SEDIKIT TENTANG KEPEMIMPINAN PAK HARTO

SEDIKIT TENTANG KEPEMIMPINAN PAK HARTO

Oleh : Nasruddin Hars

Senin ini 8 Juni 1981, Kepala Negara kita, Presiden Soeharto genap berusia 60 tahun. Selama ini tidak begitu kita sadari, bahwa dari usianya yang sudah enampuluh tahun itu, Pak Harto telah mengabdikan dirinya pada negara seumur Republik. Malah dalam masa lebih seperempat dari usianya, ia telah menjadi tumpuan harapan bangsanya.

Ia telah menjadi pusat kepercayaan rakyat untuk tampil sebagai penyelamat bangsa dan negara sewaktu terjadi G30S/PKI di tahun 1965 dan setelah terlebih dahulu menerima kekuasaan dari Presiden Soekarno dalam bentuk Surat Perintah 11 Maret 1966 tatkala terjadi krisis kenegaraan pada tahun 1967.

Ia diminta untuk menjadi Pejabat Presiden oleh MPRS. Ketika pada tahun 1968 MPRS kembali bersidang untuk memberhentikan Bung Karno dengan hormat, Pak Harto lalu diangkat jadi Presiden Republik Indonesia yang kedua.

Setelah ia ternyata dapat memenuhi tanggung jawabnya selaku Mandataris MPRS untuk menyelenggarakan Pemilu 1971 serta membentuk DPR dan MPR sesuai Undang-Undang, maka pada sidang MPR hasil Pemilu tahun 1973 ia kembali dipercaya untuk meneruskan jabatan Presiden. Hal yang sama juga terjadi sewaktu Sidang Umum MPR 1978. Sehingga, Pak Harto kini telah terpilih sebagai Presiden untuk masa jabatan yang ke tiga.

Dilihat sepintas lalu, kehadiran Pak Harto dalam gelanggang Pemerintahan untuk menduduki jabatan Kepala Negara seakan-akan atas dasar perkembangan biasa­biasa saja, berhubung Bung Karno diberhentikan dengan normal dari jabatannya maka Pak Harto lalu diangkat sebagai penggantinya.

Pada tahun 1973, karena Pak Harto adalah Pembina Golkar maka ia kembali terpilih sebagai Presiden sesuai dengan kemenangan yang diperoleh Golkar dalam Pemilu 1971. Hal yang sama berulang tahun 1973, karena dalam Pemilu 1977 Golkar kembali memperoleh kemenangan dengan angka mutlak. Jadi seolah-olah kehadiran Pak Harto dalam gelanggang politik adalah secara kebetulan belaka.

Sesungguhnya, apabila kita memperhatikan secara lebih seksama, maka persoalannya tidaklah sesederhana itu. Terpilih atau diangkatnya Pak Harto selaku Presiden mulai dari tahun 1968 hingga diulang kembali pada tahun 1973 dan tahun 1978 tidaklah secara kebetulan. Sebab apabila ditinjau dari pertimbangan­pertimbangan yang umum waktu itu adalah tidak mungkin Pak Harto termasuk di antara yang ditokohkan sebagai calon pengganti Bung Karno, tetapi dalam kenyataannya, Pak Harto bukan saja berhasil tampil dalam suasana peralihan melainkan juga mampu bertahan setelah keadaan menjadi mantap dan normal. Di manakah sebetulnya letak kekuatan kepemimpinan Pak Harto itu?

Menurut hemat kami, sedikitnya ada tiga faktor utama yang telah membuat Pak Harto memperoleh kepercayaan tunggal untuk jadi pemimpin bangsa dan negaranya hingga memasuki tiga masa jabatan.

Adapun tiga kekuatan yang merupakan pilar kekuatan dalam kepemimpinannya itu adalah pertama, bahwa Pak Harto adalah seorang yang pada saat-saat genting meskipun dengan penuh resiko berani tampil ke depan dalam rangka membela prinsip-prinsip kebenaran yang dianutnya. Ini sepenuhnya dapat kita saksikan pada tahun 1965, tepatnya ketika terjadi pemberontakan G30S/PKI yang tidak saja telah meminta korban enam orang jenderal TNI-AD, akan tetapi sekaligus akan merubah bentuk lain sistim pemerintahan negara ini dari Pancasila dan UUD 1945 ke komunisme.

Apabila kita memperhatikan suasana waktu itu, di mana Presiden Soekarno sedang "demam kekuasaan" dengan memberi kesempatan yang luas pada PKI, sementara kehidupan politik masyarakat tengah didominir oleh pengaruh PKI yang semakin kuat, dan ditambah lagi dengan kenyataan bahwa di berbagai unsur ABRI telah terjadi penyusupan-penyusupan PKI secara intensif, agaknya tidak mudah ditemukan seorang perwira yang mau dan berani menghadapi situasi itu.

Dalam suasana demikian, di mana tidak jelas yang mana kawan atau lawan, Pak Harto yang waktu itu sedang menjabat Panglima Kostrad benar-benar telah tampil dengan penuh risiko untuk menyelamatkan bangsa dan negaranya yang sedang terancam bahaya.

Tanpa terlebih dahulu berhubungan dengan Presiden Soekarno yang saat itu mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang begitu besar, pada tanggal 10 ktober 1965 malam hari Pak Harto langsung mengumumkan dirinya sebagai penanggung jawab sementara pimpinan Angkatan Darat, yang berarti waktu itu dia bukan saja siap untuk dipecat, karena melanggar disiplin militer, akan tetapi juga siap untuk digantung berhubung berani mengambil alih pimpinan Angkatan Darat tanpa terlebih dahulu melapor atau mendapat Perintah Panglima Tertinggi.

Hanya faktor keberanian dalam membela prinsip kebenaran lah yang telah membuat Jenderal berbintang dua itu (saat itu) langsung tampil ke depan untuk menantang segala risiko yang memang disadarinya demi kebenaran tersebut.

Yang kedua, bahwa Pak Harto adalah seorang tokoh militer yang sangat taat dan patuh pada konstitusi. Meskipun diatas dikatakan bahwa dalam saat-saat genting ia berani tampil dengan penuh risiko dalam membela prinsip kebenaran, akan tetapi bila situasi gawat telah berlangsung tunduk pada ketentuan hukum dan konstitusi.

Karena itu kita lihat kendati desakan serta dukungan rakyat meminta agar Pak Harto mengambil alih kekuasaan dari Bung Karno pada akhir tahun 1965 atau awal 1966, akan tetapi perwira kelahiran Desa Kemusuk, Yogyakarta, tetap dengan penuh sabar dan yakin mengandalkan cara penyelesaian masalah lewat saluran konstitusional.

Baru membubarkan PKI, mau mengambil tindakan terhadap para Menteri Kabinet Bung Karno yang didesak turun oleh rakyat, hanya setelah ada Surat Perintah 11 Maret, dan terhadap Bung Karno sendiri ia tidak pernah mengambil langkah atau tindakan yang bertentangan dengan konstitusi. Makanya ia baru tampil sebagai Pejabat Presiden setelah MPRS menetapkan status non aktif pada Bung Karno, dan kemudian ia menerima jabatan Presiden penuh setelah Bung Karno diberhentikan sama sekali.

Kecuali itu, ketaatan Pak Harto pada konstitusi juga sangat kita rasakan dalam penyelenggaraan negara sehari-hari selama masa pemerintahannya di zaman Orde Baru ini.

Kalau kita pikir-pikir, sebagai seorang tokoh militer yang mendapat kepercayaan penuh dari rakyat pada tahun-tahun pertama Orde Baru ia dengan mudah dapat mengesampingkan konstitusi misalnya saja dengan akan stabilitas dan pembangunan. Ia dapat menunda-nunda Pemilu, dan bila perlu membentuk DPR dan MPR semacam sebagaimana yang dilakukan Bung Karno, pendahulunya. Akan tetapi, dikarenakan ketaatan dan 1965, tepatnya ketika terjadi dikarenakan pada ketentuan­ketentuan hukum atau konstitusi yang ada.

Karenanya maka RAPBN selalu diusahakan untuk disampaikan ke DPR tepat pada waktunya, sementara kepada wakil-wakil rakyat meskipun tidak diwajibkan dalam konstitusi.

Ia saban tahun menyampaikan laporan dalam bentuk Pidato Kenegaraan 16 Agustus, oleh karena itu, sungguh mengherankan kalau dalam menilai kepemimpinan Pak Harto sekarang ini ada pihak-pihak yang mencoba menuduh bahwa Pemerintah telah menyimpang dari UUD 1945.

Dalam kenyataannya, jika atau ada satu masa dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia di mana konstitusi telah dijalankan sesempurna mungkin sesuai dengan jiwa dan semangatnya, maka masa itu adalah selama Pemerintahan Orde Baru sekarang ini. Bahwa di sana sini masih terdapat ketimpangan ataupun kekurangan dalam implementasi, tentunya masih terus dalam usaha penyempurnaan dan perbaikan.

Akan tetapi yang jadi pokok permasalahan, bahwa sesuai dengan prinsip kepemimpinan Pak Harto yang sangat tunduk pada hukum dan selalu mengatakan Indonesia sebagai negara hukum, maka penegakan hukum-termasuk konstitusi tentunya.

Kemudian yang ketiga, bahwa Pak Harto merupakan pemimpin yang sangat gandrung pada pembangunan.

Terselenggaranya pembangunan berencana hingga tiga Repelita sekarang ini bukanlah secara kebetulan atau karena otomatis kita masuk Orde Baru, akan tetapi sebagian besar andilnya adalah atas kepemimpinan Pak Harto.

Tanpa adanya kemauan politik yang kuat dari Pak Harto, meskipun oleh MPRS telah dirumuskan betapa perlunya pembangunan nasional pada awal Orde Baru, adalah tidak mungkin pembangunan sekarang ini terlaksana. Pak Harto sebagai anak desa agaknya memang merasakan betul apa yang namanya kemelaratan itu, atau apa yang disebut tuntutan hati nurani atau pun amanat penderitaan rakyat itu.

Ia sangat sadar akan apayang harus dilakukan pada saat pada dirinya dilimpahkan kepercayaan untuk memegang pimpinan. Untuk itulah maka ia lalu "mengumpulkan" orang-orang partai untuk diajak kerja sama, dan dalam kenyataan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa demi pembangunan nasional Pak Harto tidak pernah ragu untuk menempuh segala cara, asalkan dalam batas yang dibenarkan oleh prinsip utamanya yakni Pancasila dan UUD 1945.

Kalau kita pikir sepintas lalu, Pak Harto memang tidak mungkin jadi arsitek pembangunan. Bukan saja dari segi pendidikan untuk itu ia kurang, akan tetapi dalam hal pengalaman pun ia sebetulnya miskin. Namun apabila kita rajin mengikuti perkembangan-perkembangan pembangunan selama ini termasuk dari keterangan para teknokrat yang diajak bekerja sama oleh Pak Harto, maka semua kita pasti akan kagum betapa Pak Harto yang kurang dalam pendidikan dan miskin dalam pengalaman itu betul-betul kini mengawasi masalah-masalah pembangunan dengan sempurna.

Ia bukan hanya menguasai bagaimana pembangunan itu harus dilaksanakan, akan tetapi yang terpenting bahwa ia cukup memahami apa sebetulnya yang menjadi tuntutan masyarakat. Karena itu dapat kita saksikan betapa setiap permasalahan pembangunan yang timbul dalam masyarakat selalu dengan cepat mendapat tanggapan dari Pemerintah. Karena Pak Harto sendiri memang berulang kali menegaskan, bahwa pembangunan yang dilaksanakan sekarang ini adalah pembangunan yang berorientasi pada rakyat banyak.

"Pembangunan yang kita laksanakan sekarang iniadalah pembangunan untuk orang-orang kecil”, demikian Pak Harto sering berucap dalam banyak kesempatan. Oleh sebab itu sungguh kita dapat mengerti jikalau Pak Harto akan cepat tersinggung bila ada pihak-pihak dalam masyarakat yang mencoba menuduh seakan-akan pelaksanaan pembangunan sekarang ini sudah menyimpang dari tuntutan hati nurani rakyat.

Sekalipun Pak Harto sendiri selalu juga mengakui, bahwa masih banyak kekurangan atau kelemahan yang terjadi dalam pelaksanaan pembangunan, yang perlu diperbaiki.

Dilihat dari sejarah perkembangan bangsa, antara ke tiga faktor yang mendukung kepemimpinan Pak Harto tersebut dengan permasalahan utama yang dihadapi bangsa Indonesia ternyata terdapat kesesuaian. Pengalaman menunjukkan, bahwa terlalu seringnya kegoncangan-kegoncangan yang dihadapi bangsa Indonesia di masa lalu adalah disebabkan oleh tiga hal.

Pertama dikarenakan seringnya para pemimpin luntur dalam prinsip dasar yaitu Pancasila dan UUD-1945, kedua karena banyak penyimpangan-penyimpangan terhadap pelaksanaan konstitusi (UUD 1945), dan yang ketiga adalah disebabkan tak pernah terlaksananya pembangunan nasional secara terarah dan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, jikalau sekarang ini Pak Harto ternyata memiliki kepemimpinan yang didasarkan pada tiga kekuatan diatas, maka antara Pak Harto dengan bangsa Indonesia terdapat kecocokan yang seperti dalam pepatah Jawa disebut "sumbu oleh tutup", yang artinya kira-kira seperti bakul ketemu tutupnya.

Jadi dari uraian di atas dapatlah dikatakan, bahwa kuatnya kepemimpinan Pak Harto sekarang ini tidaklah semata-mata didasarkan pada kekuasan, akan tetapi sepenuhnya berlandaskan pada tingkat pertumbuhan bangsa yang menghendakinya. Sehingga dapat pula dikatakan, bahwa atas dasar itu pulalah maka Pak Harto masih terus memperoleh dukungan dalam menunaikan tugasnya sebagai Pemimpin Bangsa, dan masih akan diharapkan untuk masa yang lebih lama lagi. Sehingga meskipun usianya kini sudah mencapai 60 tahun, namun tidak terlihat tanda-tanda bahwa kepemimpinannya akan minta diakhiri.

Untuk itu kita mengucapkan "Selamat Ulang Tahun” kepada Pak Harto, sambil berdoa semoga Tuhan Yang Mahakuasa terus melindunginya, memberi kekuatan lahir, batin dan iman, serta dapat lebih dipanjangkan umurnya. (DTS)

Jakarta, Angkatan Bersenjata

Sumber: ANGKATAN BERSENJATA (08/06/1981)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VI (1981-1982), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 542-546.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.