DARYATMO :
MPR YANG BERHAK MEMBERI GELAR UNTUK PRESIDEN
Yang berhak memberikan gelar Bapak Pembangunan Nasional kepada Presiden Soeharto adalah MPR, walaupun dalam pasal 15 UUD 45 jelas berbunyi "Presiden memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan”.
Demikian dikemukakan Ketua MPR/DPR Daryatmo menjawab pertanyaan dalam ceramahnya pada Penataran Pemuda Tingkat Nasional ke IX di Jakarta, Kamis pagi.
Dikemukakannya, memang yang berhak memberikan gelar adalah Presiden. Tapi kalau Presiden memberikan gelar Bapak Pembangunan kepada Soeharto, tak lucu.
Sama saja Ketua MPR/DPR memerintahkan Daryatmo untuk pergi keliling dunia selama sebulan," ucap Daryatmo mengandaikan. Oleh sebab itu, "atasan" Presiden, yaitu MPR lah yang memberikan gelar tersebut, karena itu pula banyak yang mengusulkan pemberian gelar tersebut lewat MPR.
Dikatakan, ia tak bisa menolak mereka yang datang ke DPR untuk menyampaikan berbagai usul atau kebulatan tekad mengenai kepemimpinan nasional.
Namun bukan kewenangannya sebagai Ketua MPR/DPR menerimanya atau tidak, dalam pengertian memutuskan. ”Tapi saya harus menerimanya untuk meneruskannya kepada MPR/DPR hasil Pemilu yang mempunyai kewenangan untuk itu," kata Daryatmo.
Menjawab pertanyaan lain, Daryatmo menjelaskan bahwa tak ada Undangundang yang melarang seorang pejabat negara menjadi anggota MPR/PPR.
Dalam MPR memang diperlukan adanya semua unsur yang dianggap mengerti berbagai masalah bangsa dan rakyat Indonesia, apakah ia dari eksekutif maupun legislatif.
Maksudnya adalah untuk menampung semua aspirasi. Karena itu bila seorang menteri dianggap dapat menyumbangkan pikirannya untuk MPR, akan "welcome" baginya untuk menjadi anggota MPR. Sebagai lembaga tertinggi, MPR "can do no wrong". Tak bisa dikatakan "salah", apa pun yang diperbuat atau dilakukan.
Belum Menyimpang
Pertanyaan lain lagi adalah mengenai obyektivitas wasit pemilu, yang sekaligus menjadi juru kampanye. Daryatmo mengatakan, "Kalau Saudara misalnya tanya kenapa Pak Amir Machmud (Menteri Dalam Negeri) ikut sebagai ‘vote getter’, dengan sendirinya harus memenuhi peraturan. Dan dalam peraturan yang berlaku, tak ada larangan selama diizinkan atasannya untuk berkampanye."
"Tapi," lanjutnya, "sebagai Ketua LPU (Lembaga Pemilu), ia mempunyai hak dan kewajibannya. Sampai sekarang belum pernah beliau menyimpang dari fungsinya sebagai Ketua LPU."
ABRI
Mengenai tak ikut sertanya ABRI dalam pemilu Daryatmo menjelaskan bahwa hal itu dapat dipahami mengingat kedudukan ABRI sebagai alat negara dan kekuatan sosial yang harus kompak dan tetap merupakan kekuatan kokoh yang mengawal dan mengamankan Pancasila dan UUD 45.
Kedudukan dan fungsi ABRI tersebut tak akan tercapai jika anggota ABRI ikut serta didalam pemilu. Sebab dengan demikian ABRI bisa terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok yang berlainan pilihannya terhadap golongan-golongan dalam masyarakat.
Dikatakan oleh Daryatmo, Pemilu 1955 telah memberikan pengalaman pahit bagi kita semua. Atas dasar pengalaman itu, maka anggota ABRI sebagai kekuatan sosial tak mempunyai hak memilih dan dipilih. Tapi mempunyai wakil-wakil dalam MPR/DPR melalui pengangkatan. (RA)
…
Jakarta, Kompas
Sumber: KOMPAS (30/04/1982)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VI (1981-1982), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 711-712.