mgr. Coo Mans, uskup Samarinda yang telah dikabulkan permohonannya menjadi warganegara Indonesia. Mgr. Coo Mans adalah doktor lulusan Universitas Nijmegen di bidang inkulturasi penyesuaian gereja dan masyarakat Indonesia, khususnya Kalimantan.
Hak Partisipasi
Dalam sidang tahunannya yang berlangsung sepuluh hari tersebut, para uskup dari seluruh Indonesia telah membahas tema pokok hubungan antara gereja dan negara.
Dalam hubungan ini para uskup menekankan hak partisipasi semua warga negara dalam menentukan hidup kenegaraan, sejalan dengan haluan yang ditempuh pemerintah Indonesia untuk makin memeratakan parti sipasi rakyat dalam usaha maupun hasil-hasil pembangunan.
Pandangan mengenai hubungan Gereja Katolik dan negara Republik Indonesia tersebut oleh para uskup dirumuskan dalam tiga bagian. Pertama, mengenai negara pada umumnya dan negara Pancasila khususnya. Kedua, mengenai agama pada umumnya dan rumusan hakekat gereja serta misinya di tengah masyarakat. Ketiga, mengenai hubungan antara Gereja Katolik dan negara Republik Indonesia.
Saling Pengertian
Para uskup mengakui, baik di negara Republik Indonesia maupun di dalam gereja berlaku prinsip “Bhineka Tunggal Ika”, keanekaragaman dalam kesatuan.
Pluralisme itu terdapat di dalam segala segikehidupan masyarakat kita, sosial, keagamaan, dan kenegaraan. Justru karena itulah para uskup semakin menyadari, betapa perlunya suatu visi atau pandangan yang mendalam dan mantap tentang hubungan gereja dengan negara.
Pada pihak lain para uskup menyadari pula, betapa sulitnya menyusun garis-garis kebijaksanaan yangjelas bagi kedua belah pihak. Sebab Negara juga mempunyai visi atau pandangan sendiri.
Walaupun demikian, para uskup mengakui bahwa sebenarnya landasan idiil dan konstitusional negara kita memperlihatkan banyak pokok persamaan dengan pandangan gereja.
Akan tetapi bahasa yang sama belum tentu mengandung isi dan visi yang tepat sama. Seringkali timbul perbedaan dalam penafsiran dan penjabaran prinsip-prinsip, yang sebenarnya diterirna oleh negara maupun gereja.
Perbedaan-perbedaan seringkali timbul dalam peraturan pelaksanaan pada tingkat departemen serta tingkat-tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Hal ini mungkin karena peraturan dasar dirumuskan secara sangat umum, sehingga mudah menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda.
Secara Konsekuen
Para Wali Gereja mengakui sepenuhnya otonomi negara dalam menjalankan peranannya demi kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.
Negara dan gereja memang mempunyai fungsi yang berbeda, dan keduanya menjalankan fungsi itu dalam perspektif tujuan masing-masing yang berbeda pula. Akan tetapi, karena keduanya ada demi kepentingan masyarakat yang sama, maka negara dan gereja harus hidup dalam suasana kerja sama.
Gereja berhubungan dengan negara melalui umat beriman, yang sekaligus adalah warga negara, yang dalam berpolitikpun memperhatikan nilai-nilai manusiawi (yang juga dijunjung tinggi oleh negara Republik Indonesia), dalam cahaya iman Kristen.
Maka, gereja mengharapkan agar asas kebebasan agama dan kebebasan beragama dilaksanakan secara konsekuen.
Para Wali Gereja Indonesia berpendapat, hubungan gereja dan negara tidak melulu, bahkan tidak terutama berlangsung pada tingkat institusional, tetapi lebih bersifat fungsional, yaitu bekerja sama dengan semua golongan masyarakat lainnya dan dengan Pemerintah, demi kesejahteraan seluruh rakyat.
Rakyat Kecil
Dalam pembicaraan yang sungguh-sungguh selama 10 hari itu, pokok-pokok yang muncul menjadi pusat perhatian antara lain, peranan khas gereja membangun mentalitas manusia. Artinya memberi motivasi yang tepat serta kuat, membina sikap dedikasi dan kesungguhan, serta memupuk sikap optimis.
Bahaya laten ancaman komunisme hanya bisa dielakkan, bila perhatian dan keprihatinan semua lapisan dan golongan masyarakat terhadap nilai-nilai yang manusiawi dan duniawi ditingkatkan dampaknya, sehingga jalan keluar lain yang dipropagandakan komunisme tidak ada relevansi nya lagi.
Dalam meningkatkan peranan “rakyat kecil”, Gereja dapat berperan mengembangkan sikap solider di antara warga masyarakat, menggalakkan semangat kerelaan hati khususnya terhadap kaum lemah dan miskin, serta menanam kesediaan berkurban.
Gereja hendaknya lebih mengutamakan rakyat kecil, artinya tidak hanya bekerja untuk mereka, tetapi bekerja bersama, guna meningkatkan mutu kehidupan serta nilai-nilai manusiawi.
Soal kebebasan agama dan kebebasan beragama. Hendaknya masalah-masalah yang timbul diselesaikan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
Kerukunan antara Umat Beragama.
Perlu menekankan sikap kerukunan antara umat beragama, sehingga dapat menghargai nilai-nilai positif yang terdapat di dalam agama-agama lain. Dalam usaha menciptakan kerukunan perlu dialog doktriner.
Tetapi yang lebih perlu dan lebih penting adalah dialog kehidupan dan dialog karya, sebab yang harus lebih diperhatikan ialah unsur-unsur yang menyatukan daripada yang memisahkan.
Maka, para uskup Indonesia ingin meningkatkan saling pengertian dengan Pemerintah khususnya dan dengan masyarakat Indonesia pada umumnya, agar peran serta umat Katolik dalam pembangunan negara dan bangsa dapat ditingkatkan terus dan benar-benar berdayaguna.
Secara Merata
Sesuai ajaran Konsili Vatikan Kedua, para Uskup berpendapat, tujuan negara ialah “melaksanakan kesejahteraan bersama. Dengan menghormati kebebasan yang sah orang perseorangan, keluarga dan kelompok-kelompok, kekuasaan kenegaraan berusaha menciptakan secara berdayaguna dan demi semua warga prasyaratprasyarat yang dibutuhkan guna mencapai apa yang sungguh-sungguh baik bagi manusia seutuhnya, termasuk keperluan-keperluan rohaninya”.
Para uskup berpendapat, yang harus menjadi cita-cita kita bersama ialah masyarakat yang secara merata mengambil bagian dalam pembangunan negara dan bangsa, dan khususnya menyadari tanggung jawabnya di bidang kenegaraan.
Di dalam masyarakat semacam itu keanekaragaman pandangan dalam hal-hal kenegaraan harus dipandang wajar, bahkan juga perbedaan di kalangan umat Katolik sendiri pun wajar.
Namun demikian di dalam keanekaragaman itu terdapat dasar-dasar yang sama, yaitu martabat pribadi manusia dan hak-hak asasi yang bersumber padanya. Dasar-dasar yang sama itu ikut menentukan sistem maupun hidup kenegaraan, serta tegaknya keadilan.
Dan itulah juga mendasari kebebasan agama dan kebebasan beragama, yang oleh Negara kitapun diakui sebagai salah satu hak yang paling asasi manusia.
Dukung Pancasila
Khusus mengenai hubungan antara gereja dan negara Republik Indonesia, para uskup menegaskan bahwa Gereja Katolik sebagai pranata sosial mendukung dengan senang hati Pancasila sebagai landasan ideal Bangsa. Maka gereja mendukung semua usaha dan upaya mempertahankan Pancasila serta pengamalannya secara konsekuen di dalam semua segi kehidupan bangsa.
Para uskup menekankan hak partisipasi semua warga negara dalam menentukan hidup kenegaraan. Hal ini sejalan dengan haluan yang ditempuh oleh Pemerintah Republik Indonesia, untuk makin memeratakan partisipasi rakyat dalam usaha-usaha maupun hasil-hasil pembangunan. Dengan perkataan lain, dalam usaha “merakyatkan” negara.
Maka bagi gereja sebagai persekutuan umat beriman di dalam negara yang bersifat demokratis seperti Republik Indonesia, partner utama dalam dialog adalah rakyat yang bemegara itu sendiri. Tetapi di dalam dialog tersebut peranan pimpinan negara dan pimpinan gereja sangat menentukan.
Gereja memang mernandang demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang paling sesuai dengan kodrat manusia.
Soal gereja di Timor-Timur, sebagaimana gereja di Indonesia meningkatkan kegiatan dan usahanya membantu perkembangang gereja di Timor-Timur, yang masih mengalami banyak kesulitan.
Pemilu 82
Sehubungan dengan Pemilihan Umum 1982 yang akan datang, para Wali Gereja Indonesia mengeluarkan “Surat Gembala” yang dialamatkan kepada seluruh umat Katolik Indonesia. “Surat Gembala” itu pada pokoknya mengimbau umat yang mempunyai hak pilih supaya melaksanakan haknya itu dengan sadar dan penuh tanggung jawab.
Para Wali Gereja menegaskan supaya umat memilih partai atau golongan yang menurut pertimbangan dan penilaian masing-masing akan mau dan mampu menjamin kepentingan dan kesejahteraan umum selama lima tahun mendatang. (DTS)
…
Jakarta, Kompas
Sumber: KOMPAS (20/11/1981)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VI (1981-1982), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 516-521.