PERLU DITELADANI, SIKAP KERAKYATAN KEHIDUPAN BUNG HATTA
Presiden Soeharto
Pemugaran Makam Bung Hatta sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengultuskannya suatu sikap bertolak belakang dengan kepribadian almarhum yang sangat sederhana. Tetapi pembangunan Makam Bung Hatta adalah untuk menunjukkan sikap hormat semua bangsa Indonesia terhadap pimpinannya yang telah berjasa luar biasa kepada tanah air dan telah berkorban untuk keluhuran bangsanya.
Presiden Soeharto menegaskan hal ini ketika meresmikan Makam Bung Hatta setelah selesai dipugar yang terletak di pekuburan umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Kamis kemarin. Acara peresmian yang berlangsung sekitar satu jam, tanpa minum, dihadiiri oleh Menlu Malaysia Tan Sri Ghazali Syafei serta para menteri dan undangan lainnya.
Tanggal peresmian Makam Bung Hatta ini bertepatan dengan hari lahirnya, di Bukit tinggi (Sumatera Barat) 1902 dan meninggal 14 Maret 1980 di Jakarta.
"Apabila saya meninggal dunia, saya ingin dikuburkan di kota Jakarta, tempat diproklamasikannya Indonesia Merdeka. Saya ingin dikubur di tengah-tengah rakyat yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya," demikian pernah dikatakan almarhum kepada keluarganya.
Kepala Negara menyatakan, disadari bahwa penghormatan terhadap Bung Hatta dan juga kepada para pendahulu bangsa Indonesia lainnya, tidak cukup hanya dengan membangun makam seperti ini saja. Yang lebih penting adalah tekad dan usaha untuk meneruskan perjuangannya dan seluruh bangsa Indonesia sesudah generasi almarhum, memikul tanggung jawab besar untuk meneruskan cita-cita nasional yang indah dan luhur, ujar Kepala Negara.
Terpancang Kokoh Kuat
"Sejarah bangsa kita mencatat bahwa generasi Bung Hatta merupakan angkatan yang melahirkan berbagai gagasan dan pemikiran besar untuk membangun suatu kehidupan bangsa yang merdeka. Gagasan-gagasan dan pemikiran itu merupakan warisan yang tidak ternilai harganya bagi generasi sesudahnya."
Presiden Soeharto menyebutkan misalnya pemikiran dan gagasan Bung Hatta mengenai demokrasi ekonomi dan koperasi yang terpancang kokoh kuat dalam UUD 45.
Demokrasi ekonomi dengan koperasi sebagai salah satu soko guru ekonomi nasional itulah, yang ingin dibangun dalam alam Indonesia Merdeka, tutur Presiden Soeharto.
"Kita memang menyadari bahwa usaha kita untuk meneruskan cita-cita para pendahulu kita, tidaklah kita lakukan dengan sikap dogmatis. Kita harus melakukannya dengan sikap kreatif ‘.
La menyatakan, dalam menghadapi berbagai tantangan yang menghadang, setelah merdeka 37 tahun, banyak bisa dipelajari dari Bung Hatta, di antaranya ialah watak yang teguh dan integritas yang utuh.
"Hidup Bung Hatta memperlihatkan keteguhan sikap dan pendirian yang tidak goyang sedikit pun, betapapun besarnya godaan dan cobaan yang beliau hadapi," tutur Kepala Negara.
Sikap kerakyatan kehidupan Bung Hatta perlu pula diteladani, karena betapapun tinggi jabatan yang didudukinya dan betapa pun penghormatan yang diterimanya, semuanya tidak melunturkan dan memudarkan sikap kerakyatannya.
"Sikap kerakyatan Bung Hatta menjadi kepribadiannya dalam hidup dankehidupannya hingga tidak lekang karena panas dan tidak lapuk karena hujan", tambah Kepala Negara.
"Karena sikap kerakyatan itu maka Bung Hatta selalu hidup secara sederhana. Dalam kesederhanaan itulah terletak kekuatan, kebesaran dan keagungan Bung Hatta. Kesederhanaan hidup Bung Hatta adalah contoh yang sangat menonjol dari kehidupan beliau. Kita semua perlu berguru pada kehidupan Bung Hatta".
Dalam Berbagai Bentuk
Perjuangan dan pandangan hidup serta kepribadian Bung Hatta telah dicoba untuk dilambangkan dalam berbagai bentuk dan ukuran-ukuran pada lingkungan makam almarhum.
Demikian banyak lambang yang ditunjukkan dalam lingkungan makam, sehingga para peziarah mudah-mudahan selalu tergugah hatinya untuk meneruskan perjuangan dan cita-cita Bung Hatta.
Sebagai pejuang dan pemikir, Bung Hatta ikut merumuskan Pancasila dasar negara Republik Indonesia. Peghormatan terhadap almarhum sebagai pendiri negara dan ikut merumuskan Pancasila, dilambangkan dalam ukuran lantai cungkup makam dengan ukuran lima kali lima meter.
Seorang muslim yang saleh, Bung Hatta imannya teguh dan kuat takwanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Angka lima melambangkan keislaman Bung Hatta yang kuat sekaligus menunjukkan lima rukun Islam dan sembahyang lima waktu dalam sehari.
Menurut Presiden Soeharto, Bung Hatta tidak pernah mempertentangkan Pancasila dengan Islam dan Pancasila dengan agama. "Memang, Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, Pancasila tidak bertentangan dengan agama manapun," tambah Kepala Negara.
Makam Presiden RI pertama Bung Karno yang terletak di Blitar telah pula dipugar. Lambang-lambang yang lain juga terdapat pada makam Bung Karno danpada Patung Proklamator Soekamo-Hatta yang terdapat di Jalan Proklamasi No. 56 Jakarta.
Sebelumnya Presiden Soeharto menyampaikan terima kasih dan penghargaan pemerintah kepada keluarga Bung Hatta yang menyetujui sepenuhnya pemugaran makam ini. Sebab memang Bung Hatta bukan hanya milik keluarga, tetapi telah menjadi milik rakyat Indonesia dan menjadi bagian yang penting dari sejarah perjuangan bangsa, tambah Presiden Soeharto.
"Pribadi, pemikiran dan kepemimpinan, Bung Hatta akan selalu hidup dalam hati bangsa kita. Perjuangan, pengorbanan dan jasa beliau akan selalu hidup dalam ingatan dan kenangan kita," demikian Presiden Soeharto
Perpaduan Minang – Jawa Makam Bung Hatta terletak di atas tanah seluas 3.230 m2 di pinggir jalan Bintaro Raya (Jakarta Selatan) yang dilingkari pagar besi tembus pandang.
Perpaduan kebudayaan Minangkabau dan Jawa menghiasi bangunan kompleks ini, karena bangunan utama makam berbentuk Joglo dan bangunan Gapura Utama merupakan "rumah gadang" dari Sumatera Barat.
Cungkup makam dikelilingi oleh empat dinding kaca bening yang memungkinkan orang dengan jelas melihat dari luar ke dalam atau sebaliknya. Gapura Utama bertiang tujuh belas, bergonjong delapan dan 45 gelang yang dinamakan "tata perak" pengikat dan pemersatu atap. Angka tersebut melambangkan 17-8-45.
Kompleks makam dilengkapi dengan bangunan pelengkap seperti ruang tunggu, musholla dan rumah jaga. Makam dilingkungi dengan pagar tembus pandang dengan motif lslam.
Untuk menciptakan suasana bahwa Makam Bung Hatta tetap berada di lingkungan pemakaman umum, maka di seluruh batas keliling ditanam pohon kayu manis (Cinnamomum verum), yang banyak terdapat di Sumatera Barat.
Pemugaran makam Bung Hatta ini dikerjakan 234 hari, sejak peletakan baru pertama oleh Ny. Rahmi Hatta sendiri (isteri almarhum) tanggal 12 Agustus 1981.
Menurut Ketua Panitia Pemugaran Makam Bung Hatta, Sekretaris Kabinet Pembangunan Ill Drs Moerdiono, gagasan untuk memugar makam "Bapak Koperasi Indonesia" ini langsung dari pribadi Presiden Soeharto.
Dikatakannya, pada tanggal 27 Januari 1981, Presiden Soeharto memberikan falsafah bangunan, menggambar sketsa, menentukan ukuran-ukuran dan berbagai lambang yang akan ditampilkan pada makam dengan garis-garis dan tulisan tangan. Naskah dari tulisan tangan Presiden Soeharto itu dimuat dalam buku "Makam Bung Hatta” yang dibagi-bagikan kepada undangan.
Disediakan Tempat
Dengan seizin Ny. Rahmi Hatta, menurut Drs. Moerdiono, berdampingan di sebelah kiri pusara almarhum, telah disediakan tempat jika tiba saatnya yang bersangkutan dipanggil menghadap kembali Tuhan Yang Maha Kuasa.
Untuk maksud yang sama bagi putri dan putra menantu almarhum, disediakan pula tempat di halaman taman Makam Bung Hatta. Begitu pula untuk sekretaris pribadi almarhum, I Wangsa Widjaya dan nyonya, jika saat menghadap Tuhan telah tiba.
Ny. Rahmi Hatta yang duduk berderet dengan ke tiga putrinya, Ny. Meutia Farida Swasono, Gemala Rabi’ ah Hatta dan Halida Nuriah Hatta, kelihatan biasa saja ketika mendengar ucapan Ketua Panitia Drs. Moerdiono. Begitu juga para undangan dan hadirin, tidak bereaksi apa-apa. Upacara berlangsung tanpa ada tepuk tangan yang meriah.
Moerdiono menjelaskan, hal itu dikemukakan sama sekali tidak dimaksudkan untuk mendahului kehendak Allah, melainkan sebagai manusia harus didasari bahwa pasti tiba saatnya untuk menghadap kepada-Nya.
"Sebagai umat beragama, kita percaya bahwa jika Tuhan Yang Maha Kuasa telah menghendaki, maka tidak ada satu kekuatan pun dan tidak ada satu cara pun untuk menghindarinya, kapan saja tibanya saat itu," ujar Moerdiono.
Tidak seperti ketika Bung Hatta dimakamkan 15 Maret 1980, yang diantar oleh ratusan ribu rakyat Indonesia ke tempat peristirahatan terakhir, upacara peresmian makam Bung Hatta setelah pemugaran ini hanya dihadiri oleh undangan resmi dibawah tenda yang berada di dalam kompleks pemakaman. Dari kejauhan kelihatan masyarakat berderet menyaksikan jalannya upacara.
Ke Makam Taburkan Bunga
Peresmian makam Bung Hatta tersebut ditandai dengan penandatanganan plakat peresmian oleh Presiden Soeharto. Setelah pembacaan doa oleh Menteri Agama H. Alamsyah, Ny. Tien Soeharto menggunting pita pintu masuk. Kemudian Presiden Soeharto membuka selubung batu prasasti yang dilanjutkan dengan membuka kunci pintu masuk makam.
Batu prasasti itu terletak: di sebelah kanan Gapura Utama yang beratnya sekitar lima ton, diarnbil dari Ciawi (Bogor). Di atas batu itu dipahatkan kata-kata: "Meskipun Bung Hatta telah tiada Bung Hatta akan tetap hidup di hati kami. Cita-cita Bung Hatta akan senantiasa menyinari perjuangan kami".
Presiden dan Ny. Tien Soeharto didampingi oleh Ny. Rahmi Hatta, adalah kelompok pertama yang memasuki makarn Bung Hatta untuk menaburkan bunga melati putih dan mawar merah di atas pusara almarhum.
Kemudian menyusul Wakil Presiden Ny. Nelly Adam Malik, didampingi oleh ke tiga putri dan menantu Bung Hatta. Giliran berikutnya adalah para Kepala Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara yang disusul oleh para menteri dan undangan lainnya.
Ketiga putri Bung Hatta dengan setia membimbing nenek mereka, Ibunda Ny. Rahmi Hatta, yang sudah sangat lanjutnya usianya. Sementara Ny. Rahmi Hatta
dibantu oleh Mensesneg Sudharmono ketika hendak menuruni terus lantai pusara. Gubernur Sumatera Barat Azwar Anas, serta beberapa tokoh yang berasal dari daerah itu, hadir dan ikut menabur bunga.
"Terima kasih, terima kasih," kata Dr Sri Edy Swasono, putra menantu almarhum, ketika disalami oleh para undangan begitu meninggalkan makam mertuanya. (RA)
…
Jakarta, Kompas
Sumber : KOMPAS (13/08/1982)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VI (1981-1982), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 778-782.